Bisnis.com, JAKARTA — Lebih dari 21% pembangkit listrik global diperkirakan beroperasi di wilayah dengan risiko tinggi krisis air (water stress) karena permintaan yang jauh lebih tinggi daripada ketersediaan. Kondisi ini dapat memengaruhi kemampuan pembangkit dalam memasok listrik, di tengah ancaman pemanasan global yang makin kentara.
Analisis yang dilakukan Bloomberg Intelligence dengan pemodelan bisnis seperti biasa (business-as-usual/BAU) dari World Resources Institute (WRI) memperlihatkan bahwa 795 dari 3.800 infrastruktur pembangkit listrik berlokasi di wilayah dengan risiko ini.
Riset secara spesifik menyebutkan bahwa pembangkit bertenaga air dan panas bumi sebagai infrastruktur yang paling berisiko karena ketergantungan tinggi pada ketersediaan air untuk pendinginan maupun untuk menghasilkan listrik.
“Ketika gelombang panas dan kekeringan meningkat, paparan risiko ini dapat memengaruhi keandalan sistem, meningkatkan biaya operasional, atau memicu pengawasan regulasi. Data di tingkat aset dapat membantu mengidentifikasi di mana strategi mitigasi paling dibutuhkan,” tulis Tim ESG Bloomberg Intelligence, Eric Kane dan Melanie Rua.
Beberapa perusahaan yang memiliki jejak besar di wilayah risiko tinggi antara lain Saudi Electric, dengan 92% pembangkitnya terpapar risiko tersebut. Public Power Corp. dari Yunani menyusul dengan operasional 89% asetnya berlokasi di kawasan dengan risiko tinggi krisis air.
Bloomberg Intelligence mencatat bahwa teknologi seperti panas bumi dan pumped hydro memiliki tingkat paparan tinggi terhadap risiko krisis air, dengan tingkat aset yang terdampak di kisaran 25–50%.
Pembangkit berjenis run-of-river dan bendungan menjadi yang paling banyak terdampak secara absolut, masing-masing 134 dan 105 unit, meskipun proporsi risikonya lebih rendah di kisaran 10–12%.
Sebagai contoh, Ormat Technologies mengoperasikan 10 pembangkit panas bumi di wilayah dengan tekanan air tinggi, dengan total kapasitas 188 megawatt (MW) yang sebagian besar berlokasi di Amerika Serikat.
Lebih dari 90% pasokan Ormat Technologies berasal dari wilayah rawan tersebut. Meski perusahaan mulai meningkatkan penggunaan sistem pendingin hibrida dan air non-tawar, ketersediaan air dan perizinan masih menjadi risiko operasional utama.
“Ketika perusahaan utilitas memperluas pengembangan panas bumi dan solusi penyimpanan energi, pemahaman atas kondisi air lokal menjadi krusial untuk menjaga kapasitas produksi dan memitigasi gangguan akibat iklim,” lanjut Kane dan Rua.
Pembangkit dalam Pengembangan Turut Terancam
Riset ini turut mengungkap bahwa sekitar 150 proyek pembangkit listrik yang masih dalam tahap awal juga tak luput dari ancaman krisis air yang tinggi pada 2030. Proye-proyek ini masih berada dalam tahap pengumuman, perizinan, maupun sudah memasuki tahap konstruksi.
China, India dan Italia menempati posisi teratas sebagai negara yang memiliki paling banyak proyek pembangkit listrik dengan risiko krisis air. Beberapa pengembang yang paling terdampak adalah Datang dari China, SJVN dari India dan Enel dari Italia.
“Sebagian besar proyek ini sangat bergantung pada air. Sebanyak 72 proyek berbasis tenaga air, 23 berbasis gas alam, dan delapan menggunakan batu bara,” tulis riset tersebut.
Selain proyek-proyek di ketiga negara tersebut, Bloomberg Intelligence juga mencatat risiko krisis air di proyek pembangkit listrik di negara lain. Di antaranya adalah Thailand Yunani di peringkat empat dan lima. Kemudian ada Filipina dan Indonesia di peringkat enam dan tujuh.
SJVN, salah satu pengembang asal India, secara eksplisit menyebut pengelolaan air sebagai risiko iklim material. Mereka menyinggung soal potensi hilangnya pendapatan, beban kepatuhan, dan kenaikan biaya mitigasi.
Sementara itu, Enel mencatat penurunan konsumsi air tawar sebesar 14,3% di wilayah rawan air pada 2024 dibandingkan 2023. Perusahaan juga menargetkan penurunan intensitas pengambilan air sebesar 65% pada 2030. Namun, lebih dari seperlima total penggunaan air Enel masih terjadi di zona berisiko tinggi.
Sebagai perbandingan, Xcel Energy yang berbasis di AS telah mengalokasikan dana sebesar US$28 miliar untuk peningkatan jaringan dan pembangkit hingga 2029, sebagian untuk memperkuat ketahanan iklim.
Seiring meningkatnya risiko fisik, kelangkaan air diperkirakan akan memperumit proses perizinan dan mengganggu kelayakan finansial proyek-proyek pembangkit baru.