Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia termasuk dalam delapan negara Asia yang dinilai belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam merealisasikan komitmen transisi energi internasional.
Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Climate Analytics bertajuk “The Impact of Global Climate Pledges on National Action: A Snapshot Across Asia”.
Inisiatif kerja sama internasional dan janji sektoral kini menjadi alat politik utama dalam upaya global untuk mencapai target Perjanjian Paris, yaitu membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C dibandingkan tingkat pra-industri.
Laporan ini mengevaluasi kemajuan pelaksanaan sejumlah Inisiatif kerja sama internasional terkait transisi energi dan perubahan iklim di delapan negara Asia, yakni Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Negara-negara ini dipilih karena perekonomiannya sangat bergantung pada bahan bakar fosil serta keterlibatannya dalam berbagai inisiatif kerja sama internasional.
Laporan tersebut mengungkap bahwa meskipun Indonesia telah menandatangani sejumlah kesepakatan internasional terkait transisi energi, implementasi di tingkat nasional masih minim.
Baca Juga
Salah satu sorotan utama adalah terus bertambahnya kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, meskipun Indonesia telah menyatakan komitmen untuk menguranginya.
“Salah satu masalah yang kami temukan dari komitmen-komitmen internasional ini adalah sifatnya yang sukarela dan tidak mengikat, yang akhirnya membatasi dampaknya. Pemerintah negara-negara dapat membuat pernyataan keras bahwa telah menandatangani komitmen tersebut dalam COP tanpa harus melakukan tindakan konkret,” kata Nandini Das, salah satu penulis laporan tersebut, dikutip Senin (21/4/2025).
Sebelumnya, Indonesia telah menandatangani Global Coal to Clean Power Transition Statement pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26), dan menargetkan penghentian seluruh PLTU pada 2056 melalui peta jalan netral karbon Kementerian ESDM.
Selain itu, Presiden Prabowo Subianto dalam KTT G20 Brasil 2024 menegaskan rencana penghentian pembangkit berbasis energi fosil sebelum 2040.
Namun, laporan tersebut menekankan belum ada kebijakan nasional maupun rencana aksi yang konkret untuk mendukung target ambisius itu. Bahkan, kapasitas PLTU batu bara terus meningkat dan kini menyumbang sekitar 45% dari total pembangkit listrik nasional.
Sejak semester II/2023, tercatat pembangunan PLTU baru dengan total kapasitas 1 gigawatt (GW) telah memperoleh izin atau mulai konstruksi.
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060 bahkan memproyeksikan penambahan kapasitas PLTU hingga 76,5 GW, naik 26,8 GW dari 2024.
Di sisi lain, pengembangan energi terbarukan masih stagnan. Investasi di sektor ini tercatat hanya mencapai US$400 juta pada 2023, lebih rendah dibandingkan Thailand. Kebijakan yang rumit disebut menjadi salah satu faktor penghambat.
Indonesia juga telah menyepakati Global Methane Pledge yang menargetkan penurunan emisi metana sebesar 30% dari level 2022 pada 2030.
Namun, emisi metana nasional justru meningkat 7% pada periode 2022–2023 dan belum ada rencana strategis untuk menurunkannya di berbagai sektor.
Lambannya realisasi komitmen energi bersih juga terjadi di negara Asia lainnya, seperti Filipina, Vietnam, Korea Selatan, Jepang, dan Singapura. Beberapa negara tersebut masih aktif menambah kapasitas batu bara dan mengembangkan infrastruktur gas alam cair (LNG).
“Komitmen internasional harus tercermin dalam target iklim nasional (NDC) dan kebijakan nyata. Tahun ini menjadi momen penting untuk melihat apakah komitmen tersebut akan mendorong aksi atau hanya menjadi jargon diplomatik,” tutur Thomas Houlie, penulis utama laporan Climate Analytics.
PLTU Tumbuh Subur di Indonesia
Di sisi lain, informasi tidak sedap harus ditelan, saat Indonesia masuk dalam urutan ketiga negara yang terbesar menambah kapasitas PLTU sebesar 1,9 GW pada 2024, dengan 80% di antaranya merupakan PLTU untuk kepentingan tertentu (captive).
Hal tersebut terungkap laporan Global Energy Monitor (GEM) “Boom and Bust Coal 2025: Tracking the Global Coal Plant Pipeline”. Laporan ini mengungkapkan, Indonesia memiliki 130 unit PLTU captive dengan kapasitas masing-masing 30 megawatt (MW) atau lebih yang telah beroperasi dan 21 unit dalam tahap pra-konstruksi dan konstruksi.
Sebagian besar PLTU dibangun untuk mendukung sektor hilirisasi mineral, yang mendorong kenaikan PLTU captive hingga tiga kali lipat dari 5,5 GW pada 2019 menjadi 16,6 GW pada 2024.
Di sisi lain, pertumbuhan kapasitas PLTU global mencapai titik terendahnya tahun lalu, yakni hanya naik 44 gigawatt (GW) dari rata-rata tahunan 72 GW pada 2004-2024.
Tercatat sejak Perjanjian Paris, kapasitas PLTU Indonesia mengalami kenaikan sebesar 29 GW. Secara total, Indonesia kini memiliki kapasitas PLTU terbesar kelima di dunia, yakni 54,7 GW.
Tak hanya itu, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060, terdapat penambahan kapasitas PLTU 26,7 GW dalam tujuh tahun ke depan, dengan 75% di antaranya merupakan PLTU captive.
“Terdapat ketidaksesuaian antara rencana batu bara Indonesia dan komitmen iklimnya. Ini seperti tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan,” kata Lucy Hummer, Peneliti Senior GEM.
Pada 2022, sebagai bagian dari transisi energi, Indonesia telah berkomitmen menghentikan pembangunan PLTU baru setelah 2022, dan menetapkan penghentian penggunaan batu bara secara nasional pada 2050.
Namun, moratorium tersebut tidak berlaku bagi PLTU yang sudah masuk dalam rencana pasokan listrik nasional dan PLTU yang dibangun untuk mendukung proyek strategis nasional dan industri yang memberikan nilai tambah, seperti hilirisasi mineral.
Padahal, PLTU captive berisiko mengulangi kesalahan pengembangan PLTU yang tersambung jaringan PT PLN (Persero), yang dibangun secara masif dan cepat dalam satu dekade terakhir sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas, perjanjian pembelian listrik jangka panjang yang mahal, serta berbagai kontroversi.