Bisnis.com, JAKARTA — Ada jurang besar antara target 100% energi bersih yang dibidik Presiden Prabowo Subianto dalam 10 tahun dan komitmen pembiayaan yang siap digelontorkan pemerintah. Sebagian besar dana yang dialokasikan menyasar fosil.
“Indonesia harus menjadi pelopor energi bersih dunia. Kita harus mencapai 100% pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan dalam waktu 10 tahun atau lebih cepat,” kata Prabowo dalam pidato penyampaian RAPBN 2026, Jumat (15/8/2025).
Target ambisius ini sejalan dengan cita-cita Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai pelopor energi bersih dunia. Dia optimistis target tersebut akan dicapai lebih cepat dari target net zero emission (NZE) 2060.
Namun sebagaimana paradoks pada umumnya, apa yang disampaikan justru kontras dengan desain kebijakan yang disampaikan. Hal ini tecermin dari struktur anggaran ketahanan energi 2026 sebesar Rp402,4 triliun yang didominasi alokasi untuk energi berbasis fosil.
Prabowo mengatakan dukungan fiskal untuk ketahanan energi bakal disalurkan lewat subsidi energi, insentif perpajakan, pengembangan energi baru terbarukan (EBT), hingga penyediaan listrik desa.
Mayoritas alokasi anggaran itu adalah untuk subsidi energi, yakni sebesar Rp210,1 triliun. Anggaran ini terdiri atas subsidi BBM sebesar Rp25,1 triliun, LPG 3 kg Rp80,3 triliun, dan listrik Rp104,8 triliun.
Selanjutnya, anggaran ketahanan energi itu juga mencakup pengembangan EBT dialokasikan sebesar Rp37,5 triliun, insentif perpajakan Rp16,7 triliun, listrik desa Rp5 triliun, infrastruktur energi Rp4,5 triliun, dan dukungan lainnya Rp600 miliar.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan subsidi energi masih menyedot alokasi terbesar dari anggaran ketahanan energi yang disiapkan. Padahal, dukungan dana untuk transisi ke energi terbarukan dinilainya lebih penting.
"Porsi untuk ketahanan energi sebenarnya bisa dialihkan untuk program transisi energi, misalnya transisi energi di pedesaan dengan panel surya," kata Bhima, Senin (18/8/2025).
Selain dukungan dana, lanjut Bhima, transisi energi juga perlu disokong oleh regulasi yang jelas. Oleh karena itu, dia mengingatkan agar Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) segera disahkan.
Dia berpandangan pengesahan RUU tersebut diperlukan untuk memberi kepastian dalam investasi EBT. Di satu sisi, Bhima juga mengingatkan agar PT PLN (Persero) memberikan lebih banyak dukungan pada pengembangan EBT.
"Reformasi di internal PLN untuk memberikan lebih banyak dukungan, [membangun] transmisi untuk proyek-proyek EBT," kata Bhima.
Tak hanya itu, dia juga berpendapat agar dana ketahanan energi turut dialokasikan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Apalagi, dengan target realisasi 100% energi hijau dalam 10 tahun yang dibidik Prabowo.
Dia mengemukakan realisasi target tersebut perlu dibarengi dengan kehadiran SDM yang mumpuni, terutama dalam aspek instalasi pembangkit berbasis EBT berbasis tenaga surya hingga mikrohidro di dalam negeri.
Di sisi lain, anggaran untuk Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, pun harus mendapat perhatian.
Asal tahu saja, dalam rancangan pagu anggaran 2026, Ditjen EBTKE hanya mendapat dana sebesar Rp880 miliar. Menurut Bhima, angka tersebut masih belum cukup untuk mendukung transisi energi.
"Secara spesifik di Kementerian ESDM, khususnya Ditjen EBTKE harusnya bisa dapat porsi alokasi anggaran cukup besar juga," kata Bhima.
Dia menambahkan bahwa secara keseluruhan anggaran ketahanan energi sebesar Rp402,4 triliun untuk 2026 masih belum cukup. Oleh karena itu, pemerintah harus tetap mencari mitra untuk kerja sama internasional.
"Itu syarat-syaratnya jika tujuannya pada ketahanan energi. Karena sampai kapanpun kalau kita masih tergantung pada importasi [bahan bakar] fosil dalam jumlah besar untuk industri dan transportasi, maka ketahanan energi akan sulit tercapai dan membutuhkan anggaran lebih besar lagi ke depannya," kata dia.
Penuh Kontradiksi
Senada dengan Celios, Greenpeace Indonesia turut menyoroti paradoks kebijakan dalam merealisasikan energi bersih 100% dalam 10 tahun.
Sebagai contoh, PT PLN (Persero) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 membidik bauran EBT sebesar mencapai 34,3% pada 2034. Angka tersebut lebih tinggi daripada target dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2060 yang berada di level 29,4% untuk lima tahun pertama.
Periode lima tahun pertama RUKN juga memberi ruang penambahan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dengan kapasitas sebesar 10,3 gigawatt (GW). Greenpeace Indonesia menilai langkah ini berpotensi mengunci sistem kelistrikan pada infrastruktur berbasis fosil, mempersempit ruang bagi energi terbarukan untuk berkembang, dan pada akhirnya menghambat pencapaian visi Presiden Prabowo sendiri.
“Jika pemerintah serius dengan transisi energi, arah pembangunan harus segera dibalik: fokus total pada pembangkit energi terbarukan, sekaligus menghentikan rencana pembangunan baru berbasis fosil, baik batu bara maupun gas. Tanpa langkah tegas ini, ambisi 100% EBT hanya akan menjadi slogan tanpa realisasi,” papar Manajer Kampanye Iklim dan Energi Iklim Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, dalam keterangan tertulis.
Dia mengemukakan ambisi 100% EBT akan sulit tercapai jika pemerintah masih membuka jalan bagi pembangunan pembangkit berbasis fosil. Untuk mengejar ambisi ini, pemerintah dinilai harus segera fokus pada pembangunan pembangkit listrik dari sumber terbarukan.