Bisnis.com, JAKARTA — Restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove memiliki potensi ekonomi sebagai salah satu fokus investasi berkelanjutan dunia usaha.
Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup Sigit Reliantoro mengatakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan restorasi gambut seluas 4,1 juta hektare yang berpotensi berhasil mengurangi emisi sekitar 302,9 juta ton karbon dioksida (CO2) per tahun.
“Ini membuka peluang perdagangan karbon senilai Rp48 triliun sampai Rp184 triliun per tahun. Dalam melaksanakan Environmental, Social, and Governance (ESG) sudah mulai melirik kepada restorasi ekosistem gambut sebagai bagian dari strategi ESG,” ujarnya dilansir Antara, Senin (3/2/2025).
ESG atau lingkungan hidup, sosial dan tata kelola merupakan panduan praktik perusahaan untuk pengambilan keputusan dalam berbisnis dan berinvestasi.
Adapun terdapat juga potensi keikutsertaan dunia usaha dalam upaya rehabilitasi mangrove yang diperkirakan memerlukan pembiayaan US$3.900 per hektare. Namun, di saat bersamaan nilai ekosistem tersebut akan meningkat sekitar US$15.000 per hektare per tahun dan US$50.000 per hektare jika dikombinasikan dengan silvofishery, sebuah sistem budaya ikan dengan mempertahankan ekosistem mangrove.
Pemulihan pesisir juga diperkirakan menghasilkan US$6.760 per hektare, yang dihasilkan dari hasil sektor perikanan dan penyimpanan karbon di ekosistem tersebut. Indonesia sendiri memiliki luasan mangrove sekitar 3 juta hektare dengan jenis tutupan yang beragam.
Baca Juga
“Yang bisa dimanfaatkan bagi bapak/ibu sekalian untuk offset dan perdagangan karbon,” katanya.
Hal itu sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai oleh Indonesia dalam bentuk ekonomi hijau dan ekonomi biru. Indonesia juga sudah memulai perdagangan karbon tidak hanya untuk tingkat domestik tetapi juga perdagangan internasional yang diluncurkan pada Januari 2025.
Sementara itu, Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace Kiki Taufik menuturkan restorasi lahan gambut selama 10 tahun terakhir dinilai tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
“Jutaan hektare areal mengalami kebakaran hebat, bahkan berulang terbakar hampir setiap tahunnya. Kondisi tersebut diperparah dengan alih fungsi lahan, salah satunya untuk proyek lumbung pangan,” ucapnya.
Indonesia menjadi negara dengan luas lahan gambut terbesar di dunia. Sayangnya, ekosistem yang harusnya menjadi penyeimbang alam dan penyimpan karbon terbesar, malah dirusak atas nama pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam dokumen Program Strategi Nasional.
“Luas areal terbakar di Indonesia tahun 2023 mencapai 2,13 juta hektare. Dari jumlah tersebut, 1,3 juta hektare merupakan area yang sebelumnya pernah terbakar sepanjang periode 2015 hingga 2022. Artinya, permasalahan lahan gambut ini belum tuntas dan malah memburuk,” tuturnya.
Dia melihat ada regulasi yang tidak konsisten dari pemerintah dan sering kali menguntungkan pihak perusahaan atau swasta. Salah satu contohnya adalah kedalaman gambut yang kurang dari 3 meter boleh dimanfaatkan, di samping penerbitan izin perusahaan tidak transparan. Padahal semua kondisi kedalaman gambut menyimpan risiko besar untuk terbakar.