Bisnis.com, JAKARTA – Wacana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara bagaikan cinta bertepuk sebelah tangan. Eksekusi untuk menghentikan operasional pembangkit tersandung suntikan pendanaan global.
Pemerintah melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sudah memberikan sinyal kuat mengenai kepastian pensiun dini PLTU. Di sela peresmian RUPTL 2025 - 2034, akhir Mei lalu, Bahlil mengaku pemerintah masih kesulitan mencari sumber pendanaan untuk memuluskan program yang telah digagas sejak beberapa tahun lalu.
“Negara ini sedang butuh uang. Mau pensiun dini boleh, besok pagi saya pensiunkan. Akan tetapi, ada tidak lembaga pendanaan yang mau membiayai,” kata Bahlil, Senin (27/5/2025).
Mengacu Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Rencananya, 13 PLTU akan dipensiunkan secara dini dengan mempertimbangkan keekonomian serta tidak menimbulkan gejolak kekurangan pasokan dan kenaikan harga listrik.
Tiga tahun berselang, Kementerian ESDM akhirnya merilis Peraturan Menteri ESDM No. 10/2025 mengenai aturan terkait ketentuan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pensiun dini PLTU akan dilakukan dengan memperhatikan sejumlah kriteria.
Pensiun dini akan menyasar pada PLTU yang memenuhi kriteria seperti kapasitas, usia pembangkit, utilisasi, dan emisi gas rumah kaca PLTU. Lalu, nilai tambah ekonomi, ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri, serta ketersediaan dukungan teknologi dalam negeri dan luar negeri.
Baca Juga
Langkah mengistirahatkan PLTU sebelum waktunya memerlukan perhitungan matang, mengingat biaya yang diperlukan tidak sedikit. Institute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan biaya pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mencapai US$4,6 miliar hingga 2030 dan US$27,5 miliar hingga 2050.
Pendanaan Internasional Mutlak?
Julia Skorupska, Head of Secretariat Powering Past Coal Alliance (PPCA), mengatakan keberhasilan pensiun dini PLTU sangat bergantung pada keberhasilan Indonesia menarik investasi asing maupun domestik yang mampu menggerakkan proses transisi.
"Investor internasional sangat penting bagi transisi Indonesia – dana publik saja tidak akan cukup untuk menutupi biaya besar ini," ujarnya kepada Bisnis, belum lama ini.
Indonesia, menurutnya, dihadapkan tantangan untuk memberikan kepastian kebijakan jangka panjang. Hal ini akan memberikan sinyal kuat kepada investor.
“Beberapa bank internasional menyatakan mereka memerlukan komitmen dan kebijakan pemerintah yang jelas, memberikan mereka kepastian yang dibutuhkan untuk berinvestasi,” ujarnya.
Julia pun menyarankan pemerintah Indonesia perlu mengintegrasikan komitmen untuk membatasi pengembangan PLTU batu bara baru ke dalam dokumen resmi seperti Nationally Determined Contribution (NDC) dan peta jalan transisi energi nasional.
Langkah ini, menurutnya, akan meningkatkan kepercayaan pasar sekaligus mengurangi risiko investasi.
Belajar dari Filipina
Organisasi standar karbon Verra meluncurkan metodologi Inisiatif Coal to Clean Credits Initiative (CCCI) untuk menentukan proyek yang memenuhi syarat, Selasa (6/5/2025) di Singapura. Verra juga merilis cara menghitung pengurangan emisi dari pensiun dini PLTU, sehingga memungkinkan proyek tersebut menghasilkan kredit karbon.
Proyek pertama yang akan menerapkan metodologi ini adalah PLTU South Luzon Thermal Energy Corporation (SLTEC) di Filipina, dengan transaksi yang diperkirakan selesai tahun depan.
Akhir Desember 2023, grup perusahaan energi Filipina, ACEN, mengumumkan bahwa PLTU SLTEC berkapasitas 246 megawatt (MW) akan menjadi yang pertama menguji coba rancangan metodologi CCCI, guna memajukan tanggal penghentian operasionalnya selama satu dekade.
"Model ini bisa diadaptasi di Indonesia," ujar Julia.
Dia juga menyinggung wacana pensiun dini PLTU Cirebon juga menjadi studi kasus penting. Implementasi pensiun dini PLTU Cirebon diperkirakan akan membuka jalan bagi proyek-proyek berikutnya di Indonesia, sekaligus menunjukkan bahwa penghentian PLTU secara besar-besaran dapat dilakukan dengan kerja sama sektor swasta dan publik yang kuat.
Potensi Pendanaan dari The Rockefeller Foundation
The Rockefeller Foundation menargetkan pembiayaan pensiun dini 60 proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di negara berkembang hingga 2030 melalui skema kredit karbon yang baru mendapatkan persetujuan badan standardisasi karbon internasional.
Inisiatif CCCI dari Rockefeller Foundation merupakan salah satu skema yang dikembangkan untuk memanfaatkan perdagangan kredit karbon. Mekanisme pembiayaan ini diharapkan dapat mempercepat penutupan PLTU dan menggantinya dengan energi terbarukan.
“Target utama kami adalah penghentian operasi 60 proyek PLTU batu bara pada 2030,” ujar Joseph Curtin, kepala program "coal to clean" Rockefeller Foundation, dikutip dari Reuters, Rabu (7/5/2025).
Menurut International Energy Agency (IEA), sekitar 2.000 PLTU batu bara perlu ditutup dari sekarang hingga 2040 guna mencapai target iklim global, tetapi hanya 15% yang sudah memiliki komitmen penghapusan.
Curtin menambahkan, timnya telah mengidentifikasi sekitar 1.000 PLTU batu bara di negara berkembang yang memenuhi syarat di bawah metodologi ini.
Target 60 proyek tersebut diperkirakan akan menarik investasi publik dan swasta sebesar US$110 miliar pada 2030, berdasarkan penelitian Rockefeller Foundation.
Penutupan dini PLTU SLTEC didukung oleh perusahaan energi Filipina ACEN, bersama dengan grup investasi bersih Singapura GenZero, konglomerat infrastruktur Keppel, perusahaan Jepang Mitsubishi, dan anak perusahaannya Diamond Generating Asia.
Curtin menjelaskan bahwa inisiatif CCCI hanya akan memilih proyek yang masih menguntungkan dan dimiliki oleh perusahaan atau negara yang telah membuat komitmen tegas untuk tidak membangun PLTU baru.