Bisnis.com, JAKARTA — Performa obligasi terkait keberlanjutan di pasar ternyata melampaui pasar surat utang secara umum sepanjang 2025. Hal ini tecermin dari imbal hasil (return) indeks Bloomberg Global Aggregate Green Social Sustainability Bond (GSS) yang mengungguli indeks obligasi Global Aggregate hingga lebih dari 450 basis poin per 22 Juli 2025.
Penerbitan yang cenderung lesu sepanjang 2025, terutama dari obligasi korporasi, serta pasokan yang terbatas menjadi pemicu utama terkereknya indeks obligasi hijau, sosial dan keberlanjutan tersebut. Tren ini diperkirakan berlanjut di semester II/2025 menurut riset teranyar dari Bloomberg Intelligence ESG Senior Strategist, Chris Ratti.
Imbas hasil GSS tercatat mencapai 11,39% per 22 Juli 2025, unggul 453 basis poin daripada Bloomberg Global Aggregate yang memperlihatkan imbal hasil di angka 6,86%.
Meski gerak imbal hasil kedua indeks cenderung sama pada 2025, sebagian besar imbal hasil yang menopang keunggulan indeks GSS terjadi pada kuartal II/2025. Selama periode ini, return obligasi terkait keberlanjutan menembus 8,02%, jauh di atas rata-rata imbal hasil obligasi global sebesar 4,52%.
Setelah sempat melemah sebesar 1,28% hingga 17 Juli, kinerja indeks GSS kembali positif pada akhir bulan dengan return 0,09%, mengungguli kinerja negatif indeks obligasi global sebesar -0,38%.
“Minimnya penerbitan, terutama dari pasar obligasi korporasi, menjadi salah satu pendorong kuat kinerja indeks GSS tahun ini. Indeks ini kini hampir mencatat tujuh bulan berturut-turut dengan return positif,” ujar Ratti.
Bulan April menjadi bulan dengan kinerja terbaik sejauh ini, dengan imbal hasil mencapai 5,1%, dibandingkan dengan 2,94% dari indeks obligasi global.
Nilai kelangkaan (scarcity value) dari obligasi GSS juga diyakini menjadi faktor penopang harga, karena investor cenderung enggan menjual aset ini di tengah volatilitas pasar. Pola ini diperkirakan akan terus berlangsung.
Seluruh sektor dalam indeks GSS tercatat mencetak return positif sepanjang tahun berjalan. Sektor keuangan memimpin dengan imbal hasil 13,5%, diikuti sektor properti (12,2%) dan utilitas (11,8%).
Sementara itu, sektor barang konsumsi primer, kesehatan, dan teknologi yang mencatat penerbitan sangat minim sepanjang 2024 hingga 2025, berada di posisi terbawah meskipun tetap mencatat return yang solid, yakni masing-masing 8,4%, 7,8%, dan 6,9%.
Nilai Penerbitan Obligasi Hijau Anjlok
Ketatnya pasokan yang memicu performa imbal hasil yang lebih tinggi turut terefleksi dalam analisis terbaru Fitch Ratings. Lembaga pemeringkat itu melaporkan bahwa nilai obligasi hijau atau green bonds yang diterbitkan pemerintah, bank dan korporasi turun signifikan sepanjang 2025, seiring dengan perubahan arah kebijakan iklim di Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Mengutip Reuters, penerbitan obligasi berlabel keberlanjutan (sustainability bonds) secara umum turun 25% menjadi US$400 miliar secara tahunan sepanjang semester I/2025. Di sisi lain, penawaran selama kuartal II/2025 juga menjadi yang terendah sejak 2019.
Secara spesifik, penerbitan obligasi hijau yang dana hasil penghimpunan dipakai untuk proyek iklim atau lingkungan, turun 32% mendekati US$100 miliar.
Seiring dengan koreksi ini, pangsa penawaran obligasi berlabel lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social and governance/ESG) secara global turun menjadi 10,2%, dari 11,7% pada 2024.
Penurunan ini terjadi bersamaan dengan keputusan Presiden AS Donald Trump yang menarik diri dari berbagai inisiatif keberlanjutan global dan melonggarkan standar lingkungan.
Di Eropa, para pembuat regulasi Uni Eropa juga tengah merundingkan proposal yang akan melonggarkan aturan pelaporan keberlanjutan korporasi untuk sebagian besar perusahaan.
Fitch menyatakan bahwa faktor utama yang memengaruhi pasar adalah ketidakpastian terkait belanja modal, yang dipicu oleh tantangan makroekonomi dan ketidakstabilan geopolitik.
“Ketidakpastian yang terus berlanjut terkait regulasi ESG, termasuk keterlambatan implementasi dan pembatalan kebijakan di AS dan UE, kemungkinan membuat para penerbit memilih menunggu kejelasan regulasi,” tambah Fitch.