Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah masih merumuskan posisi Indonesia menjelang pelaksanaan konferensi iklim ke-30 PBB atau COP30 yang bakal digelar di Belem, empat bulan mendatang.
Isu pendanaan iklim diproyeksi akan menjadi menu utama, tetapi isu kepemimpinan dan transformasi global menuju masa depan rendah emisi juga jadi perhatian.
Terkait tema pendanaan iklim, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan bahwa makna pendanaan yang diinginkan bisa memanfaatkan potensi yang ada.
Menurutnya, salah satu yang pendanaan iklim yang terbuka adalah Tropical Forests Forever Fund (TFFF), sebagai mekanisme inovatif yang dirancang untuk memberikan insentif finansial jangka panjang dan berskala besar bagi negara-negara tropis yang berhasil melestarikan dan memperluas tutupan hutannya.
“TFFF juga bisa dipersiapkan, ini mekanisme yang progresif, pendanaan dari perluasan lahan, tidak hanya menurunkan emisi. TFFF bisa memberikan pendanaan langsung, untuk negara yang menjaga hutan,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (15/7/2025).
Model TFFF akan menggabungkan investasi publik dan mobilisasi modal swasta, dengan target pendanaan sekitar US$4 miliar per tahun yang didistribusikan berdasarkan kinerja pelestarian hutan, diverifikasi melalui pemantauan satelit.
Baca Juga
Sebelumnya, inisiasi TFFF sudah mendapatkan dukungan para pemimpin BRICS, pada KTT BRICS ke-17. Salah satu pendanaan iklim ini diluncurkan di COP28 di Uni Emirat Arab dan diharapkan akan resmi diluncurkan pada COP30.
Deklarasi Kerangka Kerja Pemimpin BRICS tentang Pembiayaan Iklim, yang diluncurkan pada hari Senin (6/7/2025), mencatat bahwa TFFF memiliki potensi untuk menjadi instrumen blended finance yang menjanjikan.
Pendanaan ini diharapkan mampu menghasilkan aliran finansial yang dapat diprediksi dan jangka panjang untuk konservasi hutan yang berdiri tegak.
Inisiatif dari presidensi Brasil ini menyerukan kepada negara maju untuk memenuhi komitmen mereka di bawah Perjanjian Paris, termasuk target memobilisasi US$300 miliar per tahun pada 2035 untuk mendukung negara berkembang, dengan tujuan meningkatkan jumlah tersebut menjadi US$1,3 triliun.
Bhima menjelaskan saat ini dengan luasan hutan Indonesia mencapai 102,53 juta hektare, potensi pendanaan yang didapatkan mencapai US$410,12 juta per tahun. Adapun perhitungannya berdasarkan kompensasi US$4 per Ha dikalikan dengan 102,53 juta Ha.
“Kalau Indonesia mau cari pendanaan iklim, bisa menggunakan TFFF. Masih ada waktu untuk mempersiapkannya, bisa mengajukan klausul. Karena berdasarkan luasan lahan, Indonesia akan mendapat sekitar Rp6 triliun per tahun,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono menekankan bahwa salah satu isu utama yang menjadi prioritas Indonesia adalah menuntut realisasi pendanaan iklim dari negara-negara maju, sebagaimana telah dijanjikan.
Menurutnya, saat ini, janji pendanaan iklim sebesar US$100 miliar per tahun yang seharusnya direalisasikan sejak 2020 masih jauh dari kenyataan. Data terakhir dari UNFCCC menunjukkan bahwa hingga 2022, jumlah yang benar-benar tersedia baru mencapai US$67 miliar.
“Bagi Indonesia, ini bukan sekadar angka—ini adalah bukti bahwa komitmen global terhadap keadilan iklim masih cukup timpang,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (14/7/2025).
Adapun terkait perburuan pendanaan iklim, lanjut Bhima, Indonesia harus bisa membuktikan komitmennya terkait transisi energi. Dia mencontohkan program JETP dan RUPTL 2025 - 2034 yang tidak sinkron.
Bhima menjelaskan, tidak ada kejelasan mengenai pensiun dini PLTU, dan rencana pengembangan pembangkit listrik berbasis nuklir, semakin jauh dari rencana JETP. Hal inilah yang menjadi tantangan pendanaan iklim untuk Indonesia.
Hanya saja, selain kedua opsi pendanaan yang sudah ada, pemerintah bisa mendorong pemanfaatan utang iklim. “Bagaimana negara maju dengan utang iklimnya, bisa membantu mengurangi penghapusan utang Indonesia,” katanya.
Selain terkait keadilan pendanaan, Indonesia juga bakal mengedepankan isu terkait kepemimpinan dalam transformasi global menuju masa depan rendah emisi dan tangguh iklim.
Saat ini, Indonesia tengah menyusun National Adaptation Plan (NAP) sebagai strategi nasional menghadapi risiko bencana iklim. Selain itu, Indonesia juga terus mendorong penguatan implementasi loss and damage dan skema karbon internasional seperti Pasal 6.4 dari Perjanjian Paris.
“Walaupun sudah ada share of proceed dalam Artikel 6.4 yang menjelaskan soal pembagian keuntungan skema perdagangan karbon kepada negara berkembang, Indonesia masih bertekad mendorong penambahan kontribusi pendanaan dari negara maju,” tegas Diaz.