Bisnis.com, JAKARTA — Setelah melalui proses negosiasi yang cukup panjang, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Muara Laboh Fase 2 dan 3 akhirnya mencapai tahap financial close atau penyelesaian pendanaan.
Nilai pendanaan hampir mencapai US$500 juta, menandai langkah besar dalam mendorong realisasi investasi energi terbarukan di Indonesia.
Kesepakatan ini diteken oleh konsorsium PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML), yang terdiri atas Sumitomo Corporation, Inpex, dan Supreme Energy.
Proyek PLTP Muara Laboh Fase 2 yang berlokasi di Solok, Sumatra Barat, dikembangkan dalam kerangka kerja sama Asia Zero Emission Community (AZEC) antara Indonesia dan Jepang.
PLTP Muara Laboh Fase 1 telah beroperasi sejak akhir 2019 dengan kapasitas 82 megawatt (MW). Fase 2 yang memiliki kapasitas 80 MW ditargetkan Commercial Operation Date (COD) pada 2027, sementara Fase 3 berkapasitas 60 MW diproyeksikan mulai beroperasi pada 2033.
Jika digabungkan, maka ketiga fase proyek ini akan memiliki kapasitas total sebesar 228 MW dengan nilai investasi keseluruhan mencapai US$992 juta.
Baca Juga
Proyek ini menjadi salah satu investasi terbesar di sektor panas bumi nasional, memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan kapasitas panas bumi terbesar di dunia.
Angin Segar Transisi Energi Nasional
Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menilai tercapainya financial close untuk PLTP Muara Laboh Fase 2 dan 3 merupakan sinyal positif bagi investor dan pelaku industri.
Putra menekankan bahwa tantangan utama selama ini bukanlah aspek teknis, melainkan negosiasi tarif jual beli listrik antara produsen listrik swasta (IPP) dan PT PLN (Persero).
“Ini sinyal yang cukup bagus. Selama ini banyak pengumuman proyek energi, tapi sedikit yang benar-benar sampai tahap financial close. Keberhasilan ini bisa menjadi katalis bagi proyek-proyek lain,” ujar Putra kepada Bisnis, Selasa (6/5/2025).
Indonesia saat ini menempati peringkat kedua dunia dalam kapasitas terpasang panas bumi dengan total 2,68 gigawatt (GW), hanya di bawah Amerika Serikat. Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM menargetkan untuk menyalip AS pada 2029 melalui akselerasi proyek-proyek panas bumi skala besar.
Menurut data Kementerian ESDM, PLTP skala besar yang telah beroperasi di Indonesia mencakup, PLTP Sarulla berkapasitas 330 MW, PLTP Salak (377 MW), PLTP Darajat (270 MW), PLTP Kamojang (235 MW) dan PLTP Wayang Windu (227 MW).
Adapun setelah ketiga fasenya rampung, PLTP Muara Laboh memiliki kapasitas sebesar 228 MW.
Kolaborasi Pendanaan Global
Selain meningkatkan kapasitas nasional, proyek PLTP Muara Laboh juga menjadi bagian dari strategi diplomasi energi antara Indonesia dan Jepang.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut kesepakatan financial close PLTP Muara Laboh Fase 2 dan 3 menjadi tonggak penting dalam implementasi kerja sama Indonesia-Jepang melalui AZEC.
Selain PLTP Muara Laboh, proyek lain yang masuk dalam kerangka AZEC antara lain PLTSa Legok Nangka, Sustainable Aviation Fuel (SAF), PLTP Sarulla, serta proyek jaringan transmisi Jawa–Sumatera.
“Kesepakatan ini menegaskan komitmen kuat kedua negara untuk masa depan yang berkelanjutan dan rendah karbon,” kata Airlangga.
Pemerintah juga mendorong percepatan debottlenecking proyek-proyek tersebut agar segera siap untuk tahap komersialisasi, mendukung target transisi energi bersih dan pembangunan ekonomi hijau nasional.
Adapun AZEC tidak hanya membuka peluang untuk investasi energi terbarukan. Kerangka kerja sama ini merupakan bagian dari inisiatif pengurangan emisi yang pertama kali diinisiasi oleh Perdana Menteri Jepang pada COP 26 di Glasgow dan diluncurkan secara resmi pada KTT G20 di Bali, 14 November 2022, oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.
Para pemimpin AZEC sebelumnya telah melakukan pertemuan di Laos, Oktober silam. Setidaknya ada tujuh poin inti yang dihasilkan dalam pernyataan bersama Pemimpin AZEC.
Pada pertemuan Pertemuan Tingkat Menteri AZEC ke-2 di jakarta, Rabu (21/08/2024) setidaknya ada shortlist dari 78 proyek di negara Asia yang akan didukung oleh financing dari Jepang, dari JVIC. Khusus Indonesia mempunyai shortlist terbesar, yaitu 34 proyek.
Sayangnya, ada tudingan miring tentang kerja sama AZEC. Salah satunya datang dari Petisi Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Terhadap AZEC.
“Kami menyerukan kepada pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia untuk membatalkan inisiatif AZEC yang memperpanjang penggunaan energi fosil, menggunakan solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas, serta menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia,” tulis sebagai Petisi Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Terhadap AZEC.
Menanggapi hal ini, Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan tudingan miring terhadap AZEC dapat dipahami. Pasalnya, kerjangka kerja sama AZEC tidak hanya fokus pada pengembangan proyek energi terbarukan.
“Kelihatannya bercampur antara jalan energi terbarukan dan yang lainnya, bisa gas, biomassa. Itu kenapa banyak kritiknya. Harus dipahami, bahwa dalam transisi global, kepentingan setiap negara berbeda, termasuk Jepang,” katanya.