Bisnis.com, SEMARANG - Pakar Kebijakan Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Ahmad Maryudi, menyebut Indonesia tengah mendapat momentum untuk melakukan perbaikan tata kelola kehutanan. Terlebih setelah Uni Eropa memberikan relaksasi atas penerapan Undang-undang Anti-deforestasi atau Uni European Deforestation Regulation (EUDR).
"Aturan anti-deforestasi ini bukan hanya urusan dari sektor kehutanan saja. Perlu adanya komunikasi lintas sektor, seperti antara sektor pertanian, perdagangan, bahkan diplomasi luar negeri," jelas Ahmad pada Selasa (22/7/2025).
Ahmad menyebut, relaksasi penerapan EUDR di Indonesia merupakan proses diplomasi yang wajar dan perlu ditanggapi secara tepat. Dalam hal ini, Indonesia perlu mengikuti standar yang diterapkan Uni Eropa secara bertahap dan terukur.
Undang-undang Anti-deforestasi yang disyaratkan Uni Eropa itu menjadi momentum transisi pengelolaan kehutanan yang perlu direspon secara hati-hati.
“Kita tidak bisa menolak arus regulasi global, tapi kita bisa dan harus mengatur irama kita sendiri. Supaya transisinya adil, tidak memberatkan petani kecil, dan tetap menjaga keberlanjutan hutan,” kata Ahmad dalam siaran pers.
Ahmad menjelaskan bahwa implementasi EUDR membawa ancaman bagi keberlanjutan ekspor komoditas kehutanan dan pertanian di Indonesia. Bagi pelaku usaha, khususnya petani kecil yang jadi penopang industri sawit, kopi, dan kakao, aturan yang disyaratkan Uni Eropa itu dikhawatirkan bakal memberatkan.
Baca Juga
“Ini sistem yang costly. Bahkan perusahaan besar saja belum tentu langsung siap. Apalagi petani kecil yang punya keterbatasan teknis dan finansial. Mereka jelas akan terdampak,” jelasnya.
Meski Uni Eropa bukan pasar ekspor utama untuk semua komoditas, contohnya sawit lebih banyak dikirim ke Tiongkok dan India, Ahmad Maryudi menekankan pentingnya posisi Eropa secara politik. Ia merekomendasikan untuk tetap waspada.
“Uni Eropa sering jadi trend-setter regulasi global. Kalau mereka menetapkan standar, negara lain biasanya ikut menyesuaikan. Jadi meskipun pangsa pasarnya tidak dominan, kita tetap harus waspada karena tren globalnya mengarah ke sana,” pungkasnya.
Sebagai informasi, melalui EUDR, Uni Eropa menargetkan untuk mampu mengurangi 10% laju deforestasi akibat aktivitas konsumsi di sektor agrikultur dan kehutanan. Mulanya, regulasi itu bakal mulai diterapkan pada Desember 2024 lalu. Namun demikian, berdasarkan desakan Indonesia bersama Brasil dan Amerika Serikat, implementasi EUDR berhasil ditunda hingga pengujung tahun ini.
Uni Eropa sendiri telah merilis kategorisasi risiko deforestasi berdasarkan negara mitra dagang. Dimana Indonesia masuk dalam negara dengan risiko deforestasi standar. Artinya, ekspor komoditas seperti sawit, kayu, kakao, dan karet Indonesia ke Uni Eropa bakal lebih mudah dibandingkan dengan negara-negara dengan kategori risiko deforestasi yang lebih tinggi.