Bisnis.com, JAKARTA — Upaya menyepakati perjanjian untuk mengekang proliferasi plastik terhenti pada hari Jumat, meninggalkan negosiasi yang telah berlangsung hampir tiga tahun dalam ketidakpastian.
Para delegasi meninggalkan pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa tanpa mencapai kesepakatan, setelah bertemu di awal bulan ini untuk memecahkan kebuntuan mengenai cara mengatasi ancaman polusi plastik terhadap kesehatan manusia, satwa liar, dan ekosistem.
Para delegasi yang membahas perjanjian pertama di dunia yang mengikat secara hukum untuk mengatasi polusi plastik gagal mencapai konsensus. Para delegasi mengungkapkan kekecewaan dan bahkan kemarahan karena perundingan 10 hari tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Para delegasi telah berupaya mencapai terobosan dalam perundingan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menemui jalan buntu di Jenewa tetapi negara-negara yang mendorong perjanjian ambisius tersebut mengatakan teks terbaru yang dirilis pada Jumat dini hari gagal memenuhi harapan mereka.
Pemimpin Kampanye Kelautan Environmental Investigation Agency Christina Dixon mengatakan negara-negara memutuskan bahwa lebih baik tidak memiliki perjanjian daripada perjanjian yang lemah.
Direktur Pelaksana OceanCare Fabienne McLellan menuturkan draf terbaru yang diajukan oleh Ketua Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5.2) Luis Vayas Valdivieso tak cukup kuat dan para delegasi menolak untuk menyetujui perjanjian yang tidak cukup mengikat.
"Ini adalah kesempatan yang terlewatkan yang tidak boleh diabaikan oleh lautan," ujarnya dilansir Bloomberg, Jumat (15/8/2025).
Baca Juga
Negara-negara anggota PBB terpecah belah oleh posisi garis keras. Runtuhnya perjanjian antara 170 negara ini berarti masa depan setiap upaya global untuk mengatasi masalah lingkungan akibat sampah plastik telah diragukan.
Komisaris Lingkungan Uni Eropa Jessika Roswall menuturkan blok tersebut akan berupaya menggunakan versi terbaru sebagai dasar untuk perjanjian yang lebih kuat di masa mendatang. Uni Eropa akan terus mendorong perjanjian yang lebih kuat dan mengikat yang melindungi kesehatan masyarakat, melindungi lingkungan, dan membangun ekonomi yang bersih, kompetitif, dan sirkular.
Upaya untuk mencapai kesepakatan telah digagalkan oleh ketidaksepakatan mendasar tentang cara terbaik untuk mengelola masalah lingkungan dan kesehatan yang disebabkan oleh plastik.
Selama enam putaran negosiasi, para delegasi berjuang untuk menjembatani kesenjangan antara dua kelompok. Mayoritas negara mendukung perjanjian yang akan membatasi jumlah plastik yang diproduksi dan menetapkan batasan pada bahan kimia beracun tertentu, sedangkan kelompok yang lebih kecil yang dipimpin oleh negara-negara penghasil minyak ingin mempertahankan fokus perjanjian pada pengumpulan sampah plastik dan daur ulang yang lebih baik.
Dalam rangkaian perundingan terakhir, AS berpihak pada kelompok kedua ini dengan menyatakan bahwa mereka menentang segala pembatasan terhadap bisnis dan perdagangan.
Dilansir Reuters, Menteri Ekologi Prancis Agnes Pannier-Runacher menuturkan pada sesi penutupan pertemuan dia sangat marah karena meskipun ada upaya sungguh-sungguh dari banyak pihak dan kemajuan nyata dalam diskusi yang belum ada hasil nyata dicapai.
Delegasi Kolombia Haendel Rodriguez mengatakan kesepakatan telah diblokir oleh sejumlah kecil negara yang tidak menginginkan kesepakatan. Hal ini merujuk kepada negara penghasil minyak.
Para diplomat dan aktivis iklim telah memperingatkan awal bulan ini bahwa upaya Uni Eropa dan negara-negara kepulauan kecil untuk membatasi produksi plastik murni yang berbahan bakar minyak bumi, batu bara, dan gas mendapat tentangan dari negara-negara penghasil petrokimia dan AS di bawah Presiden Donald Trump.
Para pejabat PBB dan beberapa negara termasuk Inggris menyatakan perundingan harus dilanjutkan tetapi yang lain menggambarkan prosesnya terputus-putus.
"Sangat jelas bahwa proses saat ini tidak akan berhasil," kata delegasi Afrika Selatan.
Lebih dari 1.000 delegasi telah berkumpul di Jenewa untuk putaran perundingan keenam, setelah pertemuan Komite Perundingan Antarpemerintah (INC) di Korea Selatan akhir tahun lalu berakhir tanpa kesepakatan. Negosiasi telah memasuki babak perpanjangan waktu pada hari Kamis karena negara-negara berjuang untuk menjembatani perbedaan pendapat yang mendalam mengenai tingkat pembatasan di masa mendatang. Banyak pihak, termasuk Menteri Lingkungan Hidup Denmark Magnus Heunicke yang bernegosiasi atas nama Uni Eropa, kecewa karena upaya terakhir tidak membuahkan hasil.
"Tentu saja kita tidak dapat menyembunyikan bahwa sungguh tragis dan sangat mengecewakan melihat beberapa negara mencoba menghalangi sebuah kesepakatan. Saya berjanji untuk terus mengupayakan perjanjian yang diperlukan untuk mengatasi salah satu masalah polusi terbesar yang kita hadapi di dunia," tutur Magnus.
Direktur Eksekutif Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa Inger Andersen berjanji untuk melanjutkan upaya tersebut.
"Kita belum mencapai tujuan yang kita inginkan, tetapi masyarakat menginginkan kesepakatan," ujarnya.
Adapun isu-isu yang paling memecah belah antara lain pembatasan produksi, pengelolaan produk plastik dan bahan kimia yang menjadi perhatian, serta pendanaan untuk membantu negara-negara berkembang menerapkan perjanjian tersebut.
Direktur Kebijakan Plastik Global dari Kelompok Lingkungan GAIA Ana Rocha menuturkan para aktivis anti-plastik menyuarakan kekecewaan mereka atas hasil tersebut, tetapi menyambut baik penolakan negara-negara terhadap kesepakatan lemah yang gagal membatasi produksi plastik.
"Tidak ada perjanjian yang lebih baik daripada perjanjian yang buruk," katanya.