Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator bidang Pangan Zulkifli Hasan menegaskan transisi energi merupakan program prioritas nasional untuk memastikan masyarakat tetap mewujudkan kedaulatan pangan hingga ekonomi.
Zulkifli menyoroti bahwa dampak paling terasa dari perubahan iklim adalah cuaca ekstrem, yang pada akhirnya mengancam ketahanan pangan Indonesia.
“Perubahan iklim dapat merusak ketahanan pangan kita. Anomali cuaca yang terus-menerus bisa membuat Indonesia impor beras terus” kata Zulkifli, dikutip dari Antara, Sabtu (26/7/2025).
Pria yang akrab disapa Zulhas itu memandang transisi energi dan iklim bukan sebagai beban, melainkan jalan menuju kedaulatan ekonomi, pangan, dan masa depan Indonesia yang lebih cerah.
Meskipun Indonesia siap bertransisi, ia menekankan perlunya dukungan finansial dan teknologi yang konkret dari mitra internasional.
Zulhas juga mendorong COP30 di Belém, Brasil, November 2025 dapat menjadi forum solusi nyata dan pusat kolaborasi efektif, dengan menekankan mitigasi tanpa keadilan sosial hanya akan melahirkan ketimpangan baru.
Baca Juga
Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini menjelaskan dalam memenuhi komitmen iklim, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam pendanaan iklim yang masih jauh dari memadai.
Salah satu upaya mengatasi krisis iklim, pemerintah mendorong penyelenggaraan nilai ekonomi karbon, khususnya melalui pasar karbon sukarela. Diharapkan hal ini dapat mendukung pendanaan aksi iklim dari solusi berbasis alam (nature-based solution).
Zulhas mengklaim Indonesia memiliki potensi nature-based solution mencapai 1,5 gigaton CO2 ekuivalen per tahun atau US$7,1 miliar. Namun, saat ini baru kurang dari 3% dari potensi tersebut yang diperdagangkan di pasar karbon sukarela.
Selain bicara pendanaan, pemerintah juga mengklaim memiliki capaian konkret dalam komitmen iklim Indonesia. Laju deforestasi berhasil tertahan di level terendah dalam dua dekade terakhir. Selain itu, luas lahan mangrove yang direstorasi telah mencapai 600 ribu hektare dari target 3,3 juta hektare.
Pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), dan bioenergi juga mulai menggantikan pembangkit fosil di beberapa wilayah, khususnya di Indonesia Timur.
“Indonesia bahkan berhasil melakukan pengurangan emisi sebesar 36,7% atau 608 metrik ton CO2 ekuivalen dibandingkan dengan business as usual. Capaian ini patut diapresiasi karena menunjukkan komitmen Indonesia dalam memenuhi target pengurangan emisi sembari tetap memperhatikan pertumbuhan ekonomi,” katanya.