Bisnis.com, JAKARTA - Ketua IV Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Eka Satria menilai aturan baru terkait perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) pembangkit berbasis energi terbarukan membuat PT PLN (Persero) lebih fleksibel.
Adapun, aturan baru terkait PJBL itu tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman PJBL dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan.
Aturan itu mengatur tentang transaksi jual beli listrik antara pengembang pembangkit listrik (PPL) dan PLN. Ini juga termasuk hak dan kewajiban, jangka waktu PJBL, hingga pembagian risiko dan tanggung jawab PPL serta PLN.
Dengan aturan itu, Eka menilai skema excess energy lebih fleksibel. Dengan kata lain, PLN dapat membeli listrik di luar kontrak dengan harga tertentu, yakni maksimal 80% dari harga PJBL. Menurutnya, hal ini juga memungkinkan optimalisasi kapasitas.
"Dalam hal ini kami menyambut baik di mana dimungkinkan PLN membeli listrik di luar kontrak dengan harga yang sudah nantinya kita akan bicarakan. Di sini maksimum 80%, jadi saya rasa sangat bagus," kata Eka dalam acara Sosialisasi Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2025 di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (11/3/2025).
Eka juga menilai Permen ESDM nomor 5 Tahun 2025 itu lebih jelas dan komprehensif. Sebab, aturan itu mengatur semua aspek teknis dan komersial dalam PJBL dengan detail. Hal ini pun dinilai mengurangi ketidakpastian bagi investor.
Selain itu, aturan tersebut juga memperjelas konsep deemed dispatch dan deemed commissioning. Menurut Eka, beleid itu memberikan perlindungan lebih bagi pengembang dalam kasus keterlambatan atau pembatasan oleh PLN.
Namun demikian, PPL juga wajib memberikan jaminan mengenai pasokan, kinerja pembangkit, dan dikenakan penalti apabila gagal mencapai target.
Kendati demikian, beleid itu juga memiliki risiko. Eka mengatakan ada dua risiko. Pertama, terkait volatilitas mata uang lantaran semua transaksi menggunakan rupiah.
"Risiko volatilitas mata uang. Di sini ditegaskan ditanggung oleh PLN melalui mekanisme pembayaran menggunakan rupiah JISDOR H-1 [transaksi]," tutur Eka.
Risiko kedua, yakni adanya pengertian alokasi eksplorasi pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (geotermal). Dengan kata lain, harga dapat disesuaikan dengan mempertimbangkan masa eksplorasi dan harga patokan tertinggi sesuai aturan yang berlaku.
"Tentunya kami menyarankan nantinya adanya penjabaran-penjabaran lebih detail," kata Eka.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyebut, Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2025 diterbitkan demi memberikan kepastian hukum jual beli listrik antara PPL dan PLN.
Menurutnya, selama ini, terdapat beberapa klausul terkait negosiasi kontrak jual beli listrik tak memiliki acuan baku sehingga menghambat pengembangan proyek EBT. Eniya juga mengatakan, dalam penyusunan tersebut seringkali terjadi perbedaan interpretasi dari kontrak.
"Sehingga ada banyak keterlambatan dalam realisasi proyek. Nah, ini tentunya dengan situasi yang saat ini arahan Pak Presiden, Pak Menteri untuk segera mempercepat implementasi perjanjian jual beli listrik," jelasnya.
METI Ungkap Plus Minus Aturan Baru Jual Beli Listrik EBT
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia menilai aturan jual beli listrik EBT lebih fleksibel bagi PLN. Namun, aturan ini juga memiliki risiko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Mochammad Ryan Hidayatullah
Editor : Denis Riantiza Meilanova
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
