Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Human Rights Council/UNHRC) pada Selasa (8/7/2025) mengesahkan mosi mengenai perubahan iklim dan hak asasi manusia. Pengesahan dilakukan setelah Kepulauan Marshall mencabut amandemen yang sebelumnya memicu perdebatan karena menyerukan negara-negara dunia untuk kembali berkomitmen menghapus penggunaan bahan bakar fosil.
Mosi yang menyerukan kontribusi negara-negara dalam upaya global melawan perubahan iklim itu disahkan melalui konsensus. Mosi ini juga sejalan dengan ketetapan UNHRC pada 2021 yang mengakui bahwa lingkungan bersih dan sehat adalah hak fundamental.
Meski demikian, Reuters melaporkan bahwa draf awal mosi tersebut sejatinya menimbulkan perpecahan di antara 47 negara anggota. Silang pendapat ini terutama disebabkan oleh usulan amandemen dari Kepulauan Marshall, salah satu negara yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan laut.
Kepulauan Marshall sempat mengusulkan amandemen agar penghapusan bahan bakar fosil disebutkan secara eksplisit dalam mosi sebagaimana telah disepakati negara-negara di KTT Iklim COP28 pada Desember 2023, tetapi kemudian menarik usulan itu.
"Negara kami, seperti banyak negara tetangga kami di Pasifik, menjunjung tinggi kolaborasi, dialog, dan konsensus. Karena itu, kami bersedia menunjukkan hal tersebut dengan menarik amandemen kami," ujar Doreen Debrum, Duta Besar Kepulauan Marshall untuk PBB di Jenewa, di hadapan dewan, dikutip dari Reuters, Rabu (9/7/2025).
Sebagai gantinya, mosi hanya menyebut "pentingnya defosilisasi ekonomi" dalam catatan kaki, sehingga memungkinkan pengesahan tanpa pemungutan suara, yang hasilnya sebelumnya belum pasti.
Baca Juga
Keputusan Dewan HAM PBB tidak bersifat mengikat secara hukum, tetapi tetap memainkan peran penting dalam membentuk standar global.
Beberapa negara produsen minyak, termasuk Arab Saudi dan Kuwait, yang saat ini menjadi anggota dengan hak suara di UNHRC dilaporkan menolak frasa tersebut dalam proses negosiasi, menurut keterangan tiga diplomat. Riyadh malah menyerukan pendekatan "multi-jalur" untuk menurunkan emisi.
Belum ada tanggapan atas permintaan komentar dari kantor media internasional Arab Saudi maupun Kementerian Luar Negeri Kuwait. Misi diplomatik kedua negara di Jenewa juga belum memberikan respons.
“Kami sangat menyesalkan kegagalan Dewan untuk secara tegas menyerukan penghentian yang adil atas bahan bakar fosil, akar penyebab krisis ini,” kata Sébastien Duyck, manajer kampanye hak asasi manusia dan iklim di Center for International Environmental Law.
Keputusan UNHRC muncul di tengah sorotan terhadap aksi iklim kepala negara, seperti di Uni Eropa. Kelompok advokasi mengkritik blok tersebut karena dinilai mulai memperlonggar kebijakan iklim mereka, meskipun tengah menghadapi gelombang panas ekstrem yang melanda awal musim panas ini.
Amerika Serikat, yang kembali menarik diri dari aksi iklim di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, tidak ikut serta secara resmi dalam pemungutan suara setelah keluar dari partisipasi dalam dewan tahun ini.