Bisnis.com, JAKARTA — Kapasitas pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU) baru pada 2024 sebesar 44 Gigawatt (GW) menjadi terendah dalam dua dekade terakhir.
Berdasarkan laporan Boom and Bust Coal 2025 Global Energy Monitor, secara keseluruhan, di tahun 2023, kapasitas PLTU baru mencapai 72 GW. Adapun pada 2004, kapastias PLTU baru yang terpasang mencapai 37 GW.
Project Manager Global Energy Monitor Christine Shearer mengatakan saat ini, lebih dari 200 GW kapasitas PLTU di dunia telah beroperasi selama lebih dari 40 tahun, melebihi rata-rata usia pensiun global sebesar 37 tahun.
Adapun tahun lalu kapasitas batu bara baru hanya bertambah 44 gigawatt listrik di seluruh dunia. Jumlah itu terendah sejak 2004. Angka ini hampir 30 GW lebih rendah dari rata-rata tahunan periode 2004–2024 yang mencapai 72 GW.
"Namun, tambahan kapasitas baru sebesar 44 GW masih lebih tinggi dibandingkan kapasitas yang dipensiunkan, yaitu sebesar 25,2 GW, sehingga menghasilkan peningkatan bersih dalam armada PLTU global sebesar 18,8 GW," ujarnya dikutip dalam laporan, Senin (7/4/2025).
Rendahnya kapasitas PLTU baru 2024 disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya, Uni Eropa penghentian operasi PLTU meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun 2023 dari 2,7 GW menjadi 11 GW, dengan Jerman sebagai penyumbang terbesar 6,7 GW.
Baca Juga
Lalu, Inggris menutup PLTU terakhirnya dan menjadikan negara keenam yang sepenuhnya menghentikan penggunaan batu bara sejak Perjanjian Paris 2015.
Kemudian, di Amerika Serikat, penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara turun menjadi 4,7 GW pada 2024, level terendah sejak 2015.
"Meskipun hampir setengah dari kapasitas listrik tenaga batu bara yang tersisa di negara itu direncanakan untuk dihentikan pada 2035, namun beberapa perusahaan listrik seperti PacifiCorp, Duke Energy, dan Georgia Power menunda atau bahkan membatalkan rencana penghentian tersebut," tuturnya.
Di sisi lain, tahun 2024 juga mencatat rekor baru dalam pembangunan PLTU baru di China yang mengalami lonjakan konstruksi akibat peningkatan perizinan PLTU di negara tersebut pada 2022–2023. Dengan 94 GW, China mencatat jumlah permulaan konstruksi tertinggi sejak tahun 2015, didorong oleh lonjakan perizinan pada tahun 2022 hingga 2023.
"Jika tren ini tidak dikendalikan, gelombang pembangunan PLTU baru ini dapat menggagalkan janji Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping untuk mencapai puncak konsumsi batu bara tahun 2025," katanya dalam laporan.
Jumlah proposal PLTU baru tertinggi di India yakni pembangunan 38 GW PLTU batu bara pada 2024. Hal ini didorong oleh kebijakan pemerintah yang kembali mendukung tenaga batu bara setelah periode perlambatan selama beberapa tahun.
Adapun PLTU China dan India menyumbang 92% dari seluruh kapasitas batu bara yang baru diusulkan secara global pada 2024 yakni 107 GW dari 116 GW.
Di luar China dan India, kapasitas PLTU yang sedang dikembangkan mengalami penurunan selama sepuluh tahun berturut-turut, turun lebih dari 80% dari 445 GW pada tahun 2015 menjadi 80 GW pada 2024.
"Saat ini, 10 negara menyumbang 96% dari pengembangan kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, hanya 8 negara yang mengusulkan pembangunan PLTU baru pada 2024, turun dari 12 negara pada 2023," ucapnya dalam laporan.
Adapun diantara 38 negara maju yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), jumlah proposal PLTU menurun dari 142 pada 2015 menjadi hanya 5 negara saat ini. Namun, penghentian kapasitas batu bara tahunan perlu meningkat lebih dari tiga kali lipat untuk memenuhi target Perjanjian Paris dari 19 menjadi 70 GW.
Negara Indonesia mengumumkan rencana untuk menghentikan penggunaan tenaga listrik berbasis batu bara pada 2040, sedangkan Malaysia menargetkan hal yang sama di tahun 2044. Brasil menjadi satu-satunya negara di Amerika Latin yang masih memiliki proposal PLTU dengan kapasitas lebih dari 0,1 GW, meskipun proyek tersebut telah terhenti selama bertahun-tahun.
Meskipun negara-negara OECD mulai meninggalkan pembangunan PLTU baru, namun laju penghentian operasional di kawasan ini masih perlu meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 19 GW pada 2024 menjadi 70 GW per tahun hingga 2030. Hal ini agar sesuai dengan target perjanjian iklim Paris.
Dalam laporan tersebut, kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara yang diusulkan di Indonesia telah menurun sebesar 90%, dari 49,7 GW tahun 2015 menjadi 4,9 GW pada 2024.
"Presiden RI Prabowo Subianto telah menyatakan Indonesia akan menghentikan penggunaan batu bara tahun 2040, meskipun masih diperlukan perencanaan matang untuk merealisasikan target tersebut terutama dengan masih berlanjutnya pembangunan PLTU captive baru," ujarnya.
Proposal pembangkit listrik tenaga batu bara baru di Asia Tenggara makin berkurang karena janji penghapusan batu bara di Indonesia dan Malaysia, moratorium perizinan pembangkit listrik tenaga batu bara di Filipina, serta pengembangan perencanaan transisi yang adil di Vietnam.
Di Afrika, Zimbabwe dan Zambia mengalami peningkatan dalam usulan kapasitas PLTU yang sebagian besar didanai oleh perusahaan-perusahaan China, meskipun pemerintah China telah berjanji pada 2021 untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri.
Amerika Latin hampir mencapai nol proposal PLTU baru dengan hanya Brasil dan Honduras yang masih memiliki proposal PLTU baru yang tertunda selama bertahun-tahun. Pada 2024, Panama berkomitmen untuk menghentikan penggunaan batu bara dalam dua tahun di 2026.
"Jepang dan Korea Selatan masih tertinggal dalam penghentian batu bara dan justru mendorong penggunaan pembakaran bersama amonia di PLTU mereka meskipun teknologi ini dinilai mahal dan tidak efisien untuk pembangkitan listrik berskala besar," ucap Christine dalam laporan tersebut.