Bisnis.com, JAKARTA – Langkah Indonesia dan anggota BRICS dalam program transisi energi punya pengaruh besar dalam komitmen iklim global.
Merujuk laporan Net Zero Policy Lab (NZIPL) dari John Hopkins University, negara anggota BRICS menyumbang lebih dari separuh emisi karbon global. Adapun anggota kelompok BRICS terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Keberhasilan transisi energi di Indonesia dan negara-negara anggota BRICS menjadi penentu keberhasilan dunia meningkatkan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030 sesuai kesepakatan COP28.
Kegagalan BRICS menjalankan transisi energi akan berdampak buruk pada komitmen iklim global, sekaligus berisiko secara ekonomi bagi negara-negara anggota. Adapun investasi energi bersih anggota BRICS yang telah melampaui energi fosil baru datang dari Brasil, China dan India.
Peneliti Net Zero Policy Lab, Kritika Kapoor mengatakan realisasi investasi hijau yang ada masih jauh dari yang dibutuhkan untuk memenuhi target Iklim Paris. Padahal, menurutnya, tanpa transisi energi, BRICS—apalagi Indonesia, berisiko terkena sanksi, eksklusi teknologi, dan asimetri perdagangan.
Adapun Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan bahwa teknologi bersih menyumbang sekitar 10% pertumbuhan PDB global pada 2024.
Baca Juga
“Mengapa negara-negara BRICS mengadopsi kebijakan industri hijau? Salah satu alasannya adalah kebijakan ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan bagian dari nilai ekonomi, lapangan kerja, dan produktivitas sektor yang berkembang pesat — atau berisiko tertinggal,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (17/7/2025).
Khusus Indonesia, laporan tersebut mengungkapkan, terdapat lompatan signifikan dalam kapasitas manufaktur hijau.
Salah satunya, Indonesia menyepakati kemitraan dengan Singapura senilai US$ 10 miliar untuk zona industri hijau, seperti panel surya dan baterai di Bintan, Batam, dan Karimun, yang diumumkan pada bulan Juni lalu di 2025.
Sebagai pusat hilirisasi nikel terbesar dunia, Indonesia juga mengumumkan rencana pembangunan baterai kendaraan listrik 150 gigawatt hour (GWh) per tahun.
Meski demikian, komitmen transisi hijau Indonesia masih diragukan. Indonesia memang telah menyatakan target untuk menghapus batu bara secara bertahap dan meningkatkan kapasitas energi terbarukan mencapai 75 GW pada 2040.
Sayangnya, dalam Rencana Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, masih mencantumkan pemanfaat batu bara hingga sekitar 60%.
Kritika menjelaskan, saat ini pun, pemanfaatan energi terbarukan Indonesia juga masih sangat kurang dibandingkan potensinya yang melimpah.
Tak hanya itu, rendahnya investasi untuk penelitian dan pengembangan, paten, dan pendidikan mengurangi potensi industrialisasi hijau dan transisi energi jangka panjang di masa depan.
“Guna mencapai transisi energi global yang adil dan inklusif, Indonesia dan negara-negara BRICS harus melangkah lebih jauh dari sekadar mengganti bahan bakar fosil,” katanya.
BRICS memiliki peluang untuk mengambil kepemimpinan proaktif dalam membentuk tatanan internasional yang sedang berkembang dan menjaga multilateralisme.
Laporan ini merekomendasikan BRICS, termasuk Indonesia, fokus pada tiga agenda kebijakan transformatif, yakni kerja sama industri dan teknologi, kerja sama investasi dan pembiayaan, dan multilateralisme inklusif.
Untuk Indonesia, laporan ini merekomendasikan pembenahan rantai pasok bahan bakar nabati (BBN), mengingat potensi bahan baku pertanian yang dimiliki paling besar. Indonesia perlu membuat kebijakan terkait pemanfaatan lahan dan pilihan jalur konversi BBN untuk mencegah deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Di sektor hilir, laporan ini merekomendasikan agar Indonesia perlu mengatur mandat pencampuran sertifikasi BBN. Selanjutnya, Indonesia perlu menyelaraskan instrumen keuangan, perdagangan, dan teknologi guna mendukung pemanfaatan BBN.