Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Greenpeace Desak Kepala Daerah Baru di Jabodetabek Selesaikan Masalah Iklim

Kepala daerah yang baru dilantik untuk wilayah Jabodetabek diharapkan mengatasi permasalahan iklim dan lingkungan yang berdampak pada aspek sosial dan ekonomi
Pedagang merapikan dagangannya di salah satu pasar yang terendam banjir di Jakarta, Senin (13/1). bisnis/Nurul Hidayat
Pedagang merapikan dagangannya di salah satu pasar yang terendam banjir di Jakarta, Senin (13/1). bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Greenpeace Indonesia mendesak kepala daerah di wilayah Jabodetabek yang baru dilantik untuk fokus menyelesaikan permasalahan beban sosial dan ekonomi masyarakat yang berkaitan erat dengan krisis iklim dan lingkungan. 

Hampir seluruh kota besar di Indonesia berada di kawasan pesisir, termasuk Jakarta dan wilayah penopangnya. Kawasan ini berada di garis depan dalam menghadapi dampak krisis iklim.

Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait mencatat setidaknya terdapat lima masalah iklim dan lingkungan yang harus diperhatikan kepala daerah baru di Jabodetabek. Masalah iklim tersebut mencakup polusi udara, banjir dan kekeringan, minimnya ruang terbuka hijau (RTH), kenaikan permukaan air laut, dan perluasan pulau panas perkotaan (urban heat island).

“Kelima masalah ini memberikan dampak signifikan bagi kenyamanan dan keamanan hidup warga, serta dampak buruk bagi perekonomian daerah,” ujar Jeanny melalui siaran pers, Senin (24/2/2025).

Sepanjang 2024 misalnya, polusi udara masih menjadi permasalahan utama di Jabodetabek. Di awal tahun, sebagian wilayah Jabodetabek terindikasi memiliki kualitas udara yang “tidak sehat” untuk dihirup makhluk hidup. Polusi udara diperkirakan mengakibatkan 2.500 kematian prematur dan kerugian sebesar Rp5,1 triliun per tahun di wilayah Jabodetabek. 

Polusi udara yang melanda Jabodetabek pun memiliki kaitan erat dengan minimnya RTH di wilayah ini. Ruang terbuka hijau di Jakarta hingga 2023 masih mencakup 5,2 persen dari total wilayah kota, sementara Tangerang Selatan hanya memiliki 8,5 persen RTH. Luasan RTH di kedua kota tersebut masih jauh dari standar ideal sebesar 30 persen sehingga berdampak buruk terhadap kualitas udara, peningkatan suhu, serta memperburuk dampak krisis iklim.

“Padahal, tanaman pada RTH dapat membantu penyerapan karbon dioksida yang menjadi salah satu pemicu polusi udara, dan fungsi lahan terbuka hijau dapat meningkatkan wilayah resapan air yang akan sangat membantu pada musim penghujan dan musim kemarau,” ujar Jeanny. 

RTH juga dapat membantu menurunkan suhu dan mencegah urban heat island. Pembangunan pesat dan konversi lahan vegetasi menjadi properti yang tidak terencana, dan tidak sesuai dengan daya dukung kota memperluas lahan gersang sehingga meningkatkan suhu di wilayah perkotaan.

Di Jabodetabek, fenomena ini telah meluas ke arah kota Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi dan membuat suhu kawasan perkotaan 3-6 derajat celsius lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan perdesaan. 

Sementara itu, cuaca ekstrem akibat krisis iklim menyebabkan wilayah Jabodetabek mengalami banjir saat curah hujan tinggi, dan kekeringan di musim kemarau panjang.

Banjir yang melanda Jakarta setiap tahun melumpuhkan perekonomian dan diperkirakan mengakibatkan kerugian sebesar Rp2,1 triliun per tahun. Sementara itu, kekeringan membuat petani di Bekasi menanggung rugi hingga puluhan jutaan rupiah dan meningkatkan pengeluaran warga menengah ke bawah akibat harus membeli air bersih seharga Rp5.000 hingga Rp 10.000 per jeriken.

“Hal ini menunjukan kerentanan kelompok masyarakat menengah ke bawah di Jabodetabek yang harus mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi kebutuhan dasar, salah satunya air bersih,” kata Jeanny.

Sebagai wilayah yang sebagian besar berada di pesisir, Jabodetabek pun rentan terhadap kenaikan permukaan air laut yang dapat menenggelamkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akibat banjir rob dan abrasi. Kedua fenomena tersebut juga dapat merusak infrastruktur dan mengancam kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. 

Khusus di wilayah Jakarta, permukaan tanah terus menurun rata-rata 5 cm per tahun. Wilayah utara Jakarta bahkan tercatat menurun sebanyak 7,44 hingga 8,47 cm per tahun. Wilayah lain yang menghadapi kerentanan lebih buruk akibat kenaikan permukaan air laut adalah wilayah Kepulauan Seribu.

Kenaikan permukaan laut terus mengikis bibir pantai dan menyebabkan abrasi di pinggiran pulau dengan luas lebih dari 42 hektare di Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

“Masyarakat miskin, kelompok menengah dan kelompok rentan di wilayah ini jadi kelompok yang akan merasakan dampak paling parah karena keterbatasan kemampuan mereka untuk beradaptasi dan memitigasi krisis iklim. Kepala daerah memiliki peran sentral dalam mengatasi masalah ini demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui ketahanan dan keadilan iklim di perkotaan,” tutup Jeanny.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper