Bisnis.com, JAKARTA — PT Astra International Tbk. (ASII) melanjutkan upayanya dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di Tanah Air melalui pengembangan ekosistem bisnis sosial di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini tecermin dalam inisiatif Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards yang telah memasuki tahun ke-16 pada 2025.
Program ini tidak hanya menjadi wadah apresiasi terhadap anak bangsa yang berdampak di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi, tetapi juga bertujuan memperkuat kapasitas sosial masyarakat secara berkelanjutan.
Menurut Tri Mumpuni, juri SATU Indonesia Awards 2025, peran korporasi seharusnya tidak sekadar berderma, melainkan turut menguatkan masyarakat agar mandiri secara ekonomi dan berdaya secara sosial.
“Saya agak miris dengan pendekatan charity. Sebenarnya tidak masalah dengan pembangunan sekolah, masjid. Tetapi peran korporasi adalah empowerment, bagaimana menguatkan masyarakat agar memiliki pemasukan yang sustainable,” ujarnya dalam Bisnis Indonesia Midyear Challenges, di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Tri Mumpuni turut menggarisbawahi bahwa Astra melalui SATU Indonesia Awards berupaya mencari talenta-talenta bangsa yang tidak hanya mampu menghadirkan bisnis dengan orientasi keuntungan, tetapi yang memberikan dampak kepada masyarakat.
“Anda sah hukumnya untuk menjadi kaya, tetapi dengan membuat orang lain ikut kaya, dengan melindungi lingkungan sebagai bagian dari ekosistem. Kalau ada bisnis yang merusak lingkungan, itu tidak sesuai ESG [environmental, social and governance]. Ini yang seharusnya menjadi best practice,” katanya.
Baca Juga
Keberhasilan model bisnis sosial berkelanjutan ini tecermin dalam model yang diinisiasi Ritno Kurniawan. Dia adalah salah satu penerima penghargaan Indonesia Awards 2017 untuk bidang lingkungan asal Padang Pariaman, Sumatra Barat.
Sejak menyelesaikan studi dari Universitas Gadjah Mada pada 2013, Ritno kembali ke kampung halamannya untuk memberdayakan warga Lubuk Alung yang sebagian besar bekerja sebagai penebang kayu di kawasan hutan lindung. Kini, kawasan tersebut berkembang sebagai lokasi ekowisata dan melibatkan partisipasi masyarakat sekitar bernama Ekowisata Nyarai.
Perubahan yang dibawa Ritno tidak mudah. Dia menyebut pendekatan sosial dan pelibatan tokoh adat sebagai kunci utama.
“Kuncinya pendekatan ke masyarakat, diskusi dan segala macam. Di Tanah Minang yang penting adalah tetua adat, Datuknya. Kalau sudah bisa diajak diskusi dan lobi, Insyaallah ada jalannya, tutur Ritno dalam kesempatan yang sama.
Kini, pendekatan tersebut telah mengubah wajah Lubuk Alung. Dari hanya lima orang yang terlibat sebagai pemandu wisata dalam tahap pengembangan awal, kini terdapat 165 warga yang terlibat.
Bisnis ekowisata pun turut diperluas ke pariwisata alam berbasis komunitas seperti arung jeram, glamping dan homestay. Tercatat 11 unit homestay, 15 keluarga penjual makanan, serta 45 orang pemandu arung jeram telah menjadi bagian dari ekosistem ekonomi lokal yang baru dan berkelanjutan.
Namun Ritno menegaskan bahwa tantangan terbesar tetap pada skala ekonomi, soal bagaimana memastikan bahwa pendapatan dari sektor baru ini cukup untuk menggantikan penghasilan sebagai penebang kayu.
“Tantangannya adalah menciptakan pekerjaan yang benar-benar bisa menopang kebutuhan keluarga secara berkelanjutan,” tambahnya.