Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menghitung Kerugian Ekonomi dan Beban Kesehatan Akibat dari Masalah Polusi Udara

Polusi udara di Jabodetabek memburuk, menimbulkan kerugian ekonomi Rp221 triliun dan biaya kesehatan Rp159 triliun. Emisi transportasi dan industri jadi penyebab utama.
Foto udara kawasan Margonda depok yang tertutup kabut polusi udara di Depok, Jawa Barat, Jumat (25/8/2023).Kota Depok menjadi kota paling berpolusi di Indonesia pada Jumat (25/8) dimana indeks kualitas udara (AQI) di Kota Depok menyentuh 218 AQI US, yang menunjukkan tingkat polusi udara Depok masuk kategori sangat tidak sehat, diikuti Tangerang Selatan (187) dan Jakarta (169). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.
Foto udara kawasan Margonda depok yang tertutup kabut polusi udara di Depok, Jawa Barat, Jumat (25/8/2023).Kota Depok menjadi kota paling berpolusi di Indonesia pada Jumat (25/8) dimana indeks kualitas udara (AQI) di Kota Depok menyentuh 218 AQI US, yang menunjukkan tingkat polusi udara Depok masuk kategori sangat tidak sehat, diikuti Tangerang Selatan (187) dan Jakarta (169). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.

Bisnis.com, JAKARTA — Beberapa pekan terakhir kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya terus memburuk. Terlebih, mulai memasuki musim kemarau. 

Berdasarkan Indeks kualitas udara (AQI⁺ US) dan polusi udara PM2.5, Indonesia berada di peringkat ke-15 dari 138 negara dunia dengan AQI⁺ US 101 yang artinya kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif dan memiliki partikel halus PM2.5 sebesar 35,54 µg per meter kubik. Konsentrasi PM2.5 saat ini 7,1 kali nilai panduan PM2.5 tahunan WHO.

Adapun PM2.5 merupakan partikel yang mengambang di udara dengan ukuran diameter 2,5 mikrometer atau kurang. Ukuran PM2.5 sangat kecil sehingga dapat diserap ke dalam aliran darah saat bernapas.

Di Jabodetabek, Tangerang Selatan memiliki kualitas udara yang buruk dengan indeks 167, lalu diikuti kota Bogor 123, Bekasi 92, Jakarta 85, Depok 75, dan kota Tangerang 69 AQI US. 

Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan (KLH/ BPLH) Rasio Ridho Sani mengatakan polusi udara tidak bisa semata-mata dilihat persoalan lingkungan hidup tetapi persoalan multidimensional dimana terdapat biaya ekonomi termasuk kesehatan yang harus dikeluarkan akibat dari kualitas udara. 

Penyebab polusi udara di kota besar terutama di Jabodetabek berbagai faktor antara lain emisi transportasi sekitar 32-37% pada musim hujan, dan mencapai 41% hingga 57% pada musim kemarau.

"Jadi hampir 50% penurunan udara di Jabodetabek ini berasal daripada emisi di kendaraan. Ini tantangan bagi kita, yang harus kita hadapi bersama-sama," ujarnya dikutip Jumat (1/8/2025). 

Kemudian, penyebab polusi udara berasal dari emisi dari kegiatan industri termasuk PLTU sebesar 14%, pembakaran terbuka 11% pada musim hujan dan 9% saat kemarau, debu konstruksi bangunan 13% dan aerosol sekunder 6% hingga 16% saat musim hujan dan 1% hingga 7% pada musim kemarau.

"Dan juga ada dari aerosol sekunder. Artinya bahan-bahan pencemar lainnya itu bisa bereaksi, bisa menyebabkan terbentuknya partikular menyebabkan polusi udara," katanya. 

Rasio menuturkan berbagai studi menyebutkan kerugian ekonomi dan biaya kesehatan akibat dari polusi udara ini terutama di Jakarta mencapai lebih dari Rp45 triliun per tahun atau kurang lebih sekitar 22% dari produk domestik bruto (PDB).

"Penurunan udara berdampak terhadap kesehatan masyarakat, berkontribusi terhadap kematian dini, kemudian juga gangguan kesehatan pernapasan yang sangat serius. Beban dari biaya kesehatan dalam konteks respirasi ini lebih daripada Rp13 triliun," ucapnya. 

Menurutnya, angka tersebut akan semakin meningkat jika penanganan masalah polusi udara tak serius dilakukan. Berdasarkan data OECD pada 2015, kerugian ekonomi negara mencapai kurang lebih US$96,4 miliar atau kurang lebih sekitar 3,5% dari total ekonomi Indonesia.

"Data terakhir juga menunjukkan dari studi berkaitan dengan impact of air pollution on health and cause illness di Jakarta dan sekitarnya juga menunjukkan bahwa adanya peningkatan biaya yang dikeluarkan akibat dampak pencemaran udara ini. Saat ini Indonesia menghadapi permasalahan sangat serius dan sangat kompleks," tuturnya. 

Oleh karena itu, permasalahan polusi udara ini tidak boleh diabaikan karena akan menciptakan permasalahan-permasalahan lebih besar lagi. Penanganan polusi udara diperlukan kerja sama dan koordinasi sejumlah pihak kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah di Jabodetabek. 

"Dari Januari sampai dengan Juli, tingkat udara di Jabodetabek sangat tidak sehat. Jadi ini kondisi yang harus menjadi perhatian kita bersama-sama," 

Dia menilai untuk mengatasi masalah polusi udara diperlukan upaya transisi dari penggunaan bahan bakar yang lebih bersih dan ramah lingkungan seperti bahan bakar seperti Euro 4 sehingga bisa menurunkan emisi dari kendaraan.

"Euro 4 setara dengan standar Eropa generasi ke-4. Sementara di Eropa sudah generasi ke-6, ke-7. Kalau kita bisa mendorong bahan bakar ramah lingkungan ini, kita akan bisa menurunkan emisi dan juga kita bisa menghadirkan teknologi-teknologi ramah lingkungan bagi kendaraan," terangnya. 

KLH juga mendorong agar penurunan emisi dari kegiatan industri. Kami melakukan pengawasan-pengawasan dan juga mendorong industri untuk memasang peralatan-peralatan yang pencemaran mereka lebih baik termasuk juga menyiapkan sistem pemantau udara yang ada di masing-masing kawasan industri dan industri-industri tersebut. Selain itu, kawasan industri diharapkan juga bisa mengkonversi batubara dengan gas alam untuk mengurangi polusi udara. 

"Kami juga sudah memberikan sanksi tempat pengolahan akhir (TPA) sampah yang ilegal, terbuka, dan dilakukan dengan membakar sampah. Kami juga sosialisasi agar tak membakar sampah di permukiman," ujarnya. 

KLH juga mendorong beralihnya penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi umum untuk mengurangi polusi udara. Lalu juga menggandeng sejumlah pihak untuk meningkatkan upaya uji emisi kendaraan.

"Kami juga bekerja sama dengan Pemda untuk memperbanyak dan memperluas ruang terbuka hijau karena penting untuk menyerap polusi udara. Kami terus menggandeng Pemda untuk mengawasi emisi kendaraan dan juga kawasan industri agar tak mencemari udara. Ini perlu gerakan bersama agar langit kembali biru," kata Rasio. 

Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara KLH Edward Nixon Pakpahan menambahkan kualitas udara di Jabodetabek tak sehat akibat polusi dari emisi kendaraan. 

"Ini PM2.5 Jabodetabek itu di atas 100. Kita hidup di Jaboretabek. Data kajian kami, kontribusi terbesar dari transportasi baik pembakaran bahan bakar kendaraan bensin maupun solar, ini mencapai 57% kontribusinya," ucapnya. 

Emisi dari kendaraan bermotor termasuk tinggi karena menggunakan kualitas bahan bakar dengan kadar sulfur tinggi. Di Indonesia, untuk jenis bahan bakar bensin kisaran sulfurnya antara 350 sampai 550 ppm, kemudian untuk solar itu dikisaran hingga 1.200 ppm sampai 2.500 ppm.

"Kalau kita refer ke internasional, Euro 4 itu maksimum 50 BPM. Malaysia dan Thailand sudah menuju Euro 6, itu sudah menuju 10 BPM. Jadi sebenarnya gak perlu rumit. Sekian juta kiloliter bahan bakar, baik solar dan bensin dibakar di Jabodetabek terus, maka sulfur yang terpapar, prekursor SO2 maupun partikulat 10-2,5. Ini berdampak pada kesehatan masyarakat karena kerentanan tiap orang berbeda," terangnya. 

Dia mendorong kebijakan penggunaan bahan bakar rendah sulfur untuk mengurangi pencemaran udara tidak hanya di Jabodetabek tetapi juga di seluruh Indonesia dengan dukungan dari pemerintah daerah (pemda). Penggunaan transportasi umum yang berbahan bakar listrik dan bahan bakar rendah sulfur dapat mengurangi polusi udara di Jabodetabek hingga 5%. 

"Ini harus ada tanggung jawab bersama, tidak hanya KLH tetapi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian untuk mengatasi masalah polusi udara," tutur Nixon. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan kerugian ekonomi dan biaya kesehatan akibat dampak dari polusi udara mencapai Rp221 triliun setiap tahunnya atau setara 1% dari produk domestik bruto harga berlaku.

"Kerugian dari polusi udara itu mencakup belanja kesehatan masyarakat yang akan meningkat, kemudian juga dampak terhadap klaim BPJS Kesehatan, artinya ada anggaran yang lebih besar lagi dari sisi pemerintah untuk belanja kesehatan," ujarnya kepada Bisnis. 

Dampak dari polusi udara juga berkurangnya produktivitas dan aktivitas ekonomi masyarakat serta biaya listrik yang meningkat akibat penggunaan pendingin ruangan. Hal ini karena akan menghindari aktivitas di luar gedung atau luar rumah sehingga pemakaian biaya rumah tangga dan perkantoran untuk listrik, AC, kipas angin itu akan meningkat.

Polusi udara yang tinggi juga akan menurunkan minat dari investasi karena investor yang ingin membuka cabang atau ekspansi atau membuka kantor perwakilan yang ada di Indonesia di daerah yang polusinya tinggi. Hal ini karena investor akan mengeluarkan biaya yang lebih besar.

"Nah ini yang membuat akhirnya minat investasinya juga bisa menurun, karena efek dari polusi udara. Di 3 kawasan industri Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara biaya kesehatan akibat polusi Rp40,7 triliun," katanya. 

Dia menilai untuk menangani masalah polusi udara diperlukan kerja sama multipihak antara lain, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Hal ini dalam rangka menurunkan emisi, menutup PLTU Batubara yang dianggap berkontribusi terhadap polusi udara, penyediaan sarana transportasi publik untuk menekan emisi.

"Dari sisi pelaku usaha, itu harus diajak untuk melakukan dekarbonisasi industri, harus bisa menerapkan ESG, itu sebenarnya memang harus multipihak, enggak bisa salah satu kementerian saja. Ini urusan bersama, bahkan pemerintah daerah pun juga punya andil yang sangat besar dalam mengendalikan polusi udara," ucap Bhima. 

RISIKO KESEHATAN MENINGKAT

Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan buruknya kualitas udara di Indonesia meningkatkan risiko kesehatan pada masyarakat.

Laporan State of Global Air 2024 menyebutkan polusi udara menyumbang 8,1 juta kematian secara global pada 2021 menjadikannya faktor risiko kematian terbesar kedua di dunia. Sektor transportasi terutama kendaraan bermotor, merupakan salah satu kontributor utama pada polusi udara perkotaan. 

Lalu lintas kendaraan bermotor mendominasi kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang menyebabkan emisi kendaraan bermotor menjadi faktor utama terjadinya polusi udara. Pembakaran bahan bakar minyak yang tidak sempurna menyebabkan mesin-mesinnya menghasilkan polutan, seperti partikel debu (particulate matter/PM), CO, SO2, NO2, dan O3, yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Partikel debu merupakan suatu campuran dari partikel padat dan cair yang dapat ditemukan di udara. Ukuran dari partikel debu yang terdapat di udara secara langsung dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Environmental Protection Agency (EPA) mengelompokkan partikel debu berdasarkan ukurannya menjadi dua kategori, yaitu partikel debu kurang dari 10 mikrometer (PM10) dan partikel debu kurang 2,5 mikrometer (PM2.5). Sumber PM10 berasal dari serbuk sari, debu dari erosi, lahan pertanian, jalan raya, dan pertambangan.

Kemudian sumber dari PM2.5 dapat berasal dari sumber primer pembakaran bahan bakar di fasilitas pembangkit listrik, industri, dan kendaraan dan sumber sekunder reaksi kimia antargas. PM2.5 merupakan polutan yang sangat berbahaya karena partikel ini berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron dalam diameter aerodinamis yang mampu menembus jauh ke dalam paru-paru dan masuk ke aliran darah sehingga dapat menyebabkan stres oksidatif dan peradangan. Paparan jangka panjang dari PM2.5 menyebabkan berbagai penyakit kronis pada orang dewasa termasuk penyakit jantung iskemik, kanker paru-paru, serta infeksi saluran pernapasan. Sementara paparan jangka pendek dari PM 2.5 dapat meningkatkan kasus akibat infeksi saluran pernapasan, serangan jantung non-fatal, stroke, dan penyakit akut lainnya.

"Data KLH beberapa indikator terkait dengan emisi kendaraan bermotor, seperti particulate matter (PM), nitrogen dioksida (NO2), dan karbon monoksida (CO), mengalami peningkatan setiap tahun hingga melebihi nilai ambang batas normal. Berdasarkan laporan pemantauan kualitas udara. konsentrasi PM 2.5 di Jabodetabek telah jauh melebihi nilai standar nasional sehingga berada pada kondisi yang tidak sehat  Begitu pula parameter CO dan SO2, yang nilai konsentrasinya sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh WHO," tutur kepada Bisnis. 

Fabby menuturkan berdasarkan hasil kajian Bappenas pada 2022, setiap peningkatan 10 μg per meter kubik PM2.5 berkaitan dengan peningkatan kasus pneumonia sebesar 5,7% di Jakarta. Peningkatan 10 μg/m3 SO2 di Jakarta berkaitan pula dengan peningkatan kasus pneumonia sebesar 6,7%. Begitu pula peningkatan 10 μg per meter kubik PM10 berkaitan dengan meningkatnya 1,4% kasus ISPA di Jakarta.

Secara keseluruhan, total estimasi biaya perawatan untuk penyakit-penyakit akibat polusi udara di Jakarta berkisar Rp697,9 miliar hingga Rp38,5 triliun. Angka ini mencerminkan beban finansial yang signifikan yang harus ditanggung oleh sistem kesehatan di Jakarta. Penanganan yang tepat dan upaya pencegahan dapat membantu mengurangi beban ini di masa depan.

"Untuk biaya kesehatan di Jakarta akibat polusi hasil perhitungan US$2,9 miliar per tahun. Klaim BPJS kesehatan yang berkaitan dengan penyakit akibat polusi udara mencapai Rp159 triliun di 2023 naik dari tahun 2020 yang Rp73 triliun karena semakin buruk kualitas udaranya," ujarnya. 

Menurutnya, untuk mengatasi persoalan polusi udara, pemerintah harus meningkatkan kualitas bahan bakar dengan mengharuskan penggunaan standar minimal Euro IV dan pembatasan emisi gas buang industri salah satunya PLTU batu bara. Di sektor transportasi, akselerasi penggunaan kendaraan listrik, untuk mengurangi pembakaran BBM.

"Sebenarnya sudah ada aturan Menteri LHK 2019 tapi tidak tahu bagaimana penerapannya. Lalu melarang pembuangan dan pembakaran sampah dan limbah padat dan penegakan hukum yang tegas bagi pelanggar," kata Fabby.

Terpisah, Co-Founder Bicara Udara Novita Natalia berpendapat dampak polusi udara tidak hanya dirasakan secara fisik melalui gangguan kesehatan, tetapi juga secara ekonomi akibat penurunan produktivitas masyarakat. Masalah itu tidak bisa diatasi secara sektoral atau terbatas pada satu wilayah administratif, melainkan memerlukan pendekatan terkoordinasi lintas daerah.

"Kita tidak bisa terus mengabaikan bahwa udara yang kita hirup setiap hari sedang sakit. Perlu adanya pemerintah daerah Jabodetabekpunjur mengendalikan polusi udara lintas wilayah yang dipengaruhi oleh pergerakan angin yang mengirim sumber-sumber polutan," ucapnya. 

Dia menilai perlunya reformasi sistemik di sektor industri, transportasi, energi, dan pengelolaan sampah sebagai sumber utama polusi udara. Pasalnya, penanganan polusi udara terbukti mampu menurunkan angka kematian dini serta mengurangi beban pembiayaan kesehatan akibat penyakit kronis seperti asma dan gangguan pernapasan lainnya.

"Kalau kita mengurangi polusi udara di Jakarta, beban BPJS kesehatan akibat penyakit respirasi akibat polusi udara itu mencapai Rp1,6 triliun dari tahun 2018 hingga tahun 2022. Ini dibagi saja per tahunnya beban BPJS. Polusi udara ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar," tuturnya. 

Pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta Muhammad Aminullah mengatakan selama ini pemerintah tidak mengatasi persoalan udara di hulu artinya pemerintah belum serius menangani polusi udara.

"Pemerintah sibuk meredakan polusi udara di hilir melalui watermist misalnya, pengaturannya tidak diperketat. Akar persoalan polusi udara belum diatasi sepenuhnya seperti transportasi, pembangkit listrik, industri, maupun TPA belum ada perubahan signifikan dari sektor-sektor tersebut," ujarnya kepada Bisnis. 

Menurutnya, mengatasi polusi udara di Jabodetabek perlu adanya sinergitas antara kepala daerah di Jakarta, Banten, dan Jabar. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dapat menjadi supervisi yang mengkoordinatori ketiga kepala daerah tersebut dalam menangani pencemaran udara.

"Fungsi tersebut yang sampai saat ini belum berjalan," katanya.

Dia menilai penanganan masalah polusi udara masih parsial di wilayah tertentu dan tidak menyeluruh ke segala aspek penyebab. Oleh karena itu, diperlukan penguatan hukum lingkungan dan kerja sama antara ketiga kepala daerah di Jabodetabek. 

"Tidak hanya soal penindakan tetapi juga pencegahan. Misal mengkaji setiap penerbitan izin lingkungan yang berpotensi menyebabkan pencemaran udara, jadi diperketat sejak rencana penerbitan izin, tidak hanya setelah industri jadi, kemudian ditindak," ucap Anca. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro