Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perubahan Iklim dan Suhu Panas Ekstrem Ancam Penurunan Pertumbuhan Ekonomi Global

Perubahan iklim dapat memangkas pertumbuhan ekonomi global hingga 23% pada 2100. Studi menunjukkan tindakan dengan pendanaan mencapai US$10 triliun per tahun.
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. /Freepik
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. /Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — Perubahan iklim parah dapat memangkas pertumbuhan global sekitar 62% pada abad ini dan yang telah banyak dikutip oleh para pembuat kebijakan dan bank sentral.

Sebuah analisis terhadap makalah yang diterbitkan April lalu di Nature berpendapat bahwa anomali data untuk Uzbekistan, salah satu dari 83 negara yang diteliti dalam studi awal menyebabkan hasilnya melebih-lebihkan potensi dampak ekonomi. Ketika Uzbekistan dihilangkan, proyeksi kerugian pada 2100 berkurang menjadi 23% sejalan dengan pemodelan serupa lainnya. 

"Kami menemukan bahwa Uzbekistan menimbulkan masalah. Ada beberapa angka yang dilaporkan dalam data yang tampaknya tidak nyata. Ada beberapa angka yang dilaporkan dalam data yang tampaknya tidak nyata," kata Seorang Profesor di Universitas Stanford Solomon Hsiang dilansir Bloomberg, Jumat (8/8/2025). 

Karya asli para ilmuwan di Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim telah dikutip dalam makalah-makalah Bank Dunia dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan dirujuk dalam saran kebijakan iklim yang dikeluarkan oleh Jaringan untuk Penghijauan Sistem Keuangan (Network for Greening the Financial System) kelompok yang beranggotakan lebih dari 140 bank sentral dan badan pengawas keuangan.

Para penulis penelitian asli menerbitkan pernyataan yang menyatakan bahwa mereka menyambut baik penelitian kritis. Umpan balik yang mereka terima dari ilmuwan lain telah mendorong mereka untuk merevisi analisis sehingga memprediksi penurunan output ekonomi global sebesar 17% pada pertengahan abad dibandingkan dengan 19% yang diprediksi sebelumnya. Namun, para penulis juga menyatakan keyakinan mereka temuan inti tersebut terbukti benar bahwa dunia menghadapi kerusakan ekonomi yang substansial akibat perubahan iklim..

Studi terbaru lainnya menunjukkan bahwa penilaian sebelumnya tentang dampak ekonomi pemanasan global terlalu konservatif. Bahkan temuan revisi dari studi Potsdam seharusnya menunjukkan perlunya tindakan yang lebih besar. 

"20% sebenarnya angka yang sangat besar. Kita tetap harus berinvestasi untuk menghindari perubahan iklim," kata Hsiang. 

Organisasi Standar Internasional memperkirakan kebutuhan pendanaan untuk memitigasi perubahan iklim dan beradaptasi dengan dampaknya kemungkinan akan mencapai rerata sekitar US$9 triliun per tahun pada 2030 dan US$10 triliun per tahun pada pertengahan abad ini. 

Sementara itu, Anggota Dewan Eksekutif Bank Sentral Eropa Frank Elderson menilai hubungan antara suhu panas dan indikator ekonomi utama seperti inflasi dan produk domestik bruto terlalu penting untuk diabaikan. 

"Kita telah mencapai kemajuan dalam memahami bahwa memperhitungkan krisis iklim dan alam itu relevan. Jika kita mempertimbangkan musim panas yang luar biasa panas tahun 2022, inflasi harga pangan naik antara 0,4 dan 0,9 poin persentase dan terdapat dampak yang cukup terukur terhadap PDB Jerman. Jadi, hal-hal ini relevan," katanya.

Komentar tersebut bertepatan dengan gelombang panas Eropa lainnya di mana sebagian besar wilayah tersebut mengalami suhu yang luar biasa tinggi yang dipicu oleh perubahan iklim. Para ilmuwan telah menemukan planet yang lebih panas berpotensi mengancam stabilitas harga karena sebagian karena tanaman menjadi lebih sulit dirawat dan harga pangan naik.

Upaya The Fed untuk meremehkan relevansi perubahan iklim dalam menjaga stabilitas keuangan juga mencakup intervensi untuk melemahkan standar global termasuk yang ditetapkan oleh Komite Basel untuk Pengawasan Perbankan.

Bahkan di Jerman, ekonomi terbesar di Eropa terdapat bukti nyata adanya penolakan terhadap kebijakan yang mengedepankan pertimbangan iklim dan hak asasi manusia. 

"Kami sekarang memahami bahwa kita perlu berpikir lebih dari sekadar apa arti iklim bagi stabilitas harga," ucapnya.

Dengan latar belakang tersebut, ECB kini mengintensifkan upayanya untuk menangani risiko ekonomi terkait iklim. Hal ini mencakup penyesuaian yang diumumkan minggu ini yang menunjukkan bahwa ECB akan sepenuhnya memperhitungkan tidak hanya implikasi perubahan iklim, tetapi juga degradasi alam ketika menetapkan kebijakan moneter.

"Keputusan ini merupakan tambahan penting bagi susunan kata yang digunakan oleh bank sentral," tuturnya. 

Fokus baru pada risiko terkait alam pada akhirnya akan berkontribusi pada berbagai aspek upaya ECB untuk memastikan stabilitas harga dan mengawasi bank-bank penting secara sistemik di Eropa.

Pendekatan ini sangat kontras dengan pendekatan Federal Reserve. Meskipun Ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya telah mengakui ancaman yang ditimbulkan perubahan iklim terhadap ekonomi dan sistem keuangan AS dan berulang kali menekankan The Fed tidak memiliki mandat untuk mendorong transisi rendah karbon.

"Anda telah mendengar saya berulang kali mengatakan bahwa kami tidak akan menjadi pembuat kebijakan iklim. Peran kita dalam perubahan iklim sangatlah, sangat terbatas," ujarnya. 

ECB masih mempelajari peristiwa-peristiwa seperti musim panas 2022 dan dampaknya terhadap inflasi dan PDB untuk mendapatkan gambaran tentang yang akan terjadi. Sementara itu, risiko alam rumit karena tidak ada satu metrik tunggal seperti CO2. 

"Anda harus memperhatikan stok ikan, Anda harus memperhatikan kayu, Anda harus memperhatikan tanah, Anda harus memperhatikan kelangkaan dan kualitas air. Dalam jangka pendek, akan ada lebih banyak penelitian. Lalu kita perlu bertanya: apa artinya ini bagi pemahaman kita tentang ekonomi, bagi pemahaman kita tentang inflasi? Apa artinya ini bagi keberlanjutan utang.. Pada akhirnya, responsnya mungkin serupa dengan upaya ECB untuk mengatasi risiko iklim," kata Elderson.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro