Bisnis.com, JAKARTA – Negara-negara anggota BRICS memperkirakan minyak bumi masih memainkan peran yang krusial dalam bauran energi global, terutama di negara-negara berkembang. Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa kelompok BRICS menghadapi tantangan dalam menyatukan posisi pada isu-isu utama terkait transisi energi.
Konferensi Tingkat Tinggi BRICS 2025 di Brasil telah usai, dalam pernyataan bersama mereka, para pemimpin BRICS mendesak negara-negara kaya untuk mendanai upaya mitigasi emisi gas rumah kaca secara global.
Selain itu, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, dalam sambutan pembukaan KTT BRICS 2025, mengecam keras penyangkalan terhadap keadaan darurat iklim. Ia secara tidak langsung mengkritik keputusan mantan Presiden AS Donald Trump yang menarik negaranya dari Perjanjian Paris 2015.
Lula menyatakan bahwa penyangkalan dan unilateralisme saat ini mengikis pencapaian masa lalu serta merusak masa depan bersama. "Saat ini, penyangkalan dan unilateralisme mengikis pencapaian masa lalu dan merusak masa depan kita," katanya, dikutip dari Reuters, Senin (7/7/2025).
Tidak hanya itu, para pemimpin BRICS juga mengecam kebijakan seperti pajak perbatasan karbon dan undang-undang anti-deforestasi, yang baru-baru ini diadopsi Eropa. BRICS menganggap Eropa memaksakan apa yang disebut tindakan proteksionis diskriminatif dengan dalih masalah lingkungan.
Deklarasi mereka juga menyebutkan dukungan terhadap dana yang diusulkan Brasil untuk melindungi hutan yang terancam punah, yakni Tropical Forests Forever Facility. Fasilitas pendanaan ini merupakan salah satu cara negara-negara berkembang untuk mendanai mitigasi perubahan iklim, di luar kewajiban yang ditetapkan oleh negara-negara kaya dalam Perjanjian Paris 2015.
Baca Juga
China dan Uni Emirat Arab dalam pertemuan dengan Menteri Keuangan Brasil, Fernando Haddad, di Rio mengisyaratkan bahwa mereka berencana untuk berinvestasi dalam dana tersebut, menurut dua sumber yang mengetahui diskusi tersebut, yang dikutip oleh Reuters pekan lalu.
Komitmen Transisi Energi Indonesia
Presiden RI Prabowo Subianto mengajak negara-negara BRICS untuk memperkuat kolaborasi dalam menghadapi krisis iklim, terutama melalui percepatan transisi menuju energi bersih. Hal ini guna mengatasi dampak nyata dari krisis iklim yang juga dirasakan Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam sesi pertemuan bersama para pemimpin dan delegasi negara yang hadir di Rio de Janeiro Brasil, bertema Environment, COP 30, and Global Health.
"Tadi, Pak Presiden menyampaikan bahwa dampak-dampak dari perubahan iklim sangat dirasakan oleh Indonesia," ujar Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir di Rio de Janeiro, Brasil, seusai mendampingi Presiden Prabowo dalam agenda tersebut dilansir Antara, Selasa (8/7/2025).
Arrmanatha menuturkan Indonesia berkomitmen untuk turut serta dalam memerangi perubahan iklim tersebut.
"Pak Presiden menyampaikan komitmen Indonesia untuk memerangi climate change dan utamanya proses upaya kita untuk melakukan energi bersih,” katanya.
Adapun sejumlah negara turut menyampaikan komitmen yang sama untuk menangani permasalahan mengenai perubahan iklim. Hal ini termasuk juga penguatan kolaborasi dan agenda iklim menjelang Conference of The Parties atau COP30 yang akan diselenggarakan di Brasil.
Sayangnya, terkait transisi energi, Indonesia menghadapi tantangan domestik. Lebih dari 75% pertumbuhan listrik selama 2014 hingga 2023 masih bersumber dari bahan bakar fosil.
Indonesia bersama anggota mitra terbaru seperti Kazakhstan, Nigeria, dan Malaysia, saat ini justru sedang membangun kapasitas pembangkit berbasis fosil sebesar 25 GW, jauh melebihi kapasitas energi bersih yang hanya mencapai 10 GW, menurut laporan Global Energy Monitor per April 2025.
Dari total kapasitas tersebut, lebih dari 60% proyek yang sedang dibangun melibatkan perusahaan China, baik sebagai pengembang maupun penyedia pembiayaan.
Di sisi lain, Indonesia diharapkan dapat menjawab peluang untuk mendorong transisi energi, terutama di bidang kelistrikan. Pasalnya, Asia diproyeksi menjadi garda terdepan dalam transisi energi global, terutama di sektor ketenagalistrikan.
Laporan terbaru dari Ember menyoroti bagaimana negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh telah meningkatkan pangsa listrik dalam bauran energi total mereka jauh lebih cepat daripada Amerika Serikat.
Saat ini, negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, masih bergulat dengan berbagai hambatan kebijakan dan insentif, negara-negara berkembang di Asia secara agresif merangkul elektrifikasi dan energi terbarukan sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi masa depan.
Dominasi China
Inspirasi transisi energi negara Asia bisa dibilang juga datang dari China. Misalnya saja di sektor energi berbasis tenaga surya.
Industri energi bersih China yang masif telah mendorong lonjakan penggunaan energi surya di negara-negara BRICS. Blok tersebut tercatat menyumbang lebih dari separuh pembangkit listrik tenaga surya global pada 2024, menurut laporan terbaru lembaga riset energi Ember.
Meskipun mayoritas negara BRICS masih menjadi produsen utama bahan bakar fosil, kelompok ini secara kumulatif menghasilkan 51% energi surya dunia pada tahun lalu, naik drastis dari hanya 15% satu dekade sebelumnya. China memimpin dengan kontribusi sebesar 39%, disusul oleh India sebesar 6,3% dan Brasil sebesar 3,5%.
“Negara-negara BRICS tak lagi hanya menjadi penonton dalam transisi energi bersih, kini mereka justru menjadi penggeraknya. Saat ini, blok tersebut menyumbang lebih dari separuh produksi listrik tenaga surya global,” kata Senior Electricity Analyst dari Ember, Muyi Yang , dalam siaran pers, Kamis (3/7/2025).
China, India, dan Brasil kini menempati posisi sebagai kekuatan utama energi bersih dunia, masing-masing masuk dalam lima besar produsen tenaga surya global pada 2024. Tren pertumbuhan ini pun terus berlanjut.
Produksi tenaga surya China naik 42% dalam empat bulan pertama 2025, sementara India dan Brasil mencatatkan pertumbuhan lebih dari 30% dalam periode yang sama.
China juga memanfaatkan keunggulan teknologi dan hubungan dagangnya dalam BRICS dengan mengekspor sel dan panel surya senilai US$9,4 miliar ke sesama negara anggota sejak awal 2024, menurut data BloombergNEF.
Namun, kepemimpinan energi bersih dari negara-negara pendiri BRICS belum sepenuhnya mengalir ke seluruh anggotanya, bahkan dengan besarnya investasi luar negeri dari China.
Ember turut mencatat bahwa perkembangan transisi energi di antara negara-negara anggota BRICS masih berjalan timpang. Rusia masih tertinggal jauh dalam pertumbuhan energi bersih, dengan produksi listrik tenaga surya yang masih di bawah 500 gigawatt hour (GWh) pada awal 2025.