Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus memperkuat inisiatif mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Program ini menempatkan hutan sebagai garda terdepan dalam pengendalian perubahan iklim dengan harapan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan memitigasi dampak perubahan iklim yang lebih luas.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono mengatakan pendanaan iklim di Indonesia menghadapi tantangan besar yakni gap antara kebutuhan pendanaan yang sangat besar dan jumlah dana yang tersedia. Penyaluran dana Pembayaran Berbasis Hasil atau Results-Based Payment (RBP) REDD+ dari Green Climate Fund (GCF) ini diharapkan dapat membawa dampak yang nyata untuk aksi iklim di daerah.
Indonesia berhasil memperoleh pendanaan dari GCF sebesar US$103,8 juta untuk program percontohan RBP yang berfokus pada pengurangan emisi sektor kehutanan. Dana ini diberikan atas keberhasilan Indonesia menurunkan 20,25 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada periode 2014-2016. Dari total pendanaan tersebut, alokasi US$93,4 juta akan digunakan untuk output 2 dari proyek RBP REDD+ GCF yang dimulai pada Juli 2023 dan direncanakan selesai pada 2030.
"Kami apresiasi kepada Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) atas komitmennya dalam mengelola sumber pendanaan iklim yang berasal dari luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta mendistribusikannya hingga tingkat subnasional dan masyarakat. Kita harus membuktikan dana yang sudah diberikan GCF terdistribusi dan ada dampaknya," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (8/8/2025).
Menurutnya, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat harus bertanggung jawab atas dana yang diberikan. KLH bersama BPDLH akan melihat dari sisi akuntabilitas agar dampak berdampak terhadap perubahan iklim.
Baca Juga
Pendanaan GCF ini diharapkan dapat mendukung aksi mitigasi perubahan iklim di 38 provinsi di Indonesia baik di tingkat nasional maupun subnasional. BPDLH sebagai lembaga yang mengelola dana ini telah menyalurkan dana kepada 15 provinsi yakni Jawa Timur, Bali, Riau, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Papua Barat Daya, Jawa Tengah, Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta, Sulawesi Utara, Gorontalo, Kepulauan Riau, Sumatra Barat, dan Kalimantan Barat.
Penyaluran dana ini dengan alokasi lebih dari Rp251 miliar ini memiliki durasi yang berbeda-beda antara 1 tahun hingga 4 tahun sesuai dengan
kebutuhan di masing-masing provinsi. Untuk mendukung kelancaran proyek, 8 lembaga perantara telah ditunjuk untuk membantu pengelolaan dana dan fasilitasi proyek tersebut. Adapun proses penyaluran dana ini dimulai secara resmi dengan penandatanganan perjanjian kerjasama antara BPDLH dan 8 lembaga perantara.
Hingga saat ini, capaian implementasi proyek telah mendukung lebih dari 2 juta hektare perluasan perhutanan sosial, fasilitasi 40 usulan penetapan hutan adat, pendampingan terhadap 163 RKPS, dan mencatatkan 4.477 lokasi proklim. Selain itu, proyek ini juga mendukung pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat, pengendalian kebakaran hutan dan lahan di 7 provinsi rawan karhutla, dan memperkuat kapasitas teknis di tingkat nasional serta subnasional dalam pelaporan GRK. Proyek ini juga berkontribusi dalam penguatan arsitektur REDD+ dan implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) mitigasi perubahan iklim.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Mahfudz menuturkan upaya mencapai NDC 2030 membutuhkan sumber daya yang sangat besar khususnya
pendanaan, sedangkan dukungan dari APBN masih belum optimal. Pendanaan seperti Proyek RBP REDD+ GCF output 2 berkontribusi langsung dalam mencapai target NDC, pengelolaan hutan lestari, dan kesejahteraan masyarakat.
Direktur Utama BPDLH Joko Tri Haryanto menuturkan melalui kerja sama ini, pemerintah Indonesia tidak hanya menyalurkan dana tetapi juga menyalurkan harapan dan kepercayaan global terhadap komitmen Indonesia dalam penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Proyek RBP REDD+ GCF Output 2 dapat menjadi katalis untuk akses RBP di daerah.
Indonesia menegaskan komitmennya bahwa menjaga hutan bukan hanya sebuah kewajiban, tetapi juga merupakan warisan yang harus dijaga untuk masa depan bersama. Dengan dukungan berbagai pihak, Indonesia optimistis dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan mewujudkan aksi mitigasi dan adaptasi yang lebih efektif di masa depan.