Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup menargetkan penyerahan Second Nationally Determined Contribution (NDC) atau NDC 3.0 Indonesia akan dilakukan pada September tahun ini.
Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup Ary Sudijanto mengatakan saat ini bumi tengah mengalami 3 krisis yakni krisis iklim, pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta krisis kehilangan keanekaragaman hayati. Ketiga krisis itu saling berkaitan dan memperkuat sehingga menjadi sebuah ancaman.
Sejak tahun 2015 dengan Paris Agreement, semua negara diminta untuk berkontribusi mengatasi krisis iklim. Indonesia juga berkomitmen untuk berkontribusi dalam upaya secara global menahan kenaikan suhu rata-rata bumi itu tidak melebihi 2 derajat Celsius. Bahkan, Indonesia menargetkan kenaikan rata-rata suhu bumi itu tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas dari suhu rata-rata praindustri. Tentunya komitmen ini dengan mempertimbangkan perlunya menjaga kesesuaian dengan tujuan pembangunan ekonomi.
Indonesia juga berkomitmen pada NDC yang pertama untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan bahkan bisa mencapai 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030. Saat ini, Indonesia tengah dalam finalisasi dokumen second NDC untuk target penurunan emisi tahun 2060.
"Kita sudah mendapatkan kesepakatan dari sektor-sektor penyumbang emisi terkait dengan hitungan koreksi penurunan emisi yang akan kita komitmenkan harapannya kita bisa memberikan dokumen second NDC pada bulan September 2025 mendatang," ujarnya, Jumat (22/8/2025).
Menurutnya, untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca ini membutuhkan pendanaan yang luar biasa besar yakni mencapai US$280 miliar atau setara hampir Rp4.000 triliun rupiah sampai tahun 2030. Bahkan, data dari Kementerian Perindustrian, untuk mencapai dekarbonisasi sektor industri dimana terdapat target lebih ambisius Net Zero Emission (NZE) lebih cepat 10 tahun yakni pada 2050 membutuhkan dana Rp5.000 triliun.
Baca Juga
"Sektor industri punya target yang lebih ambisius untuk bisa mencapai NZE 10 tahun lebih awal yaitu tahun 2050 dari target 2060. Perindustrian juga melakukan upaya untuk melakukan dekarbonisasi terhadap keseluruhan atau sembilan subsektor yang ada di kementerian perindustrian mereka menyampaikan perhitungan kira-kira sampai 2030 itu butuh Rp5.000 triliun," katanya.
Kebutuhan anggaran tersebut sebesar 20% bisa didukung dari APBN dan APBD, sedangkan sisanya 80% berasal dari pendanaan aksi iklim. Pemerintah telah menerbitkan peraturan presiden nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional yang pada dasarnya peraturan tersebut sebagai kerangka dasar untuk Indonesia bisa melaksanakan Paris Agreement di dalamnya termasuk pelaksanaan nilai ekonomi karbon.
Adapun terdapat 4 skema besar yang bisa digunakan untuk mendapatkan sumber daya pendanaan yakni dana Pembayaran Berbasis Hasil atau Results-Based Payment (RBP) Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dari Green Climate Fund (GCF) yang mendapatkan pendanaan US$103,8 juta untuk mengurangi 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Lalu, pendanaan dari Norwegia melalui Result Based Contribution (RBC). Norwegia menyalurkan dana kompensasi dalam beberapa tahap, yaitu RBC tahap pertama sebesar US$54 juta, tahap kedua dan ketiga sebesar US$100 juta, dan tahap keempat sebesar US$60 juta.
"Dana tersebut digunakan untuk menjaga hutan dari deforestasi baik di Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan juga akan mulai di Aceh," ucapnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan juga dilakukan mekanisme perdagangan karbon baik melalui perdagangan emisi dan perdagangan offset. Dalam mekanisme perdagangan emisi, pelaku usaha wajib mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan ditetapkannya persetujuan teknis batas atas emisi pelaku usaha (PTBAE-PU) atau emission cap. Pelaku usaha diberikan alokasi sejumlah emisi GRK sesuai batas atas emisi yang dapat dilepaskan/dikeluarkan (cap),dan pada akhir periode harus melaporkan jumlah emisi GRK Aktual yang telah mereka lepaskan. Pelaku Usaha yang melepaskan emisi GRK yang lebih besar dari batas atas yang telah ditentukan baginya (defisit) maka harus membeli surplus emisi GRK dari pelaku usaha lain.
"Perdagangan emisi saat ini yang dikembangkan memang masih perdagangan sektoral terutama dari PLTU listrik," terangnya.
Lalu untuk perdagangan offset ini untuk pelaku usaha yang melakukan proyek karbon untuk bisa mengurangkan emisi dan penurunan emisi tersebut dinilai merupakan additionality dan kemudian akan bisa untuk menjual karbonnya.
"Ada skema compliance dan juga skema voluntary sudah dilakukan di IDX Karbon dimana pada bulan September 2023 Pak Presiden Joko Widodo pada saat itu sudah menginagurasi untuk perdagangan domestik, kemudian dilanjutkan pada 20 Januari yang lalu KLH meluncurkan untuk perdagangan internasional, di dalam sistem legislasi nasional sudah menerbitkan hampir atau lebih dari 6 juta sertifikat penurunan emisi dimana sudah lebih dari 3 juta yang kemudian bisa tersedia di dalam usaha karbon 1,6 jutanya kalau mencapai sudah bisa terjual begitu ya dimana nilainya kira-kira sampai tahun 2030 itu bisa mencapai US$16,7 miliar," tutur Ary.
Pengoptimalkan pendanaan juga bisa dengan melalui Mutual Recognition Agreement (MRA) baik dengan Jepang maupun Norwergia. Pemerintah terus mobilisasi sumber daya dari pendanaan proyek-proyek iklim nanti ke depan dan mengoptimalkan untuk memperkuat baik dari aspek supply maupun demand pada perjalanan karbon di Indonesia. Oleh karena itu, perlu mempercepat untuk penyusunan instrumen sistem registri nasional (SRN) untuk masing-masing sektor untuk memastikan jumlah produksi alokasi supply unit karbon yang dapat dipergunakan tidak mengganggu pada capaian dan menjalankan kerjasama ke depan.
"Perlu memperkuat sinergi dan kolaborasi untuk perdagangan karbon di Indonesia dengan semangat kebersamaan dan komitmen tersebut maka harapannya bisa menjadi kontribusi positif bagi perbaikan lingkungan hidup di Indonesia dan terutama adalah Indonesia memberikan kontribusi bagi dunia untuk mengatasi krisis iklim," ujarnya.