Bisnis.com, JAKARTA — Komitmen pemerintah dalam melindungi lingkungan hidup dan mengatasi perubahan iklim dipertanyakan. Pasalnya, dalam APBN 2026, alokasi anggaran perlindungan lingkungan hidup hanya senilai Rp13,4 triliun.
Meskipun besaran anggaran ini mengalami kenaikan sebesar 59,3% dari tahun 2025 yang mencapai Rp8,4 triliun, namun alokasi anggaran tersebut lebih rendah dari tahun 2024 yang mencapai Rp14,5 triliun dan 2023 yang mencapai Rp13,5 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan perhatian soal anggaran perlindungan lingkungan hidup di 2026 sangat kecil hanya Rp13,4 triliun atau turun -4,6% dalam 5 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan pemerintah belum menunjukkan perhatian pada aspek perlindungan lingkungan hidup di tengah krisis iklim.
"Komponen biaya perlindungan lingkungan hidup meliputi pendataan kerusakan lingkungan, penegakan hukum dan memfasilitasi pengembangan ekonomi restoratif Rp37,4 triliun per tahun. Jadi minimum anggaran yang dialokasikan untuk perlindungan lingkungan hidup senilai Rp50 triliun hingga Rp55 triliun per tahun," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (20/8/2025).
Menurutnya, di tengah lautan tantangan yang tak henti menghantam, perekonomian dunia berlayar menuju arah yang baru yakni ekonomi restoratif. Pendekatan baru
ini menawarkan solusi yang lebih holistik dalam menghadapi kompleksitas tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan konflik sosial. Dalam payung ekonomi restoratif, kebijakan publik tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga memperhatikan dampak sosial dan lingkungan jangka panjang. Hal ini menandai pergeseran paradigma dari eksploitasi sumber daya tanpa batas menuju upaya untuk memulihkan ekosistem ekonomi yang sehat dan berkelanjutan.
Inisiatif ekonomi restoratif pada dasarnya berusaha memulihkan ekosistem dari kerusakan alam dan sosial akibat pendekatan konvensional dan kegiatan ekstraktif, bersamaan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan adil. Meskipun belum ada kesepakatan global mengenai ekonomi restoratif, sejumlah perjanjian internasional, seperti United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) membawa semangat yang sama untuk memperbaiki alam dan memulihkan lahan terdegradasi. Adapun inisiatif ekonomi restoratif di Indonesia setidaknya menghadapi dua tantangan utama yakni kesenjangan investasi dan keterbatasan kebijakan.
Baca Juga
"Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki pos anggaran spesifik untuk ekonomi restoratif dan inisiatif ini cenderung kalah populer dibandingkan inisiatif keberlanjutan lain, seperti energi terbarukan sehingga kurang menarik minat investor. Terlebih 80% kebijakan yang ada di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung terkait ekonomi restoratif, memiliki kondisi penerapan yang kurang atau tidak ideal," katanya.
Pemerintah Indonesia membutuhkan anggaran sedikitnya Rp892,15 triliun hingga 2045 untuk menerapkan berbagai strategi restoratif di sejumlah industri dan sektor.
Kebutuhan anggaran ini perlu didukung dengan kolaborasi partisipatif antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk memastikan keberhasilan penerapannya.
"Lahan basah global hilang 87%, dalam 50 tahun terakhir lebih dari 2 miliar hektare lahan terdegradasi, dan Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar secara global mencapai 3,5%. Keanekaragaman hayati Indonesia menurun 69% selama 50 tahun terakhir. Deforestasi dan kebakaran hutan menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 42% di Indonesia. Lalu kerusakan alam dan dampak sosial membawa kerugian ekonomi global US$17,58 miliar hingga US$9,4 triliun. Bencana iklim dan cuaca ekstrem menimbulkan kerugian hingga US$1,5 triliun," tuturnya.
Dia menyoroti ketegasan pemerintah dalam menindak perusahaan atau korporasi yang melanggar lingkungan dan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menurutnya, diperlukan kerjasama lintas lembaga penegak hukum khususnya KPK dan Kejaksaan dalam pemulihan kerugian negara.
"Jangan sampai sawit yang masuk lahan hutan lindung berakhir dengan amnesti atau pembagian lahan ke perusahaan lain. Terlebih pak Prabowo mau kejar Rp300 triliun," ucap Bhima.
Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional Dwi Sawung menuturkan pemerintahan saat ini tidak ada kepeduliannya terhadap perlindungan lingkungan hidup dan lebih mengutamakan hal lain. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran perlindungan lingkungan hidup yang sangat minim.
"Idealnya sesuai dengan biaya pemulihan dan perlindungan lingkungan hidup, ini kerugian lingkungan yang perlu pemulihan saja perlu puluhan hingga ratusan triliun," tuturnya kepada Bisnis.
KETEGASAN PEMERINTAH
Dia menyoroti ketegasan pemerintah dalam penagihan kerugian negara yang disebabkan oleh korporasi yang menyebabkan kebakaran hutan yang dendanya sudah incrach namun belum dibayarkan. Menurutnya, masih tumpulnya hukum bagi korporasi penyebab kebakaran hutan dan lahan karena selama ini pemerintah hanya mengenakan pidana kepada pelaku pembakaran, sedangkan korporasi yang terlibat bisa lolos begitu saja dan hanya dipasang police line.
Dia menilai permasalahan utama bukan terletak pada Undang-Undang, melainkan lemahnya implementasi penegakan hukum. Izin usaha tak langsung dicabut ketika perusahaan terbukti melanggar aturan lingkungan. Dia mencatat angka kebakaran hutan dan lahan sesungguhnya lebih banyak dibandingkan yang dilaporkan yakni mencapai 15.000 hektare. Berdasarkan laman Sipongi, kasus kebakaran hutan dan lahan mencapai 8.594 hektare pada Januari hingga Juli 2025.
"Ini termasuk sawit ilegal dalam kawasan dilakukan oleh korporasi yang sampai sekarang belum dibuka semua datanya. padahal dari pemerintahan sebelumnya ada satgasnya tapi sampai sekarang tidak jelas hasilnya. Hingga sekarang, belum ada korporasi besar yang ditindak akibat pelanggaran lingkungan. Kebakaran hutan dari 2014 hingga 2024 capai 7 jutaan hektare lahan," terang Sawung.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian menambahkan sejak 1 hingga 28 Juli 2025 terdapat sebanyak 20.788 titik api (hotspot) di Indonesia. Secara tingkatan titik api ini terkategorisasi level tinggi dengan jumlah 639 hotspot, level sedang dengan jumlah 19.656 hotspot dan level rendah dengan jumlah 493 hotspot.
Ketika di overlay dengan data konsesi hak guna usaha (HGU) sawit dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), Walhi menemukan sebanyak 373 hotspot dengan level tinggi berada di konsesi perkebunan (HGU) atau izin kehutanan (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan/PBPH) milik Korporasi. Adapun terdapat sebanyak 231 perusahaan yang di dalam konsesinya terpantau ada hotspot. Bahkan, dari beberapa perusahaan yang terdapat hotspot di konsesinya adalah perusahaan yang juga terbakar pada tahun-tahun sebelumnya.
"Keberulangan karhutla ini adalah bukti ketertundukan negara pada perusahaan pembakar hutan dan lahan," ujarnya.
Dia menilai hingga saat ini pemerintah tidak berani mengevaluasi 969 perusahaan sawit yang puluhan tahun beroperasi di wilayah gambut dan hutan seluas 5,6 juta hektare. Bahkan, ada cukup banyak perusahaan yang telah diputus bersalah oleh pengadilan, namun tidak ada proses ekskusi putusan yang jelas dan tidak pernah dicabut izinnya dan alhasil tahun ini kembali terbakar.
"Impunitas dan ketertundukan negara ini lah yang menjadi akar persoalan karhutla, selama pemerintah tidak menjawabnya, selama itu juga karhutla akan terus terjadi," kata Uli.
Adapun terdapat fakta adanya ratusan perusahaan beroperasi di ekosistem gambut dan hutan ini dan impunitas yang selalu diberikan pemerintah pada korporasi pembakar hutan adalah bentuk kegagalan UU Kehutanan. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi UU Kehutanan yang saat ini seharusnya menjadi momentum untuk mengubah total UU Kehutanan bukan hanya revisi tambal sulam yang tidak mampu menjangkau persoalan kebakaran lahan dan hutan.
"Harus ada kepastian tegas terkait tanggung jawab korporasi dalam membayar denda kepada negara, masuk ke kas negara untuk pemulihan lingkungan, meski sudah ada putusan pengadilan. Revisi UU Kehutanan yang sedang dibahas harus jadi momentum pembenahan regulasi. Kalau tidak ada pembenahan, pemerintah akan mengawetkan pola impunitas dan terus membiarkan karhutla mengancam nyawa dan lingkungan. Hukum karhutla cenderung menyasar masyarakat kecil, dari 2004 hingga 2022 terdapat 206 petani kecil di Kalimantan kena tuntut pidana, 96% divonis penjara dan denda,"
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Belgis Laela Noor Habiba berpendapat pemerintah seharusnya bisa lebih tegas memberikan hukuman kepada korporasi maupun individu pelaku pembakaran hutan dan lahan gambut di berbagai daerah.
"Pemerintah selama ini hanya menyegel, tanpa akan diproses atau tidak atau hanya sekedar administratif. Pemerintah harusnya bisa melakukan hal yang lebih tegas agar kejadian-kejadian seperti ini tidak berulang," katanya kepada Bisnis.
Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait menuturkan dalam pidato kenegaraan dan nota keuangan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD di Kompleks Parlemen Senayan pada Jumat (15/8/2025), Presiden Prabowo menonjolkan berbagai klaim pencapaian ekonomi, namun narasi tersebut tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Pertumbuhan ekonomi yang disebut 5,12% per-tahun hanya dinikmati oleh segelintir kelompok, sedangkan pemerataan ekonomi berjalan lambat. Klaim penurunan angka kemiskinan juga dipertanyakan karena pemerintah menggunakan batas kemiskinan jauh di bawah standar Bank Dunia.
"Klaim Presiden terkait meningkatnya kesejahteraan masyarakat selama satu tahun kepemimpinan merupakan pernyataan yang tidak berdasar. Pertumbuhan ekonomi pada kenyataannya tidak dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang paling terdampak krisis iklim," ucapnya.
Menurutnya, sekitar 5 dari 10 orang Indonesia telah merasakan dampak perubahan iklim secara signifikan dalam kehidupan melampaui persentase responden yang mengalami dampak serupa di negara-negara di belahan bumi utara. Sayangnya, kelompok paling terdampak krisis iklim ini bahkan tidak masuk dalam radar pidato kenegaraan Prabowo.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji menuturkan masyarakat adat dan komunitas lokal yang menjadi garda terdepan dalam upaya penanggulangan krisis iklim, tidak diidentifikasi sebagai komponen penting dalam penyelenggaraan negara.
“Padahal selama ini, masyarakat adat dan komunitas lokal dalam praktik kehidupan sudah menjaga hutan, tanah dan air Indonesia, hal tersebut adalah praktik konkret solusi terhadap krisis iklim yang seharusnya diadopsi oleh negara sebagai bentuk keseriusan pemerintah. Jangankan dilibatkan, diakui keberadaannya pun tidak,” katanya.
Dia menilai pemerintah telah melewatkan peluang besar untuk membangun ekonomi yang lebih adil dan ramah lingkungan. Instrumen fiskal seperti pajak progresif bagi industri perusak lingkungan, misalnya melalui skema pajak karbon dan pajak laba ekstra (windfall tax), serta pajak terhadap kelompok superkaya di Indonesia yang seharusnya bisa menjadi sumber pendanaan penting daripada terus membebani kelas menengah dengan pajak tambahan.
"Potensi keuangan syariah juga dapat dioptimalkan untuk mendukung program transisi energi dan pemberdayaan rakyat. Sayangnya, semua peluang ini hingga kini belum dimanfaatkan secara maksimal," ucapnya.
Di tengah krisis iklim, Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan dalam ancaman hujan ekstrem yang harusnya tak lagi hadir di Agustus. Greenpeace mendorong pemerintah menempatkan keadilan iklim sebagai landasan utama kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional.
Keadilan iklim berarti memastikan setiap orang dapat menikmati kemerdekaan sejati, kemerdekaan untuk hidup layak tanpa takut kehilangan tanah, udara bersih, atau sumber air akibat eksploitasi. Prinsip ini menuntut perlindungan hutan, lautan, dan masyarakat adat sebagai prioritas, sekaligus menjamin transisi energi yang adil bagi semua.
Bagi Greenpeace, keadilan iklim bukan sekadar soal mengurangi emisi tetapi juga memastikan kelompok rentan tidak menjadi korban kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elit ekonomi. Partisipasi bermakna menjadi kunci dalam menciptakan keadilan iklim. Setiap langkah menuju energi bersih harus memperkuat perlindungan hak hidup rakyat dan menjamin masa depan yang aman bagi generasi mendatang. Hal ini langkah tepat jika pemerintah serius untuk mewujudkan tema kemerdekaan tahun ini yaitu Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.
"Pada akhirnya, pidato kenegaraan dan RAPBN 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo penuh kontradiksi, khususnya terkait kebijakan ekonomi dan politik nasional maupun global. Kontradiksi ini tidak lepas dari lingkar inti pemerintahan Prabowo–Gibran yang saat ini memegang kendali penuh atas kekuasaan," tuturnya.
JANJI PRABOWO
Untuk diketahui, dalam pidato kenegaraan dan nota keuangan, Presiden RI Prabowo Subianto mengklaim telah menyelamatkan 3,1 hektare lahan sawit dari 3,7 hektare lahan yang telah diverifikasi atas laporan penyelewengan aturan. Pemerintah telah menerima laporan 5 juta hektare lahan yang disebut melanggar aturan.
"Kita mendapat laporan ada ribuan ada jutaan perkebunan kelapa sawit yang melanggar hukum, yang menyimpang regulasi, ada yang membuat perkebunan di hutan lindung, ada yang tidak melaporkan luasnya perkebunan mereka, ada yang dipanggil BPKP [Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan] tidak mau datang," ujarnya, Jumat (15/8/2025).
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 5/2025 tentang Penerbitan Kawasan Hutan dalam rangka memberantas lahan-lahan sawit yang dipergunakan namun melanggar aturan.
"Saya melaporkan di majelis ini bahwa pemerintah RI sudah menguasai kembali 3,1 juta hektare dari potensi 5 juta hektare lahan sawit yang dilaporkan melanggar aturan tetapi kita belum verifikasi, yang sudah jelas kita verifikasi melanggar aturan ada 3,7 juta hektare dan dari 3,7 hektare, 3,1 juta hektare sudah dikuasai kembali," tegasnya.
Di sisi lain, Prabowo juga melaporkan bahwa terdapat keputusan pengadilan yang telah inkrah 18 tahun lalu terkait penyitaan perkebunan kelapa sawit yang terbukti beroperasi secara tidak sah. Kendati demikian, kala itu tidak ada penegak hukum yang melakukan penindakan atas penyelewengan yang terjadi. Namun, dia memastikan bahwa ke depannya tidak akan ada yang lolos dari pelanggaran aturan.
"Tapi tidak ada penegak hukum waktu itu yang mau melaksanakannya, saya tidak tahu kenapa. Tapi saya telah perintahkan dikuasai kembali oleh negara dan untuk itu kita telah menggunakan pasukan2 TNI untuk mengawal tim-tim yang menguasai kebun-kebun tersebut," tuturnya.
Sebelumnya, pada awal Agustus, Presiden Prabowo Subianto menyatakan pemerintah mengambil sikap jelas bahwa tidak ada toleransi untuk pembakaran hutan sebagai cara membuka lahan baik bagi masyarakat maupun korporasi. Prabowo telah menginstruksikan agar pemerintah menyediakan alternatif teknologi modern bagi masyarakat dan perusahaan yang ingin membuka lahan. Program ini mencakup penyediaan alat berat, teknologi land clearing yang ramah lingkungan, dan bantuan teknis dari kementerian terkait. Presiden berkomitmen menyediakan akses terhadap teknologi modern yang lebih efisien dan tidak merusak lingkungan.
JAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI RI
Terpisah, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan pihaknya berkomitmen dalam menjaga dan memastikan pengelolaan keanekaragaman hayati dilakukan secara berkelanjutan karena biodiversitas sebagai modal pembangunan dan warisan bangsa yang harus dijaga lintas generasi. Seluruh biodiversitas harus masuk dalam kerangka perlindungan yang jelas. Setiap spesies, ekosistem, dan setiap kawasan bernilai penting harus masuk dalam sistem perlindungan yang jelas.
"Penegakan hukum lingkungan harus nyata dan berkeadilan. Kita tidak boleh mentolerir pelanggaran yang merugikan keanekaragaman hayati. Semua pihak, tanpa kecuali, harus tunduk pada aturan hukum," ucapnya.
Menurutnya, terdapat keterkaitan erat dan manfaat ganda ekonomi dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia tidak hanya dari nilai ekonomi karbon tetapi juga dari jasa lingkungan. Pasalnya, tanpa keanekaragaman hayati yang terjaga maka kekayaan karbon Indonesia juga tidak akan ada. Menurutnya, Indonesia masih sibuk mengembangkan pasar karbon namun melupakan potensi ekonomi dari biodiversity credit.
"Keanekaragaman hayati merupakan aset dalam pembangunan negara, termasuk nilai sebagai sumber daya genetik. Selain itu, juga terdapat manfaat ganda, dual benefit, di dalam keterkaitan erat antara keanekaragaman hayati dan karbon di mana potensi yang kita kenal dengan nonkarbon benefit dapat berubah jasa ekosistem dan keberlanjutannya," ujarnya.
Hal itu mengingat Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua setelah Brasil karena keberagaman ekosistem yang menjadi rumah bagi ribuan fauna dan puluhan ribu flora. Banyak di antaranya adalah endemik atau hanya bisa ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, pentingnya upaya konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan tidak hanya fokus dalam kegiatan ekstraktif yang dapat merusak lingkungan dan pada akhirnya menghilangkan kekayaan keanekaragaman hayati.
"Kita ini negara terbesar nomor dua di dunia mega biodiversity yang tidak pernah kita sentuh. Kita masih asyik dengan kegiatan-kegiatan ekstraksi sumber daya alam yang tentu tidak berkelanjutan. Sejumlah negara Eropa yang berhasil mempertahankan biodiversitas sambil mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan megabiodiversitas terbesar di dunia namun menghadapi tekanan serius. Data KLH menunjukkan lebih dari 60% dari 133 mamalia endemik berada dalam status terancam punah, sekitar 31% spesies tumbuhan endemik berisiko tinggi, dan sekitar 50% ekosistem gambut telah mengalami degradasi. Spesies invasif seperti ikan sapu-sapu dan eceng gondok terus mengancam keanekaragaman hayati lokal, sementara perubahan iklim mendorong meningkatnya kebakaran hutan dan kekeringan yang berimplikasi pada hilangnya habitat satwa liar.
Di sisi lain, Hanif juga akan mengusut tuntas seluruh kasus pelanggaran kebakaran hutan dan lahan. Dia meminta kerja sama pemerintah daerah dan kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kebakaran hutan dan lahan. Dia mengingatkan para pemegang izin usaha kehutanan dan perkebunan untuk tidak mengabaikan kewajiban perlindungan lingkungan.
"Sesuai dengan Inpres Nomor 23 tahun 2020, diamanatkan untuk melakukan penegakan hukum terkait pelanggaran kerusakan lingkungan. Saya minta semua pemegang izin, baik HGU maupun HTI, untuk tidak hanya menunggu imbauan. Kewajiban mencegah kebakaran itu melekat. Kami akan evaluasi serius setiap konsesi yang gagal menjaga wilayahnya dari api," tuturnya.