Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas investor kakap Wall Street tak luput dari efek kembalinya Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke tampuk kepemimpinan. Dalam dua bulan pertama 2025, deretan perusahaan investasi tercatat hengkang dari komitmen iklim karena tekanan politik pemerintahan Trump yang meningkat.
Perusahaan investasi dengan aset terbesar di dunia, BlackRock Inc. adalah salah satunya. Awal Januari 2025 sebelum Trump resmi dilantik, perusahaan itu mengumumkan penarikan diri dari Net Zero Asset Managers Initiative (NZAMI).
Keputusan ini diambil BlackRock di tengah tekanan politisi Partai Republik. BlackRock yang mengelola aset sekitar US$11,5 triliun menyatakan bahwa keanggotaannya dalam NZAMI telah menimbulkan kebingungan bagi publik terkait praktik investasinya.
Keanggotaan ini juga membuat perusahaan investasi yang berbasis di New York itu harus menghadapi penyelidikan hukum oleh berbagai pejabat publik.
Dalam inisiatif sukarela ini, BlackRock sebelumnya berkomitmen mendukung tujuan nol emisi gas rumah kaca atau net zero emissions (NZE) pada 2050, termasuk dengan memanfaatkan pengaruhnya melalui pemungutan suara dalam rapat korporasi.
Seiring dengan dinamika ini, bagaimana pergerakan investasi BlackRock di saham-saham dengan bisnis rendah karbon seperti emiten energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia?
Mengutip Bloomberg Terminal, BlackRock tercatat masih mengoleksi sejumlah saham emiten-emiten di sektor EBT yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berikut ulasan pergerakan BlackRock dalam dua bulan terakhir di tengah dinamika pasar.
PT Pertamina Geothermal Tbk. (PGEO)
BlackRock tercatat masih mengoleksi 7,66 juta saham emiten panas bumi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) pada awal Maret 2025 berdasarkan data Bloomberg Terminal. Bank investasi ini tercatat pertama kali masuk ke jajaran pemegang saham PGEO pada September 2023, tak lama berselang dari peluncuran bursa karbon pada 27 September 2023.
Volume saham per 7 Maret 2025 itu lebih tinggi dibandingkan dengan posisi akhir Januari 2025 yang berjumlah 7,10 juta lembar. BlackRock tercatat menambah kepemilikan di saham PGEO sebanyak 562.700 lembar sepanjang Februari 2025.
Meski bertambah dalam dua bulan terakhir, angka tersebut masih jauh dibandingkan dengan posisi pada akhir kuartal III/2024. Pada pengujung September 2024, BlackRock tercatat mengempit 114,32 juta saham PGEO.
Data Bloomberg Terminal juga mengungkap bahwa modal rata-rata yang disiapkan BlackRock untuk membeli saham PGEO atau average cost basis per share berada di Rp1.174,49 per saham. Sementara itu, sampai penutupan perdagangan Senin (10/3/2025), saham PGEO dibanderol di harga Rp825 per saham atau telah turun 11,76% secara year to date (ytd).
Berdasarkan laporan Sustainalytics, perusahaan asal Amsterdam yang menilai level keberlanjutan perusahaan terbuka, nilai ESG teranyar PGEO berada di angka 7,1. Angka itu menempatkan PGEO sebagai perusahaan dengan skor ESG teratas di antara 646 perusahaan di sektor utilitas. Secara keseluruhan, PGEO menempati peringkat 54 dari 14.947 korporasi dunia yang diperingkat Sustainalytics.
Adapun operasional PGEO meliputi Kamojang, Lahendong, Ulubelu, Karaha, dan Lumut Balai. Perusahaan menghasilkan sebagian besar pendapatannya dari wilayah Kamojang. Per September 2024, total produksi energi dari Kamojang mencapai 1.311,86 GWh atau naik 2,38% dibandingkan dengan 1.281,33 GWh pada periode Januari-September 2023.
Secara total, produksi energi PGEO per September 2024 mencapai 3.597 GWh atau naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 3.586 GWh. Realisasi tersebut juga lebih tinggi dari target perusahaan di angka 3.460 GWh.
PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN)
BlackRock juga tak ketinggalan dalam euforia emiten Prajogo Pangestu PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN). Perusahaan investasi yang bermarkas di New York itu bahkan masih menempati peringkat teratas investor asing pemegang saham BREN.
Meski demikian, data Bloomberg memperlihatkan bahwa BlackRock aktif mengurangi kepemilikan saham di BREN dalam dua bulan terakhir. Hal ini sejalan dengan aksi investor asing yang mencatatkan net sell sebesar Rp115 miliar dalam kurun 2 Januari hingga 7 Maret 2025 di saham Barito Renewables.
Hingga 7 Maret 2025, volume saham BREN yang dikempit BlackRock berada di level 76,63 juta lembar. Volume itu turun dibandingkan dengan posisi akhir Februari 2025 sebanyak 77,09 juta dan tergerus signifikan dari level akhir Desember 2024 di angka 131,23 juta. Artinya, BlackRock telah melego 54,60 juta saham BREN dalam dua bulan terakhir.
BREN membukukan pendapatan sebesar US$441,29 juta pada Januari-September 2024. Realisasi itu turun tipis 0,89% year-on-year (YoY) dari US$445,27 juta pada periode yang sama 2023.
Saham BREN sendiri tercatat telah tersungkur 32,88% sepanjang 2025 dan parkir di level Rp6.225 per 10 Maret 2025. Sebagaimana diketahui, laju saham BREN tertekan sejak awal Februari 2025 setelah pengelola indeks acuan global MSCI mengumumkan melakukan pengecualian terhadap tiga saham emiten terafiliasi Prajogo Pangestu dalam review terhadap MSCI Global Standard Indexes.
Adapun, ketiga emiten tersebut yakni PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk. (CUAN), PT Petrosea Tbk. (PTRO), dan BREN.
Lebih lanjut, MSCI memaparkan keputusan itu berdasarkan analisis dan umpan balik dari pelaku pasar terhadap isu potensi kendala investasi (investability issues).
Dengan demikian, MSCI tidak mempertimbangkan untuk menambah CUAN, PTRO, dan BREN ke dalam MSCI Indonesia Investable Market Index (IMI) sebagai bagian dari peninjauan ulang indeks Februari 2025.
Kendati demikian, MSCI menyatakan terbuka untuk menerima masukan dari semua pelaku pasar dan investasi terhadap tiga saham tersebut.
“MSCI akan meninjau kelayakan sekuritas ini sebagai bagian dari review indeks di masa depan dan berkomunikasi lebih lanjut jika diperlukan.”
PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO)
BlackRock tercatat masih mempertahankan kepemilikan saham di emiten milik Garibaldi ‘Boy’ Thohir PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO), bahkan setelah perusahaan tersebut memutuskan untuk melakukan spin-off atau melepas bisnis batu baranya melalui penawaran perdana saham atau initial public offering (IPO) anak usaha PT Adaro Andalan Indonesia Tbk. (AADI).
Kepemilikan BlackRock di ADRO juga terpantau terus meningkat dalam dua bulan terakhir. Pada pengujung Januari 2025, BlackRock tercatat mengempit 528,22 juta saham ADRO, kemudian naik menjadi 539,29 juta pada akhir Februari 2025 dan sampai 7 Maret 2025 menembus 534,09 juta lembar.
Meski meningkat, volume ini sejatinya tetap lebih rendah daripada posisi akhir kuartal III/2024 yang mencapai 557,73 juta lembar. Adapun average cost basis per share atau modal rata-rata yang dirogoh BlackRock untuk mengakumulasi saham ADRO adalah sebesar Rp727,22 per lembar.
Sebagaimana diketahui, Manajemen ADRO sebelumnya menuturkan spin-off bisnis batu bara diharapkan akan membantu AADI dan pilar bisnis nonbatu bara termal untuk meningkatkan fokus pengembangan dan kinerja. Pemisahan ini juga akan membantu bisnis hijau ADRO untuk mendapatkan akses terhadap sumber pembiayaan yang lebih banyak dan biaya pendanaan yang lebih kompetitif.
Selain itu, ADRO mengharapkan spin-off bisnis batu bara memberikan akses yang lebih baik pada proyek-proyek ramah lingkungan dengan partner bisnis potensial peringkat atas, serta memberikan opsi investasi yang lebih banyak pada investor publik untuk berinvestasi sesuai dengan minat dan pandangannya.
Sepanjang 2024, emiten afiliasi Garibaldi 'Boy' Thohir itu mencetak penurunan pendapatan dan laba bersih. ADRO mencetak laba bersih sebesar US$1,38 triliun atau setara dengan Rp22,29 triliun (kurs Jisdor 31 Desember 2024 Rp16.157 per dolar AS).
Mengutip laporan keuangan perusahaan, ADRO melaporkan penurunan pendapatan sebesar 2,66% secara tahunan pada 2024. Pendapatan ADRO berkurang dari US$2,13 miliar pada 2023 menjadi US$2,07 miliar pada 2024, atau setara dengan Rp33,58 triliun.
Peningkatan pendapatan ini terjadi di tengah peningkatan volume produksi batu bara metalurgi melalui PT Adaro Minerals Indonesia Tbk. (ADMR) yang naik 30% menjadi 6,63 juta ton, dari sebelumnya sebesar 5,11 juta ton pada 2023.
Sementara itu, volume penjualan batu bara metalurgi ADRO naik menjadi 5,62 juta ton pada 2024, dari sebelumnya 4,46 juta ton. Penjualan ini naik 26% secara tahunan.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.