Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Krisis Polusi Plastik makin Serius, Negara-Negara Didesak segera Sepakati Perjanjian Global

WWF mendesak negara-negara segera menyepakati Perjanjian Plastik Global di Jenewa untuk mengatasi krisis polusi plastik yang mengancam kesehatan dan lingkungan.
Potret sampah plastik di daerah pesisir/Dok. WWF
Potret sampah plastik di daerah pesisir/Dok. WWF
Ringkasan Berita
  • WWF mendesak negara-negara untuk mencapai perjanjian global yang mengikat guna mengatasi krisis polusi plastik, dengan perundingan INC-5.2 di Jenewa sebagai momentum penting.
  • Laporan WWF dan Universitas Birmingham menyoroti risiko kesehatan dari mikro dan nanoplastik, serta mendukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam perjanjian global.
  • Indonesia berkomitmen pada pengelolaan sampah plastik yang menyeluruh dan mendorong kesepakatan global yang adil dan mengikat untuk transformasi sistem produksi plastik.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — World Wildlife Fund (WWF) mendesak negara-negara peserta perundingan Perjanjian Plastik Global (INC-5.2) untuk menghasilkan komitmen mengikat demi mengakhiri krisis polusi plastik. Kegagalan dalam mencapai hal tersebut diyakini hanya akan merugikan rakyat dan generasi mendatang.

Sebagaimana diketahui, INC-5.2 tengah berlangsung di Jenewa, Swiss hingga 14 Agustus 2025. Kesepakatan global mengenai plastik sendiri kerap gagal karena tidak tercapainya konsensus. Hasil ini terlihat dalam perundingan di Busan pada Desember 2024.

“Dalam situasi geopolitik yang terus berubah, perundingan ini berada di ujung tanduk. Negara-negara produsen minyak bumi telah memanfaatkan mekanisme konsensus bukan untuk membangun kesepakatan, melainkan untuk merusaknya. Ini bukanlah multilateralisme, tapi obstruksionisme,” ujar Zaynab Sadan, Global Plastics Policy Lead, WWF, dikutip dari siaran pers.

Namun, Sadan mengatakan absennya konsensus bukanlah jalan buntu. Dia mengemukakan mayoritas negara yang ambisius harus berani menempuh jalur sendiri, seperti dengan pemungutan suara atau membentuk koalisi.

“Dengan meninggalkan pihak-pihak yang terus menghalangi tanpa itikad baik dan memanfaatkan kekuatan kolektif yang mereka miliki, negara-negara ini bisa mendorong lahirnya perjanjian yang benar-benar melindungi manusia,” kata Sadan.

Perundingan untuk Perjanjian Global Plastik sendiri telah melewati tenggat waktu, padahal 30.000 ton sampah plastik dibuang ke lautan setiap harinya. Kegagalan dalam perumusan komitmen kuat di INC-5.2 hanya akan memperburuk krisis ini.

Laporan WWF dan Universitas Birmingham, berjudul Plastics, Health and One Planet, merangkum hampir 200 studi ilmiah terkini tentang risiko plastik terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Laporan tersebut menyoroti bagaimana mikro dan nanoplastik (MnP), serta bahan kimia aditif dalam plastik, dapat memicu gangguan biologis seperti disrupsi endokrin, kanker terkait hormon (seperti kanker payudara dan testis), penurunan kesuburan, serta penyakit pernapasan kronis.

Meski riset terus berkembang, bukti yang ada cukup kuat untuk mendukung penerapan prinsip kehati-hatian, yakni mengambil tindakan ketika risiko kredibel telah diidentifikasi, bahkan jika kepastian ilmiah belum mutlak, guna meminimalkan potensi bahaya di masa depan.

“Prinsip kehati-hatian telah terbukti dalam berbagai perjanjian internasional, misalnya Protokol Montreal 1987, ketika negara-negara bertindak cepat menghadapi zat perusak ozon sebelum seluruh ilmu pengetahuan sepenuhnya terkonfirmasi. Hasilnya, jutaan kasus kanker kulit berhasil dicegah dan lapisan ozon kini mulai pulih,” ujar Profesor Ecohydrology and Biogeochemistry, Dr Stefan Krause dari Universitas Birmingham.

“Atas dasar preseden ini, kami mendorong para perunding untuk melahirkan perjanjian berbasis sains dan mengikat secara hukum, yang tidak hanya melarang produk dan bahan kimia plastik paling berbahaya, tapi juga menjadikan perlindungan terhadap manusia, satwa, dan lingkungan sebagai mandat utama,” tambahnya.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Internasional dan Diplomasi Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Erik Teguh Primiantoro, menyampaikan bahwa pengelolaan sampah plastik adalah agenda strategis nasional. Kementerian Lingkungan Hidup sendiri telah menetapkan target ambisius, yakni 100% penanganan sampah plastik pada 2029.

“Untuk mencapainya, pendekatan yang Indonesia dorong tidak lagi parsial, tetapi menyeluruh, dari hulu ke hilir. Ini termasuk memastikan bahwa hanya residu yang akhirnya masuk ke TPA, serta mendorong pemanfaatan teknologi seperti citra satelit untuk memantau dan merespons pencemaran plastik secara real-time,” kata Erik.

Dalam proses negosiasi perjanjian plastik global, Erik mengatakan Indonesia berkomitmen untuk mendorong kesepakatan yang berpihak pada keadilan lingkungan. Melalui perjanjian ini, Indonesia berharap akan ada mekanisme global yang mengikat dan adil, yang mendorong transformasi sistem produksi plastik menjadi lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Direktur Climate & Market Transformation WWF Indonesia, Irfan Bakhtiar, menyampaikan bahwa permasalahan plastik bukanlah lagi isu lokal, tetapi sudah menjadi krisis global yang menuntut solusi lintas negara.

“Indonesia sendiri menghasilkan sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahunnya, dan sebagian besar masih belum terkelola dengan baik. Agenda Global Plastic Treaty di Jenewa adalah momentum penting untuk mendorong lahirnya perjanjian yang mengikat secara hukum dalam pengendalian polusi plastik dari hulu ke hilir,” kata Irfan.

Irfan memaparkan bahwa pengelolaan sampah plastik adalah tanggung jawab bersama antara produsen dan konsumen. Konsumen bertanggung jawab dengan lebih bijak dalam memproduksi dan melakukan pemilahan, sedangkan produsen bertanggung jawab pada seluruh siklus produknya hingga ke limbah yang dihasilkan.

WWF menyatakan perundingan di Jenewa harus menghasilkan perjanjian dengan aturan mengikat yang didukung mayoritas negara, guna mengatasi polusi plastik secara global secara efektif.

Kesepakatan tersebut harus mencakup pelarangan global terhadap produk dan bahan kimia plastik paling berbahaya, standar desain produk untuk mewujudkan ekonomi sirkular yang aman, dukungan finansial dan teknis bagi negara berkembang, serta mekanisme untuk memperkuat dan memperbarui isi perjanjian seiring waktu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro