Bisnis.com, JAKARTA — Investasi yang diperlukan Pemerintah untuk mencapai pengelolaan sampah 100% pada 2029 diproyeksikan mencapai sekitar Rp300 triliun.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan besaran angka investasi senilai Rp300 triliun tersebut untuk mentransformasi tempat pemrosesan akhir (TPA) open dumping dan juga pengolahan sampah plastik.
"Kita coba proyeksikan investasinya, yang kemudian kita coba modeling maka diperlukan hampir US$20 miliar sampai US$21 miliar atau Rp300 triliun," ujarnya dilansir Antara, Kamis (21/8/2015).
Pemerintah menargetkan pengelolaan sampah 100% pada 2029 sesuai dengan target pemerintah yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Investasi tersebut diperlukan termasuk untuk mentransformasi 343 TPA yang masih menggunakan sistem open dumping atau menumpuk sampah secara terbuka tanpa pengelolaan menjadi minimal controlled landfill atau sanitary landfill.
Selain itu, juga pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF) dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di 33 kota, pendirian 250 tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dan 42 ribu TPS Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R).
Baca Juga
Jumlah tersebut mewakili potensi investasi untuk membangun ekonomi sirkular di Indonesia. Namun, di sisi lain memperlihatkan beban yang besar ketika melihat pengelolaan sampah sebagai hanya sekedar sumber pengeluaran.
PERUNDINGAN INC 5.2
Isu pendanaan kemudian menjadi salah satu yang menjadi fokus pemerintah, di tengah belum disepakatinya Perjanjian Plastik Global dalam pertemuan INC-5.2 yang berlangsung di Jenewa, Swiss pada awal Agustus ini.
Indonesia terus melakukan langkah praktis di lapangan menangani polusi plastik dengan konsolidasi bersama lapisan masyarakat, dunia usaha, dan negara lain, di tengah kondisi belum tercapainya kesepakatan terkait perjanjian plastik global.
Pemerintah Indonesia menyarankan segera sambil menunggu terbentuknya kesepakatan konsensus multilateral maka kesepakatan bilateral wajib dilakukan.
"Ini untuk penguatan kepada semua sisi yang memungkinkan kita untuk melakukan bilateral. Dukungan negara maju dalam bentuk teknologi, investasi, capacity building, transfer pengetahuan serta pendanaan tentu menjadi keniscayaan," ucapnya.
KLH bersama dengan National Plastic Action Partnership (NPAP) mempercepat penanganan sampah plastik mencapai 100% pada 2029 di tengah ketidakpastian perjanjian global yang mengikat.
"Banyak yang hal telah dirumuskan, hal-hal penting yang menjadi perhatian global telah dirumuskan tetapi menyepakatinya sepertinya masih diperlukan waktu. Ini mendorong kita semua untuk tetap jalan tanpa menunggu itu selesai. Jadi langkah-langkah operasional, langkah-langkah praktis di lapangan tetap kita lakukan," tuturnya.
Pihaknya tak menampik adanya tantangan untuk mencapai bebas plastik di 2029. Pasalnya, dari dunia usaha terdapat kekhawatiran mengenai kepastian regulasi dan pentingnya mewajibkan tanggung jawab produsen yang diperluas (Extended Producer Responsibility/EPR) dalam menangani sampah produknya.
Lalu, terdapat kebutuhan pengawasan yang lebih ketat dari hulu ke hilir dan implementasi pengelolaan sampah di tingkat tapak atau permukiman.
Namun demikian, lanjut Hanif, Indonesia perlu memperlihatkan posisi yang kuat dalam penanganan plastik tidak hanya untuk nasional tapi juga regional Asia Tenggara. Hal ini mengingat sampah plastik yang berakhir di laut tidak hanya menjadi masalah Indonesia tetapi juga negara kawasan.