Bisnis.com, JAKARTA — Intensitas cuaca ekstrem yang memburuk akibat perubahan iklim telah berdampak signifikan ke sajian di meja makan kita. Riset dari Barcelona Supercomputing Center dan the European Central Bank mencatat fenomena cuaca sepanjang 2022–2024 cenderung tidak wajar dan memicu lonjakan harga komoditas pangan.
Di Australia, harga selada sempat melesat hingga 300%. Sementara kawasan Eropa mengalami lonjakan harga minyak zaitun hingga 80% dan sayuran di Amerika Serikat sempat dibanderol dengan harga 80% lebih tinggi.
Data tersebut diungkapkan dalam laporan bertajuk Climate extremes, food price spikes, and their wider societal risks. Laporan yang meneliti 16 kejadian di 18 negara sepanjang 2022–2024 itu memperlihatkan bahwa gelombang panas, kekeringan, dan curah hujan ekstrem telah memicu lonjakan harga pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Kondisi luar biasa seperti ini diperkirakan akan menjadi makin umum di seluruh dunia. Pada saat yang sama, rekor-rekor baru untuk kondisi ekstrem akan terus tercipta, melebihi tingkat yang saat ini bisa ditoleransi oleh sistem produksi pertanian dan ekonomi,” tulis para penulis studi yang dipublikasikan di Environmental Research Letters tersebut, dikutip Rabu (23/7/2025) dari Bloomberg.
Baca Juga : Laporan IRENA: Lebih dari 90% Proyek Energi Terbarukan Lebih Murah daripada Listrik Fosil |
---|
Perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu dan curah hujan ekstrem yang dapat menurunkan hasil panen dan membuat harga komoditas lebih mahal.
Estimasi lembaga nirlaba Energy and Climate Intelligence Unit (ECIU) menyebutkan tagihan belanja makanan rumah tangga di Inggris, misalnya, meningkat £361 (sekitar Rp7,9 juta) pada 2022 dan 2023 akibat perubahan iklim.
Sementara itu, konsumen di seluruh dunia melaporkan bahwa mereka merasakan dampak perubahan iklim terhadap harga bahan makanan mereka. Komoditas pangan menjadi tidak terjangkau bagi sebagian orang dan menimbulkan tantangan bagi bank sentral dalam menekan inflasi.
Tantangan harga pangan ini tercatat di AS pada 2022 ketika negara bagian California mengalami tiga tahun terkering sepanjang sejarah. Cuaca ekstrem itu membuat satu juta hektare lahan pertanian tidak bisa ditanami sehingga memicu kerugian awal hasil panen hampir US$2 miliar.
Kekeringan ini juga telah memicu turunnya pasokan air di Sungai Colorado, Arizona. Akibatnya, produksi selada musim dingin turun dan mengerek harga hingga 80% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Gelombang panas yang melanda Asia tahun lalu juga memicu lonjakan harga sayuran hingga 40% di China selama Juni–September. Suhu yang bisa mencapai 46 derajat Celsius turut membuat harga kubis di Korea Selatan melesat hingga 70%.
Adapun di Indonesia, harga beras sempat melonjak hingga 16% pada Februari 2024 akibat kekeringan parah yang terjadi pada tahun sebelumnya.
Yosi Amelia, Kepala Program Iklim dan Ekosistem MADANI Berkelanjutan, menambahkan bahwa dampak krisis iklim terhadap ketersediaan pangan makin berat bagi Indonesia dengan sistem yang sangat bergantung pada satu komoditas, yakni beras.
“Tanpa perubahan arah kebijakan yang segera, adil, dan fundamental, kita tidak hanya menghadapi krisis iklim tetapi juga krisis pangan yang berkepanjangan dan kronis,” ujar Yosi dalam siaran pers.
Sartika Nur Shalati, Policy Strategist CERAH, mengungkapkan bahwa krisis pangan akan makin parah seiring dengan kenaikan suhu bumi. Mengacu laporan CERAH (2022), kenaikan permukaan air laut akibat panasnya suhu bumi, bahkan hanya satu meter, berpotensi menenggelamkan lebih dari 130.000 hektare sawah di pesisir.
Akibatnya, Indonesia bisa kehilangan satu juta ton produksi beras yang seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan lima juta penduduk.
“Krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan, tetapi kini sudah sampai ke meja makan kita. Jika tidak ada aksi konkret untuk menahan laju krisis iklim ini, maka krisis pangan akan berubah menjadi ancaman ekonomi dan ketahanan nasional yang lebih besar dan serius,” kata Sartika.
Apakah Inflasi Akibat Iklim Akan Permanen?
Max Kotx, penulis utama studi dan peneliti pascadoktoral di Barcelona Supercomputing Center, mengemukakan bahwa harga cenderung merespons satu hingga dua bulan setelah peristiwa panas ekstrem atau kekeringan. Ia dan rekan penulis juga menelusuri seberapa tidak lazimnya peristiwa cuaca tersebut berdasarkan distribusi suhu dari waktu ke waktu.
Mereka menemukan bahwa panas, kekeringan, dan banjir terjadi dengan intensitas dan frekuensi yang meningkat. Pola iklim El Niño yang terjadi pada 2023 hingga 2024 kemungkinan juga berkontribusi terhadap cuaca ekstrem yang diamati.
“Biasanya, lonjakan harga pangan akibat cuaca ekstrem bersifat sementara, karena harga tinggi mendorong peningkatan produksi yang kemudian menurunkan harga kembali,” ujar Andrew Stevenson, analis iklim senior di Bloomberg Intelligence.
Namun, produk seperti kopi dan sapi menjadi pengecualian karena hanya bisa diproduksi di wilayah tertentu, seperti iklim tropis atau lahan luas untuk penggembalaan. Kontrak berjangka kopi dan sapi yang mencerminkan harga jangka pendek di pasar, terpantau terus naik sejak 2020. Tren ini berbeda dengan jagung yang lebih mudah ditanam di banyak tempat.
Stevenson juga menyoroti dampak tarif baru AS terhadap petani di luar negeri.
“Produsen berada di posisi sulit, harga daging sapi terlalu mahal untuk dijual di dalam negeri, tetapi belum cukup tinggi untuk dijual ke luar negeri dengan tarif 50%,” tambahnya.
Cuaca ekstrem diperkirakan akan terus berlanjut, dan studi ini merekomendasikan agar negara-negara mempertimbangkan kebijakan untuk membantu konsumen menghadapi lonjakan harga pangan.
Namun pada akhirnya, pengurangan emisi gas rumah kaca dan pembatasan pemanasan global adalah kunci untuk meredam risiko inflasi harga pangan.
Prediksi iklim dapat memberikan peringatan dini, dan pertanian dapat menerapkan adaptasi seperti irigasi, meskipun kedua pendekatan ini memiliki keterbatasan.