Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menerka Harga Listrik dari Pembangkit Nuklir di RI, Lebih Murah atau Mahal?

Pengembangan pembangkit nuklir di Indonesia menghadapi tantangan biaya tinggi dan risiko teknologi. Harga listrik PLTN diperkirakan lebih mahal.
Menara pendingin di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang sudah tidak beroperasi. / Bloomberg-Heather Khalifa
Menara pendingin di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang sudah tidak beroperasi. / Bloomberg-Heather Khalifa

Bisnis.com, JAKARTA — Pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Modal awal untuk pembangunan, teknologi hingga estimasi harga jual listrik dari pembangkit tersebut dinilai masih belum ekonomis. 

Rencana pembangunan PLTN sudah dicanangkan sejak lama, bahkan di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional  (RPJMN) 2005-2024 sudah dimasukkan. Namun, rencana itu baru masuk ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034 dan draf PP Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2025-2060. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, estimasi pengeluaran modal (capital expenditure/capex) untuk small modular reactor (SMR) 250 megawatt (MW) - 300 MW per unit diperkirakan US$6.200-US$6.500 per MW. 

"Diperkirakan jika masuk Indonesia, dengan profil risiko investasi kita, harganya bisa menjadi US$7.500 - US$9.500 per MW untuk NuScale," jelas Fabby kepada Bisnis, Rabu (13/8/2025). 

Dia menerangkan, dengan angka estimasi capex tersebut, maka harga listrik dari PLTN bisa mencapai US$115-US$150 per MWh atau 20%-30% lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan battery energy storage system (BESS). 

Tak hanya dari segi harga, pengembangan PLTN juga masih terkendala dari sisi adopsi teknologi, khususnya untuk SMR. Menurut Fabby, optimalisasi pembangunan PLTN tergantung pada jenis teknologi yang akan dibangun. 

Adapun, PLN sejak 3-4 tahun lalu melakukan kajian-kajian PLTN jenis SMR dan sejumlah start up PLTN swasta juga menawarkan berbagai teknologi, termasuk SMR.

"Katakanlah kalau rencana pemerintah dan PLN menggunakan teknologi SMR bisa disampaikan hingga saat ini dari 80 desain SMR di seluruh dunia, baru ada tiga teknologi SMR yang beroperasi, yaitu Akademik Lomonosov di Rusia, HTR PM 200 MW di China, dan PHWR 220 MW di India," tuturnya. 

Sementara itu, teknologi-teknologi lain, seperti NuScale, BWRX, dan lainnya masih dalam proses licensing dan diperkirakan baru akan beroperasi setelah 2030. Artinya, Fabby melihat teknologi tersebut belum diketahui pasti keandalan dan keekonomiannya. 

"Indonesia bisa jadi membangun teknologi yang berisiko tinggi dan karena ini teknologi perdana atau first of a kind maka biaya investasinya sangat mahal dan risiko teknis, ekonomis dan lingkungan sangat besar," jelasnya. 

Dengan demikian, Fabby menerangkan dalam pengembangan PLTN masih banyak aspek yang harus dipertimbangkan yakni risiko teknologi besar, harga listrik lebih mahal dibandingkan opsi pembangkit energi terbarukan. 

Tak hanya itu, supply chain atau rantai pasok terkonsentrasi di negara produsen sehingga dia melihat tidak akan ada alih teknologi, ketergantungan terhadap negara produsen sangat tinggi teknologi, pendanaan, bahan bakar, suku cadang, dan operasi dan pemeliharaan (O&M).

"Ini akan berdampak pada tujuan kemandirian energi yang menjadi cita-cita Prabowo," pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro