Bisnis.com, JAKARTA – Keberhasilan Pertamina Group melakukan pengiriman perdana/lifting Sustainable Aviation Fuel (SAF) berbahan baku campuran Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah menandai babak baru bisnis bioavtur nasional. Selanjutnya, bagaimana strategi Pertamina melebarkan pasar SAF merah putih ini?
Holding migas BUMN ini membentuk ekosistem SAF yang melibatkan lintas perusahaan, yaitu PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Pertamina Patra Niaga, dan Pelita Air Services.
Pengiriman perdana ini dilakukan dalam rangka penerbangan Pertamina SAF berbahan baku minyak jelantah yang akan mulai dilaksanakan pertengahan Agustus ini dengan menggunakan pesawat Pelita Air Services dengan rute Jakarta - Denpasar.
Setidaknya, sekitar 32.000 liter Pertamina SAF dari Kilang Cilacap disiapkan untuk penerbangan tersebut. Selain rute ini, SAF juga bakal mengangkasa ke sejumlah rute penerbangannya.
Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Oki Muraza mengatakan, Pertamina SAF menandai langkah awal bisnis masa depan Pertamina dengan pencapaian sejumlah catatan penting. Di antaranya menjadikan Pertamina satu-satunya produsen SAF Co-Processing di Asean.
Untuk memproduksi bahan bakar ramah lingkungan ini, Pertamina mengembangkan teknologi "merah putih" yang mampu memproses minyak jelantah hingga 2,5%–3%, melampaui kemampuan lisensor internasional.
Baca Juga
“Produksi SAF ini tidak luput dari keberanian, prinsip, dan komitmen dari working level hingga top manajemen bahwa kita sepakat dengan terobosan-terobosan yang strategis, sesuai dengan perkembangan pasar, bisnis yang profitable, dan berkelanjutan,” ujar Oki Muraza, dalam keterangan tertulis, Selasa (12/8/2025).
Pertamina juga berhasil menginisiasi dan menjajaki seluruh ekosistem SAF yang telah tersertifikasi International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) dari hulu hingga hilir.
Pasar SAF Nasional
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra menyampaikan pihaknya siap memasarkan dan menyalurkan SAF. Menurutnya, dari sisi pasar, penetrasi sudah siap, diawali dengan penggunaan oleh Pelita Air.
Adapun terkait bahan baku utama SAF, lanjut Mars Ega juga didapat dari partisipasi masyarakat melalui pengumpulan minyak jelantah atau UCO. “Karena itu, kami akan mengajak masyarakat berkontribusi mengumpulkan UCO untuk diolah menjadi SAF dan dapat dirasakan kebermanfaatan program ini secara luas untuk masyarakat," ujarnya.
Pemasaran bioavtur ini, diharapkan dapat mendukung dekarbonisasi di sektor penerbangan.
Ke depan, lanjut Mars Ega, Pertamina Patra Niaga siap mendukung dan berkolaborasi dengan Pertamina Group untuk memperluas keterlibatan aktif masyarakat dalam ekosistem SAF di seluruh Indonesia.
Selain potensi dalam negeri, Pertamina juga mengincar pasar luar negeri. Pasalnya, saat ini, Pertamina Patra Niaga sudah memiliki lisensi pemasar dan pengelola (Trader with Storage) SAF pertama di Asia Tenggara yang tersertifikasi ISCC CORSIA.
Penggunaan SAF di dunia terus berkembang. Tahun lalu, merujuk data Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional atau IATA, produksi SAF mencapai 1 juta ton (1,250 miliar liter) atau dua kali lipat dari jumlah yang diproduksi pada 2023.
Konsumsi SAF tahun lalu mewakili 0,3% dari penggunaan bahan bakar jet global. Tercatat sebanyak 11 jalur distribusi SAF telah tersertifikasi. Adapun pada tahun ini, IATA memperkirakan produksi SAF akan mencapai 2 juta ton atau 0,7% dari penggunaan bahan bakar jet global.
Produksi SAF
Keberhasilan pemasaran SAF di dalam negeri patut diapresiasi. Mengingat, kilang minyak Indonesia sudah melakukan lompatan dalam transformasi energi. Produk yang dihasilkan dari Green Refinery Cilacap ini diharapkan mampu menekan emisi karbon hingga 84% lebih rendah dibandingkan dengan avtur.
Proses produksi dilakukan dengan teknologi Co-Processing UCO yaitu menggunakan Katalis Merah Putih hasil yang merupakan hasil formulasi dan produksi dalam negeri. Untuk tahap awal, kapasitas produksi ditargetkan sebesar 9 metric barrel dengan komposisi 2–3% UCO.
Produksi SAF berbahan baku UCO ini juga menjadi kelanjutan cerita sukses KPI dalam memproduksi bahan bakar pesawat ramah lingkungan. Sebelumnya, Pertamina telah memproduksi SAF berbahan baku Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) atau minyak inti sawit.
SAF berbasis RBDPKO ini telah diproduksi dan digunakan pada uji terbang yang dilakukan pada tahun 2021 dan 2023. Uji terbang pada 2023 dilakukan dengan menggandeng maskapai penerbangan komersil Garuda Indonesia dengan rute Jakarta - Solo pulang pergi.
“Inovasi dan uji coba Pertamina SAF yang dilakukan KPI membuktikan bahan bakar aviasi yang ramah lingkungan dan berbahan nabati bukan lagi konsep. Kami meyakini Pertamina SAF akan menjadi solusi strategis bagi industri penerbangan yang berkelanjutan di masa depan,” Direktur Utama KPI Taufik Adityawarman.
Produk Pertamina SAF juga telah memenuhi standar internasional ASTM D1655 dan Def Stan 91-091. Pencapaian ini menjadikan Pertamina SAF sebagai produk SAF pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang bersertifikat resmi.
Untuk tahap awal, kapasitas produksi ditargetkan sebesar 9 metric barrel dengan komposisi 2–3% UCO. Selanjutnya KPI juga akan melakukan pengiriman dengan menggunakan kapal sebanyak 1,7 juta liter dengan tujuan Bandara Soekarno Hatta Jakarta.
"Momen pengiriman perdana ini juga menjadi sangat penting karena dilaksanakan dalam momen-momen kita akan merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Semangat kemerdekaan yang juga menjadi semangat dan inspirasi bagi kita sebagai bangsa untuk menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri energi," ujar Taufik.
Tantangan Teknologi
Keberhasilan Pertamina melakukan lifting perdana SAF sebaiknya tidak membuat perusahaan pelat merah ini berpuas diri. Sejumlah tantangan sudah ada di depan mata.
Mengutip Reuters, kilang World Energy di Paramount, Amerika Serikat, yang memproduksi SAF menggunakan minyak jelantah dan lemak hewan dari rumah jagal lokal untuk membuat bahan bakar, berulang kali mengalami hambatan untuk berkembang.
Mitra World Energy, Air Products, menarik diri dari proyek pada bulan Februari. Air Products, sebuah perusahaan gas industri dan bahan kimia AS, seharusnya memimpin ekspansi senilai $2 miliar.
CEO World Energy, Gene Gebolys mengatakan penutupan Paramount harus dilakukan karena proyek perbaikan melebihi anggaran dan jadwal. Salah satu kendala ekspansi bisnis adalah peran maskapai dalam pelaksanaan proyek sangat minim.
Selain itu, maskapai membuat proyeksi berani tentang penggunaan SAF dan pengurangan emisi berdasarkan teknologi yang belum terbukti atau proyek tahap awal yang dijalankan oleh perusahaan rintisan tanpa pengalaman produksi komersial.
Dari 36 proyek yang telah menghasilkan SAF, semuanya kecuali satu mengandalkan proses Hydroprocessed Esters and Fatty Acids (HEFA) untuk mengubah limbah minyak, lemak, dan lemak menjadi bahan bakar jet.
HEFA adalah teknologi yang digunakan di Paramount. Namun, pabrik HEFA sangat terbatas oleh ketersediaan bahan baku yang sesuai dan tidak dapat memenuhi permintaan bahan bakar jangka panjang industri.
Marie Owens Thomsen, kepala ekonom dan eksekutif keberlanjutan IATA, membantah gagasan bahwa maskapai “kurang aktif”. Menurutnya, maskapai sedang membuat kesepakatan pembelian SAF, berinvestasi dalam teknologi baru, dan mendukung inovasi tahap awal.