Bisnis.com, JAKARTA — Kepala badan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak Australia dan Turki untuk mengakhiri perdebatan berkepanjangan terkait siapa yang akan menjadi tuan rumah Konferensi Iklim ke-31 PBB (COP31) pada 2026. Perebutan posisi sebagai tuan rumah di antara kedua negara dinilai memicu keterlambatan yang tidak perlu.
Australia dan Turki telah sama-sama mengajukan diri sebagai tuan rumah COP sejak 2022, tetapi keduanya enggan mengalah sampai saat ini.
Sekretaris Eksekutif UNFCCC, badan yang mengawasi pelaksanaan KTT iklim, Simon Stiell, menyatakan bahwa kebuntuan ini telah mengganggu proses persiapan.
“Keputusan harus segera diambil,” ujarnya dalam acara Smart Energy Council di Sydney, Senin (28/7/2025), dikutip dari Reuters.
Stiell mengemukakan kedua pihak harus duduk bersama, baik secara bilateral maupun dalam kelompok kawasan, untuk membuat keputusan.
“Penundaan ini tidak membantu proses sama sekali,” lanjutnya.
Baca Juga
KTT iklim PBB diadakan secara bergiliran di antara lima kelompok kawasan. Tuan rumah COP31 harus disetujui secara bulat oleh 28 negara anggota blok Western Europe and Others Group (WEOG). PBB sebelumnya menetapkan tenggat waktu hingga Juni untuk mencapai konsensus.
Australia ingin menjadi tuan rumah bersama dengan negara-negara Pasifik untuk menampilkan transisi energinya menuju energi terbarukan. Australia telah mendapat dukungan mayoritas dari anggota WEOG dan berharap dapat mengamankan posisi tuan rumah pada COP29 di Azerbaijan.
Namun, Turki menolak mundur dari pencalonan dan justru meningkatkan kampanyenya selama pertemuan iklim sela di Bonn, Jerman, bulan lalu.
Turki berargumen bahwa lokasi geografisnya di Mediterania dapat mengurangi emisi dari penerbangan para delegasi, serta menekankan bahwa porsi industri minyak dan gasnya jauh lebih kecil dibanding Australia.
Stiell menyatakan bahwa kebuntuan ini kini memengaruhi perencanaan teknis COP, yang melibatkan ribuan delegasi dari 200 negara anggota.
“Dalam negosiasi yang serumit ini, ketidakjelasan justru menimbulkan ketegangan yang sebetulnya bisa dihindari,” ujarnya.
Ketika dimintai komentar, kantor Menteri Perubahan Iklim Australia Chris Bowen merujuk pada wawancara sebelumnya, di mana ia menyatakan bahwa tawaran Australia telah didukung oleh 23 dari 28 negara anggota WEOG.
Australia, kata Bowen, juga telah beberapa kali mengajak Turki berdialog untuk mencari solusi yang sama-sama menguntungkan atau “win-win”.
“Kami sudah punya suara dukungan. Kami bisa saja punya semua suara di dunia. Namun kalau Turki tidak mau mundur, itu tetap jadi tantangan,” ujar Bowen dalam podcast The Conversation Politics, Kamis pekan lalu.
Dalam kesempatan yang sama, Stiell juga mendorong Australia untuk menetapkan target emisi untuk 2035 yang ambisius, serta mempercepat transisi ke energi bersih.
Ia menyebut rencana iklim nasional Australia, yang dijadwalkan keluar pada September, sebagai “momen penentu” yang dapat mengirimkan sinyal bahwa negara tersebut terbuka untuk investasi bersih, perdagangan, dan kemitraan jangka panjang.