Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka menegaskan bahwa upaya pemerintah memproduksi Biodiesel 50 (B50) untuk mempercepat transisi energi. Wacana ini bergulir di tengah ketidakpastian pasokan bahan bakar nabati.
Hal ini diungkapkan Gibran dalam Green Impact Festival di Jakarta, pekan lalu. Gibran menjelaskan B50 yang merupakan program nasional itu merupakan upaya pemerintah mempercepat transisi energi dari energi fosil yang kotor menjadi energi hijau yang bebas emisi.
"Ini kalau sekarang kita sudah punya B35, B40, ke depan Presiden Prabowo menargetkan B50. Jadi, nanti (ada juga) untuk bioavtur, bioetanol, biodiesel, banyak dan potensi bioenergi kita besar sekali, ini mencapai 57 Gigawatt, dan kalau yang namanya sawit, rumput laut, kita termasuk yang terbesar di dunia," ujarnya dikutip Antara, Kamis (24/7/2025).
Sayangnya, rencana penerapan B50 pada tahun depan belum mengerucut. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengungkapkan, masih menghitung kebutuhan dan volume Fatty Acid Methyl Ester (FAME) untuk memproduksi B50.
FAME merupakan bahan bakar nabati yang dihasilkan dari proses transesterifikasi minyak sawit dengan metanol.
Kementerian ESDM belum memutuskan berapa porsi FAME dalam B50. Dia mengatakan komposisi FAME itu masih menjadi perdebatan. Menurut Eniya, B50 itu bisa terdiri dari 40% FAME dan 10% hydrotreated vegetable oil (HVO) atau full 50% FAME.
Baca Juga
"Lalu apakah 2026 kita mulai dengan B50? Itu belum kita tentukan. Jadi kita harus lihat lagi B50 butuh [FAME]-nya berapa?" ucap Eniya dalam acara Seminar Peluang dan Tantangan Industri Bioenergi Menyongsong Indonesia Emas 2045 di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Eniya menjabarkan, jika diasumsikan B50 akan terdiri dari 50% FAME, maka kebutuhan FAME itu mencapai sekitar 20 juta ton atau tambahan alokasi minyak kelapa sawit mentah/crude palm oil (CPO) ke biodiesel sekitar 2 juta ton.
Angka itu naik sebesar 5 juta ton dari kebutuhan FAME untuk produksi B40 yang sebesar 15 juta ton. Di sisi lain, Eniya mengatakan Indonesia membutuhkan 5 pabrik biodiesel baru untuk mengimplementasikan B50 pada tahun depan. Dia mengatakan, 3 dari 5 pabrik baru yang ditargetkan, saat ini sedang dibangun.
Sementara itu, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) optimistis kapasitas terpasang tahunan biodiesel yang dimiliki perusahaan-perusahaan di bawah naungannya mencukupi untuk penyediaan keperluan feedstock jika mandatory bahan bakar nabati berbasis sawit sebesar 50% diimplementasikan pada 2026.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aprobi Ernest Gunawan mengatakan, kebutuhan feedstock diperkirakan bertambah menjadi 17 juta – 18 juta ton apabila tahun depan peningkatan dari B40 menjadi B50 terealisasi.
“Apabila tahun depan naik menjadi B50, kebutuhan feedstock diperkirakan bertambah menjadi 17 juta – 18 juta ton. Dengan kapasitas terpasang tahunan biodiesel di Aprobi sekitar 19,6 kl [kiloliter], B50 masih memungkinkan,” kata Ernest.
Selain soal alokasi bahan bakar nabati, Tingginya harga biodiesel dinilai akan menjadi tantangan dalam implementasi bahan bakar campuran minyak solar dengan minyak nabati berbasis sawit 50% atau B50.
Menurut Direktur Pelaksana Energy Shift Institute Putra Adhiguna, tantangan utama implementasi B50 adalah harga dan subsidi yang akan terus meroket.
Membengkaknya bea subsidi itu tak lepas dari penggunaan Fatty Acid Methyl Ester (FAME), yang harganya lebih mahal dibandingkan solar, untuk memproduksi B50. FAME merupakan bahan bakar nabati yang dihasilkan dari proses transesterifikasi minyak sawit dengan metanol.
"BPDPKS [Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit] akan semakin kewalahan untuk menalangi harga biodiesel yang semakin tinggi," ucap Putra, Kamis (17/7/2025).
Putra mengatakan, tingginya harga B50 juga bakal berdampak pada industri-industri penggunanya, seperti industri pertambangan.
Asal tahu saja, insentif untuk implementasi B40 saja diprediksi mencapai Rp35,5 triliun. Insentif ini berlaku hanya untuk sektor public service obligation atau PSO atau sebagian dari alokasi biodiesel yang ditetapkan pada tahun ini.
Adapun, alokasi biodiesel untuk program mandatori B40 pada tahun ini mencapai 15,6 juta kiloliter (kl). Dari angka tersebut, sebanyak B40 untuk PSO mencapai 7,55 juta kl. Lebih lanjut, Putra menilai anggaran subsidi biodiesel itu lebih baik digunakan untuk mendukung transportasi umum.
"Anggaran Rp30 triliun sampai Rp40 triliun subsidi biodiesel lebih baik sebagian digunakan mendorong perubahan struktural sektor transportasi, bukan sekadar dibakar, misal kendaraan listrik, toh akan mengurangi BBM impor," tambah Putra.