Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Eddy Soeparno

Wakil Ketua MPR RI

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Bangsa Merdeka & Perjuangan Mandat Lingkungan Sehat

Artikel ini membahas pentingnya mandat konstitusi Indonesia untuk lingkungan sehat dan pembangunan berkelanjutan. Meskipun Indonesia merdeka selama 80 tahun, tantangan seperti krisis iklim dan polusi udara masih ada.
Kekeringan yang melanda lahan pertanian Gandum di Qian, Xianyang, Provinsi Shaanxi, China, 29 Mei 2025./REUTERS-Florence Lo
Kekeringan yang melanda lahan pertanian Gandum di Qian, Xianyang, Provinsi Shaanxi, China, 29 Mei 2025./REUTERS-Florence Lo

Bisnis.com, JAKARTA - Bayangkan Anda dibangunkan oleh Sore: Istri dari Masa Depan, bukan di Kroasia sana, tetapi di Jakarta. Apakah di masa depan nanti langit Jakarta bisa begitu cerah? Apakah di masa depan polusi udara justru hilang atau justru memburuk?

Sore mungkin tak bisa menjawabnya. Tapi kita bisa mulai menyusun jawabannya satu per-satu. Bukan hanya untuk masa depan, tapi untuk dan mulai hari ini.

Delapan puluh tahun setelah Indonesia merdeka, pembangunan ekonomi menjadi fokus utama. Padahal konstitusi bukan sekedar memberikan amanat pembangunan ekonomi. Lebih dari itu, konstitusi menegaskan: pembangunan ekonomi harus berdasarkan pada prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

UUD 1945 tidak netral soal lingkungan hidup. Ia jelas berpihak pada hak-hak rakyat untuk lingkungan yang sehat. Pasal 28H ayat (1) menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pasal 33 mengikat pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat—serta (ayat 4) dengan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Ini bukan hiasan retorika. Lebih dari itu, ini adalah mandat.

KRISIS IKLIM

Sudah seberapa parah perubahan iklim? Jawabannya bisa beragam, tetapi jawaban paling tepat adalah bahwa terminologi ‘perubahan iklim’ sudah bukan lagi terminologi yang tepat. Untuk menjawab seberapa parah, mari menyebutnya sebagai krisis iklim.

Terminologi krisis iklim membuat dampaknya menjadi komprehensif. Isu iklim bukan lagi konsumsi kelas menengah. Ia justru masuk dan berdampak langsung pada saudara-saudara kita yang miskin dan tidak mampu. Mulai dari pesisir hingga pedesaan. Mulai dari petani hingga nelayan.

Harian Kompas pada 2022 lalu pernah merilis survei makin besarnya pengeluaran masyarakat miskin di desa untuk membeli beras ketika dihadapkan pada situasi anomali iklim. Pengeluaran masyarakat desa rata-rata untuk membeli beras bahkan melonjak lebih tinggi dari pengeluaran rata-rata masyarakat yang tinggal di kota.

Mari bicara contoh lain yang relevan. Ketika banjir rob melanda beberapa wilayah di Jakarta Utara pada 19 Desember 2024 lalu, media ramai memberitakan. Tentu itu hal penting sebagai kesadaran kita mengenai anomali iklim yang diperparah dengan kondisi tanah yang makin menurun di Jakarta.

Namun, di tanggal yang sama dengan banjir rob di Jakarta Utara, saudara-saudara kita di pesisir Indramayu juga mengalami banjir rob yang menerjang ribuan warga. Kejadian yang sama mungkin juga terjadi di sepanjang wilayah pesisir Indonesia yang terancam krisis iklim.

Krisis iklim semakin relevan menjadi perhatian ketika kita bicara Jakarta sebagai ‘juara dunia’ dalam polusi udara. Indeks kualitas udara Jakarta bahkan sejajar atau pernah lebih buruk dari kota-kota seperti Dhaka di Bangladesh dan Addis Ababa di Ethiopia. Sejauh ini apakah sudah ada yang menjalankan inisiatif menyelesaikan polusi Jakarta?

Rasanya belum. Sabtu 28 Juni 2025 berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQ Air pada pukul 05.45 WIB, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di angka 196 atau masuk dalam kategori tidak sehat. Ditambah lagi dengan polusi udara PM 2,5 dan nilai konsentrasi 119,5 mikrogram meter kubik.

MANDAT YANG TERSENDAT

Sampai hari ini, mandat konstitusi masih tersendat dalam realitas kebijakan energi. Tahun 2023, porsi energi terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer kita baru sekitar 14% naik tipis, tetapi masih di bawah target 17,87%. Artinya, masih ada jarak antara ambisi dan implementasi. Antara rencana dan tenaga yang kita punya.

Pemerintah sebenarnya telah mengubah haluan perencanaan dengan signifikan. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN tahun 2025–2034 menempatkan porsi pembangkit EBT sebesar 75% dari total 69,5 GW dari tambahan kapasitas. Sebuah angka yang terbesar dalam sejarah pengembangan kelistrikan Indonesia. Tetapi betapa pun ‘hijau’ sebuah rencana, akan tetap berada di atas kertas jika tidak dipercepat dalam kebijakan yang terukur mulai dari pembangunan transmisi, perizinan, standar teknis, sistem pengadaan dan pembiayaan.

Pada sisi kebijakan internasional, Indonesia memiliki payung Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan rencana investasi dan kebijakan komprehensif (CIPP). Target kuncinya: menahan emisi sektor ketenagalistrikan pada 290 juta ton CO₂ pada 2030 dan mendorong setidaknya 34% pembangkitan listrik berasal dari EBT pada 2030. Sayangnya sampai dengan hari ini, skema pendanaan dari JETP masih ‘jauh panggang dari api’

Tentu ada geopolitik yang dinamis—perubahan rezim di Amerika Serikat—yang secara drastis juga mengubah secara drastis komitmen globalnya tentang dampak krisis iklim. Akan tetapi, langkah Presiden Prabowo bergabung ke BRICS membuka harapan baru tentang komitmen investasi dan pembiayaan internasional.

Di sisi domestik, beberapa kebijakan terkait manufaktur untuk energi terbarukan mulai dilonggarkan. Syarat local content (TKDN) untuk PLTS, misalnya, diturunkan menjadi 20% sampai pertengahan 2025 agar proyek bisa segera jalan sambil industri panel surya lokal berbenah untuk memperkuat daya saing. Kebijakan ini kendati pun pragmatis tetapi lebih masuk akal: ketimbang menunggu sempurna, lebih baik memasang lebih banyak surya hari ini sambil mengembangkan kapasitas manufaktur esok hari.

PENTING & MENDESAK

Pertanyaan pamungkas: Kenapa semua ini penting dan mendesak? Pertama, karena hak konstitusional warga negara menjadi tidak terpenuhi jika udara tercemar, rumah tangga rentan terhadap banjir dan kekeringan, dan listrik yang kita nikmati mengakumulasi beban emisi generasi depan.

Kedua, Pasal 33 menempatkan SDA untuk kemakmuran rakyat. Ini bukan rute pendek yang menghasilkan kemakmuran hanya untuk segelintir pihak. Memilih rute kemakmuran rakyat berarti menata ulang insentif—mengalihkan dukungan fiskal dari fosil ke energi bersih, memastikan akses dan tarif listrik terjangkau, sekaligus menjamin transisi yang adil bagi pekerja dan daerah penghasil energi fosil.

Merdeka, tidak hanya berarti bebas dari penjajahan masa lalu, tetapi juga bebas dari ketergantungan yang berpotensi menjadi beban masa depan. Energi fosil pernah dan masih menjadi andalan. Namun, kini ia menagih biaya kesehatan, iklim, dan fiskal yang kian berat. Kita mungkin masih perlu, tetapi baurannya harus diimbangi dengan kenaikan energi terbarukan yang signifikan.

Karena itu, beralih ke energi terbarukan bukan soal tren global, tekanan eksternal atau politik populis jangka pendek. Ini adalah tentang janji tertulis sebuah bangsa yang merdeka: hak atas lingkungan yang baik dan sehat, pembangunan yang berkelanjutan, dan hidup layak generasi saat ini dan generasi mendatang.

Indonesia punya semua potensi untuk menambah bauran energi terbarukan: matahari melimpah, angin pesisir, hidro di pegunungan, panas bumi terbaik dunia, serta pasar domestik besar untuk menyerap teknologi.

Dengan segala keberlimpahan itu, maka yang dibutuhkan adalah kejelasan arah, keberanian memotong rantai kebijakan yang kompleks, dan keberanian eksekusi. Delapan puluh tahun merdeka jadi momentum tepat untuk berhenti menormalisasi polusi dan setengah hati (atau hati-hati?) pada EBT.

Semoga suatu hari nanti, Sore membangunkan kita di masa depan dengan langit Jakarta yang cerah dan bebas polusi. Kenalkan, kata Sore, ini Indonesia di masa depan.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Eddy Soeparno
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro