Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Transisi Energi Global 2025: Tren EV, PLTS dan Pembangkit Nuklir

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat digadang-gadang membuat upaya transisi energi tersendat. Bahkan, energi fosil masih menjadi primadona.
Ilustrasi pembangkit energi baru dan terbarukan, serta nuklir/ Bisnis - Puspa Larasati
Ilustrasi pembangkit energi baru dan terbarukan, serta nuklir/ Bisnis - Puspa Larasati

Bisnis.com, JAKARTA - Arah kebijakan negara adikuasa menjadi faktor utama keberhasilan transisi energi dunia. Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat digadang-gadang membuat upaya transisi energi tersendat. Bahkan, energi fosil masih menjadi primadona.

Pesan menakutkan Trump sudah disampaikannya saat berkampanye. Presiden ke-45 AS ini juga berjanji untuk meninggalkan Perjanjian Paris, yang menyerukan negara-negara untuk membatasi pemanasan global hingga idealnya 1,5 derajat celsius sebelum akhir abad ini.

Pernyataan Trump seakan melupakan fakta bahwa pada 2024, menjadi tahun terpanas dalam sejarah. Suhu rata-rata bumi tercatat berada di atas target ambang batas 1,5 derajat celsius sebelum periode pra industri.

Lalu bagaimana prospek transisi energi 2025, terutama dikaitkan dengan upaya menahan perubahan iklim? Tren pemasangan panel surya peningkatan penjualan kendaraan listrik, hingga pemanfaatan energi baru terbarukan bakal menjadi petarung utama untuk melawan pemanasan global.

Bloomberg membagikan 15 tren yang akan menentukan masa depan planet ini. Salah satunya, prospek tenaga surya.

Pengembangan Tenaga Surya

Pasar pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tumbuh sebesar 35 persen pada 2024, tetapi pada tahun ini diperkirakan pertumbuhan pemasangannya hanya akan meningkat 11 persen. Kendati mengalami perlambatan pertumbuhan, tenaga surya tetap menjadi sumber terbesar pembangkit baru yang ditambahkan pada 2025.

Selain itu, tren Investasi ESG tidak akan mati. Meski label ESG sarat dengan politik, tetapi prinsip-prinsip di balik investasi lingkungan, sosial, dan tata kelola akan terus memengaruhi perusahaan dan pasar di dunia.

Di Eropa misalnya, memang ada bukti bahwa perusahaan perusahaan di sana mulai mengabaikan ESG, karena ingin menghentikan aturan yang bertujuan ke arah greenwashing. Namun, sudah lebih dari US$3 triliun yang telah diinvestasikan secara global dalam transisi energi sejak 2021. Nilainya akan semakin membesar dalam masa mendatang.

Hanya saja, faktor pendukung tersebut dihalangi “angsa hitam” dalam paya transisi hijau 2025. Peningkatan permintaan daya listrik dari AS hingga Jepang untuk pengembangan pusat data untuk kecerdasan buatan (AI) menjadi tantangan perubahan iklim.

Kondisi membuat negara berpikir ulang untuk memensiunkan pembangkit listrik berbahan fosil mereka. Dengan kondisi ini, maka wajar kalau pengembangan pembangkit listrik berbasis nuklir kembali menguat.

Reaktor Nuklir

Penggunaan nuklir sebagai sumber pembangkit listrik diibaratkan benci tapi rindu. Di Eropa, kekhawatiran tentang pemanasan global dan keamanan pasokan energi telah memicu minat baru pada pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Di AS, perusahaan teknologi raksasa telah beralih ke nuklir sebagai sumber daya yang ramah iklim.

Melansir World Nuclear Association, tercatat ada sekitar 440 reaktor tenaga nuklir yang beroperasi di 32 negara ditambah Taiwan, dengan kapasitas gabungan sekitar 390 gigawatt-electric (GWe). Data per 2023, PLTN menyediakan 2602 TWh, sekitar 9 persen dari listrik dunia.

Tahun ini, setidaknya ada 14 PLTN beroperasi di Bangladesh, China, India, Korea Selatan, Slovakia, Rusia, dan Turki dengan total kapasitas sebesar 14,24 GWe.

Pasar Kendaraan Listrik (EV)

Selanjutnya, terkait pertumbuhan pasar kendaraan listrik (EV). Memang demam EV mereda di beberapa negara. Misalnya seperti di Uni Eropa. Hanya saja, tidak dengan China.

China menjadi negara yang mewakili 65 persen populasi EV dunia. Akhirnya, peralihan ke kendaraan listrik menyebabkan Sinopec, perusahaan minyak terbesar di negara itu, menaikkan perkiraan permintaan puncaknya ke 2027.

Melansir Reuters, hal ini disebabkan karena permintaan solar dan bensin melemah, dan menyebabkan perlambatan pasar minyak global pada 2024. Pada tahun sebelumnya, Sinopec memperkirakan puncak permintaan minyak China, sebesar 800 juta ton, sekitar pertengahan tahun di antara 2026 - 2030.

Di sisi lain, pertumbuhan pasar EV tidak merata. Berdasarkan catatan International Energy Agency, pertumbuhan pasar EV di Indonesia tergolong menanjak, sama seperti Australia, Brasil dan Kanada pada 2024. Sementara itu, di Jerman, Italia, Jepang, dan Korea, penjualan menurun selama tiga kuartal pertama 2024 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper