Bisnis.com, JAKARTA — Hingga saat ini, kurang dari 30 negara telah menyerahkan Nationally Determined Contribution (NDC) 3.0 jelang diselenggarakannya COP30 pada November mendatang.
NDC merupakan upaya yang dipimpin secara nasional untuk mengatasi perubahan iklim. Negara-negara yang menjadi pihak dalam Perjanjian Paris diwajibkan secara hukum untuk menyerahkan NDC kepada Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) setiap 5 tahun dan untuk meningkatkan ambisi dari waktu ke waktu. Perjanjian Paris menetapkan bahwa NDC berikutnya merupakan perkembangan dibandingkan dengan NDC sebelumnya dan harus mencerminkan ambisi tertinggi suatu negara. NDC biasanya mencakup langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan tindakan adaptasi untuk memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB sekaligus Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Asia dan Pasifik (ESCAP) Armida Salsiah Alisjahbana mengatakan hingga April 2025, 46 dari 53 negara anggota dari kawasan Asia-Pasifik yang menjadi pihak dalam Perjanjian Paris telah mengajukan dua atau lebih NDC. Pada awalnya, batas waktu penyerahan NDC 3.0 pada 10 Februari 2025. Namun, PBB meminta pada bulan September sebanyak 100 negara diminta untuk mengirimkan dokumen NDC terbaru sebelum diselenggarakan COP30.
Putaran ketiga NDC merupakan titik balik yang krusial, tidak hanya dalam meningkatkan ambisi tetapi juga dalam mengembangkan rencana investasi yang kredibel yang menerjemahkan komitmen iklim tingkat tinggi menjadi proyek yang dapat dibiayai dan dibiayai bank. Kebijakan, proses perencanaan, dan arus investasi di kawasan ini saat ini belum mampu memenuhi skala transformasi yang dibutuhkan.
"Meskipun mayoritas NDC telah mengidentifikasi kebutuhan keuangan yang luas, yang diperkirakan secara global mencapai US$5,036 triliun hingga US$6,876 triliun pada 2030, sebagian besar negara belum mewujudkan kebutuhan ini menjadi tindakan nyata termasuk melalui proyek-proyek konkret yang mampu menarik pendanaan publik dan swasta dalam skala besar," ujarnya dalam laporan, Senin (11/8/2025).
Meskipun ada beberapa kemajuan, peluang untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius semakin menipis. Berdasarkan NDC saat ini, dunia berada pada lintasan untuk mencapai pemanasan 2,1 derajat Celcius hingga 2,8 derajat Celcius pada 2050. Hal ini menjadikan NDC 3.0 penting untuk meningkatkan tingkat ambisi dan mengembangkan rencana implementasi yang kredibel yang menyelaraskan tujuan iklim dengan strategi pendanaan.
Baca Juga
"Namun, saat ini kebijakan dan investasi belum selaras dengan lintasan ini. Kawasan Asia-Pasifik berperan penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan tujuan iklim global. Kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan bertanggung jawab atas lebih dari 54 persen emisi global," katanya
Aksi iklim di Asia-Pasifik tidak hanya akan membentuk pembangunan regional tetapi juga membawa konsekuensi global. Pasalnya, banyak pemerintah di kawasan ini telah mencapai kemajuan yang berarti dengan mengembangkan perangkat, kerangka kerja, dan praktik terbaik untuk mendukung implementasi NDC dan mobilisasi pendanaan iklim. Namun, yang masih kurang adalah skala, kecepatan, dan koordinasi yang diperlukan untuk menerjemahkan ambisi menjadi tindakan.
"Inti dari transformasi ini terletak pada pengembangan jalur proyek yang kuat dan bankable. Jalur-jalur ini merupakan jembatan antara target NDC tingkat tinggi dan investasi di lapangan yang menghasilkan pengurangan emisi, membangun ketahanan, dan membuka akses pendanaan. Tanpa proyek yang terdefinisi dengan jelas dan siap investasi, baik anggaran domestik maupun modal internasional tidak dapat diterapkan secara efektif," ucap Armida.
Pemerintah di Asia-Pasifik memiliki kesempatan untuk memimpin upaya global ini. Namun, tanpa keterlibatan penuh sektor swasta yaitu bank, investor dan industri, transformasi berskala besar akan sulit dilakukan.
"Biaya dari ketidakpedulian sudah sangat besar. Pada tahun 2022 saja, kawasan Asia-Pasifik mengalami bencana yang berdampak pada lebih dari 64 juta orang, termasuk lebih dari 7.500 korban jiwa dan kerugian terkait iklim sebesar US$57 miliar. Dalam skenario pemanasan 2 derajat Celcius, kerugian tahunan bisa mendekati US$1 triliun atau 3,1% dari PDB regional. Ini bukanlah ancaman yang jauh, melainkan realitas yang sedang berkembang pesat," tuturnya.
Menurutnya, pemerintah dan sektor swasta dapat beralih dari inisiatif yang terfragmentasi menuju perencanaan yang terkoordinasi dan siap investasi. Membangun alur proyek yang kuat yang didukung oleh kebijakan dan strategi pembiayaan yang jelas sangat penting untuk memastikan NDC memberikan dampak nyata.
Pada COP30 di Belem, Brasil, pada bulan November 2025, negara-negara akan membahas implementasi NDC yang diajukan. Keputusan-keputusan tersebut akan menentukan kemampuan kolektif kita untuk memenuhi tujuan-tujuan Perjanjian Paris, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan ambisi-ambisi pembangunan yang lebih luas.
Untuk diketahui, Conference of the Parties (COP) ke-30 merupakan pertemuan tahunan ke-30 dari negara-negara anggota UNFCCC, sebuah perjanjian internasional yang ditandatangani pada 1992 untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara global. Pertemuan ini bertujuan mengevaluasi kemajuan implementasi Kesepakatan Paris, memperbarui komitmen negara-negara terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (NDC) dan menyepakati langkah konkret untuk menjaga suhu bumi agar tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celsius dibandingkan era pra-industri.
"Dalam kesempatan yang semakin menipis ini, kepemimpinan kawasan ini dapat membantu melestarikan masa depan yang layak huni dan berkelanjutan bagi semua. Asia-Pasifik yang tangguh dan rendah karbon bukan hanya mungkin, tetapi juga penting," terang Armida.
APAC ESG Reporter Bloomberg Sheryl Lee berpendapat penyusunan second NDC Indonesia justru menunjukkan kemunduran karena pemerintah memilih menggunakan Current Policy Scenario (CPOS) sebagai dasar perhitungan penurunan emisi ke depan.
"Alih-alih memperkuat ambisi, Indonesia menetapkan tahun 2019 saat emisi sedang tinggi sebagai baseline. Ini membuat penurunan emisi terlihat besar secara angka, tapi bukan transformasi struktural yang nyata," ujarnya.
Berdasarkan Biennial Update Report (BUR) ketiga yang dilaporkan Indonesia ke UNFCC, total emisi Indonesia pada 2019 mencapai 1,84 miliar ton setara karbon dioksida (tCO2e). Angka tersebut naik dari posisi 2016 sebesar 1,45 miliar tCO2e. Mayoritas emisi pada 2019 disumbang oleh sektor alih fungsi lahan dan kehutanan (land-use change and forestry/LUCF) yakni dengan kontribusi sebesar 50,13%.
Sektor energi menempati posisi kedua dengan menyumbang 34,49% terutama dari pembangkitan listrik berbasis batu bara dan transportasi darat berbahan bakar fosil, limbah menyusul di peringkat ketiga dengan sumbangan 6,52%. Sementara itu, proses industri serta penggunaan produk (IPPU) berkontribusi 3,15% pada total emisi. Namun alih-alih berfokus pada dekarbonisasi sektor energi dan transportasi, pemerintah justru menumpukan target penurunan emisi pada sektor kehutanan (Forestry and Other Land Use/FOLU), dengan target penyerapan karbon sebesar 140 juta ton CO2e pada 2030.
"Indonesia masih memprioritaskan FOLU padahal sektor energi seperti hilirisasi nikel masih menggunakan listrik dari batu bara adalah sumber emisi terbesar kedua. Ini berisiko menciptakan rantai pasok kendaraan listrik yang justru berbasis PLTU," katanya.
Menurutnya, upaya transisi energi tidak cukup hanya dengan menyampaikan target pengurangan emisi melainkan komitmen nyata untuk mengubah bauran energi, mempercepat elektrifikasi transportasi, dan meninggalkan ketergantungan pada PLTU.
Dia menilai lambatnya transisi energi di Indonesia karena ketidakstabilan politik. Dengan adanya pergantian pemerintahan, banyak sekali gangguan pada rencana bisnis. Dia mencontohkan di sektor ruang hijau terdapat harapan Indonesia akan mendorong aliran masuk ke pasar karbon mengingat negara ini kaya akan hutan hujan. Namun, sering kalinya perubahan aturan administratif menjadi hambatan pengembang proyek karbon di lapangan dan mereka tidak mau berinvestasi lagi.
"Transisi energi dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang juga berjalan lambat. Program JETP (Just Energy Transition Partnership) di mana mereka seharusnya mendapatkan pendanaan dan kemudian menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara lebih cepat dari jadwal dan mengurangi emisi. Namun, kesepakatan itu benar-benar mandek. Tentu saja, bukan berarti ini sepenuhnya masalah Indonesia. Saya rasa negosiasi dengan negara-negara lain juga cukup alot, terutama mengenai apakah negara-negara maju tertarik dan bersedia mendanai proyek-proyek ini di tengah situasi yang berubah saat ini," tutur Sheryl.
Asia ESG and Climate Reporter Bloomberg Ishika Mookerje menambahkan pemerintah Indonesia menargetkan dokumen final second NDC akan diserahkan ke UNFCCC sebelum 22 September 2025. Namun, NDC kali ini menjadi ujian serius bagi Indonesia bukan hanya untuk memenuhi target global tetapi juga untuk menunjukkan kepemimpinan kawasan dalam menghadapi krisis iklim.
"Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Kalau Indonesia tidak ambil peran dalam transisi energi, akan sulit bagi kawasan ini mencapai target iklim Paris Agreement," ujarnya.
Dia menilai Indonesia tertinggal dari sejumlah negara Asean lainnya dalam hal kejelasan arah dan eksekusi transisi energi.
"Vietnam dan Filipina sudah mulai mengurangi ketergantungan pada PLTU, bahkan menarik pendanaan iklim global berkat kebijakan mereka yang progresif. Sementara Indonesia masih terlalu bergantung pada energi kotor untuk proyek strategis nasional," katanya.
Vietnam sedang mengalami perubahan sehingga banyak harapan dan optimisme akan memperbaiki pengaturan energi mereka untuk waktu yang lama dalam rangka menangani perubahan iklim. Vietnam telah menandatangani JETP lebih awal dan kini mempercepat pengembangan PLTS dan PLTB. Filipina menetapkan moratorium PLTU sejak 2020 dan aktif mendorong investasi energi surya. Thailand bahkan sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi sektor industri dan elektrifikasi kendaraan secara nasional.
Sementara itu, Singapura meski tidak memiliki potensi energi terbarukan sebesar negara lain, justru menjadi pemimpin dalam hal regulasi pasar karbon, efisiensi energi, pusat keuangan iklim, dan skema insentif hijau. Kontribusinya terhadap emisi global memang minimal, namun Singapura sedang mencari cara untuk mengurangi emisi di kawasan ini dengan cepat.
"Singapura tidak banyak bicara soal target emisi, tapi mereka jelas soal aksi. Pasar karbonnya aktif, perusahaan diberi insentif untuk efisiensi, dan semua ada mekanisme pengawasan. Itu yang belum terlihat di Indonesia," ucap Ishika.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Simon Stiell meminta kepada seluruh negara di dunia untuk segera memperbarui laporan kontribusi iklim nasional (NDC) mereka dengan target yang lebih ambisius dan menyeluruh.
Menurutnya, pembaruan NDC harus mencakup seluruh sektor ekonomi dan jenis gas rumah kaca, dengan tujuan kolektif untuk memangkas emisi global hingga 60% pada 2035. Langkah ini dinilai krusial untuk menjaga kenaikan suhu bumi tetap di bawah ambang batas 1,5 derajat Celsius.
Adapun komitmen pendanaan iklim sebesar US$300 miliar per tahun hingga 2035 yang disepakati dalam COP29 merupakan kelanjutan dari target US$100 miliar yang telah tercapai pada 2022. Saat ini, roadmap menuju target baru sebesar US$1,3 triliun per tahun tengah disusun oleh presidensi Azerbaijan dan Brazil.
"Rencana iklim ini harus menjadi pusat dari semua kebijakan. NDC yang diperbarui bukan sekadar formalitas, melainkan kunci utama untuk membuka akses terhadap pendanaan internasional dan menarik investasi besar-besaran dalam transisi menuju ekonomi hijau," tuturnya.
Dia menilai Indonesia memiliki peluang besar untuk tampil sebagai pemimpin iklim global menyusul mundurnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris. Namun, kepemimpinan tersebut harus dibuktikan melalui langkah konkret, bukan hanya retorika politik.
"Indonesia berada di titik kritis, dengan tantangan besar sekaligus peluang besar dalam transisi energi. Ketergantungan pada bahan bakar fosil, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor, masih tinggi. Namun di sisi lain, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang luar biasa. Ketika satu negara besar mundur, ruang untuk memimpin terbuka bagi negara lain. Indonesia punya posisi strategis dan potensi besar untuk menunjukkannya," terangnya.
Dia mengapresiasi komitmen Indonesia dan juga mendorong peningkatan ambisi iklim mengingat 75% energi nasional masih berasal dari fosil. Indonesia memiliki langkah dala mempercepat pengembangan energi terbarukan karena terjadi lonjakan hingga 40% dalam peluncuran proyek energi bersih dalam periode terakhir. Pemerintah Indonesia juga menargetkan pencapaian 100% energi terbarukan dalam satu dekade ke depan.
"Ini bukan semata soal mengurangi emisi. Ini adalah kesempatan untuk menciptakan lapangan kerja baru, memperkuat ketahanan ekonomi, dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan melalui inovasi hijau dan kebijakan cerdas iklim," ujar Stiell.
Adapun investasi global untuk energi bersih telah mencapai US$2 triliun pada tahun lalu dan Indonesia memiliki potensi pengembalian hingga US$600 miliar dan penciptaan 14 juta green jobs. NDC 3.0 sebagai sinyal kuat bahwa Indonesia siap memimpin transisi energi global sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% per tahun.
Oleh karena itu, pentingnya dokumen NDC yang akan diserahkan Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brazil pada September mendatang. Dia mendorong agar NDC Indonesia tidak hanya ambisius secara angka tetapi juga mencakup strategi implementasi yang rinci.
Menurutnya, dokumen NDC yang kuat akan membuka peluang investasi di sektor energi, industri, dan teknologi ramah lingkungan. NDC 3.0 akan menjadi dokumen transisi menuju periode implementasi 2031–2035, sekaligus mencerminkan arah pembangunan menengah Indonesia. Pemerintah juga tengah menyusun skenario pasca-2030 sebagai bagian dari peta jalan menuju net zero emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat.
"Semakin rinci dan ambisius NDC, semakin kuat sinyalnya ke komunitas keuangan global bahwa Indonesia siap menjadi pusat investasi hijau. Integritas lingkungan harus berjalan seiring dengan manfaat finansial. Pentingnya peran G20 dalam memastikan distribusi beban ambisi iklim yang adil, dan menilai Indonesia layak mendapat dukungan internasional dalam membangun pasar karbon yang transparan," katanya.
Dia menekankan bahwa COP30 bukan sekadar forum negosiasi, melainkan momentum nyata untuk mempercepat implementasi kebijakan iklim. Ia mendorong semua negara untuk tidak menunda pembaruan NDC dan memastikan transisi energi yang inklusif, adil, dan berdampak positif bagi masyarakat luas.
"Waktu kita semakin sempit. Dunia butuh kepemimpinan nyata, dan NDC yang kuat adalah bukti komitmen tersebut," ucap Stiell.
KOMITMEN INDONESIA NDC
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan pemerintah Indonesia menegaskan kembali komitmennya dalam memimpin diplomasi iklim global dengan menyatakan kesiapan meluncurkan dokumen NDC 3.0 menjelang Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brasil pada November 2025.
"NDC 3.0 menargetkan penurunan emisi sebesar 440 juta ton CO2e pada 2030 dan 525 juta ton CO2e pada 2035, menggunakan tahun acuan 2019. Penyusunan dokumen ini melibatkan pemangku kepentingan lintas sektor dan sudah terintegrasi dalam agenda pembangunan nasional," tuturnya.
Indonesia juga meminta dukungan konkret UNFCCC untuk penguatan kebijakan, pengembangan kapasitas, serta fasilitasi dalam pengaturan pasar karbon termasuk optimalisasi pemanfaatan Pasal 6 Perjanjian Paris. Dukungan tersebut diharapkan dapat mempercepat transisi ekonomi hijau dan menciptakan lapangan kerja berkelanjutan.
Menurutnya, transisi menuju ekonomi hijau harus dilakukan secara realistis. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan pendekatan bertahap, pendanaan besar, serta sinergi lintas sektor. KLH terus memperkuat koordinasi antar-kementerian agar implementasi NDC 3.0 seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Dia berharap sektor energi dan kehutanan sebagai penyumbang emisi terbesar meningkatkan kontribusi mereka. Strategi utama mencakup percepatan penghentian PLTU batu bara, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dan pencapaian target sektor FOLU.
"Kami meminta UNFCCC menyelenggarakan forum regional untuk memperkuat dialog antar negara serta memberikan panduan teknis penguatan pasar karbon sukarela. Usulan ini bertujuan mempercepat operasionalisasi pasar karbon domestik Indonesia," ujar Hanif.
Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH Ary Sudijanto menambahkan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia untuk 2035 yang akan tertuang dalam rencana aksi iklim nasional second NDC akan lebih ambisius daripada sebelumnya. Namun demikian, pihaknya belum bisa memastikan angka pasti besaran persentase penurunan yang ditargetkan pemerintah di second NDC meski dokumen tersebut kini dalam tahap finalisasi sebelum diserahkan ke UNFCCC.
"Second NDC sudah dalam tahap finalisasi. Kementerian dan lembaga terkait rencananya akan membahas sekali lagi hasil pemodelan final dari Second NDC Indonesia," katanya.
Ary menjelaskan bahwa second NDC akan lebih ambisius karena tidak lagi menggunakan skenario business as usual (BAU) sebagai acuan penurunan emisi, sebagaimana diterapkan Indonesia dalam Enhanced NDC yang dirilis pada 2022. Second NDC nantinya akan menggunakan proyeksi emisi yang mengacu pada current policy scenario (CPOS), sebuah model yang merupakan kelanjutan dari Countermeasure 1. Selain itu, CPOS akan menjadikan emisi pada 2019 sebagai tahun dasar perhitungan penurunan. Adapun dalam enhanced NDC, penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2030 dalam skenario Countermeasure 1 dibidik sebesar 915 juta ton CO2 ekuivalen atau setara 31,89% dari level BAU yang menembus 2,86 miliar ton CO2 ekuivalen.
"CPOS itu adalah kelanjutan dari Countermeasure 1. Kita sudah lebih rendah daripada Countermeasure 1, berarti kesimpulannya penurunan akan lebih ambisius daripada Enhanced NDC," tuturnya.
Target penurunan emisi bakal mempertimbangkan skenario pertumbuhan ekonomi rendah di level 6,3% dan juga skenario tinggi di angka 8%. Sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain atau FOLU bakal menjadi tumpuan penurunan emisi 2035 dengan kemampuannya menyerap karbon. Pemerintah sendiri menargetkan penurunan emisi sektor FOLU sebesar 140 juta ton CO2 ekuivalen pada 2030. Indonesia menargetkan dapat melaporkan dokumen final Second NDC ke UNFCCC sebelum 22 September 2025.
"Setelah finalisasi, harapannya kemudian dokumen dapat kami sampaikan ke Bapak Presiden [Prabowo Subianto] dan sebelum 22 September kami sudah lakukan submission ke UNFCCC," ujar Ary.
Terpisah, Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal berpendapat tantangan terbesar adalah memastikan bahwa target iklim benar-benar tercapai agar NDC yang dirancang dengan sungguh-sungguh dan dijalankan dan tidak hanya sekadar dokumen formal tanpa strategi nyata. Dia mendorong agar target iklim Indonesia segera memiliki payung hukum yang mengikat.
"Kalau kita serius, seharusnya ambisi iklim ini dijadikan undang-undang, agar tidak bergantung pada dinamika politik. Saya apresiasi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan, ambisi itu belum pernah disampaikan secara terbuka oleh pemimpin Indonesia sebelumnya," tuturnya.