Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap Indonesia mendapat tawaran pinjaman hijau atau green loan dari lembaga keuangan multilateral development bank, seperti World Bank hingga Asian Developments Bank (ADB) untuk mendukung pengembangan industri hijau yang rendah emisi.
Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin Apit Pria Nugraha mengatakan, fasilitas pembiayaan hijau tersebut juga masih bersifat pengajuan. Dana tersebut juga tidak dapat langsung digulirkan lantaran akan ada mekanisme tertentu untuk industri pengguna pinjaman.
"Yang sedang dalam proses, ini masih subjek pengajuan, kemarin itu dari World Bank dan bekerja sama dengan ADB, kami ditawarkan minimal US$250 juta," kata Apit dalam dalam agenda Carbon Neutrality (CN) Mobility Event, Kamis (13/2/2025).
Apit menerangkan bahwa fasilitas tersebut tidak dapat langsung digunakan industri karena terdapat dua kendala. Pertama, pihaknya memerlukan manajemen risiko agar pinjaman tersebut tidak disalahgunakan.
Pasalnya, dia menuturkan bahwa sebelumnya terjadi kasus ketika pembiayaan hijau dengan suku bunga yang rendah justru digunakan untuk produksi, alih-alih untuk membangun solar panel dan teknologi ramah lingkungan lainnya.
"Jadi ke depannya jangan sampai green financing provider ini langsung menyalurkan pembiayaan itu langsung ke industri. Harus ada bridging-nya, harus ada middleman-nya lah, tapi bukan middleman yang nambah cost ya," tuturnya.
Baca Juga
Tak hanya itu, kendala lainnya yakni terkait perhitungan cost of fund dari lembaga keuangan yang memiliki standar penyaluran minimal US$50 juta per proyek, sementara kebutuhan proyek industri masih terbilang kecil dikisaran Rp10 miiar untuk membangun panel surya.
"Ini juga kami diskusi dengan Kementerian Keuangan karena endorsment-nya harus dari BKF [Badan Kebijakan Fiskal], sekarang lagi proses pengajuan, bahkan kita ngajuinnya sampai US$300 juta," jelasnya.
Adapun, fasilitas green loan ini merupakan bagian dari upaya Kemenperin menumbuhkan ekosistem industri hijau. Ke depannya, Kemenperin juga berencana untuk memberikan aturan restriktif berupa pembatasan emisi karbon dan perdagangan karbon.
"Langkah awal dari menyusun kebijakan tersebut kami harus membuat dulu satu sistem informasi pendukung karena ini enablers-nya. Kita bagaimana bisa melakukan perdagangan emisi kalau data aja enggak punya, harus punya infrastrukturnya dan sistem informasinya," tuturnya.
Untuk itu, Kemenperin juga akan menerapkan wajib lapor emisi bagi industri guna mengumpulkan profil emisi gas rumah kaca (GRK) dan polutan. Di samping itu, Apit menuturkan bahwa Kemenperin akan mulai membatasi emisi untuk empat subsektor industri.
"Kita membatasi dulu di empat subsektor prioritas yaitu industri semen, pupuk, industri baja, dan pulp and paper. Jadi pembatasan emisi [emisi allowance] ini ibaratnya jatah mengeluarkan emisi selama 12 bulan ke depan," pungkasnya.