Bisnis.com, JAKARTA — Sekelompok perusahaan manufaktur produsen panel surya di Amerika Serikat mendesak Departemen Perdagangan AS untuk menerapkan tarif impor terhadap panel surya asal Indonesia, India dan Laos.
Para perusahaan ini menuding produsen panel surya dari negara-negara tersebut melakukan dumping sehingga menjualnya dengan harga lebih murah di pasar AS.
Petisi yang disampaikan Aliansi Manufaktur dan Perdagangan Solar Amerika pada Kamis (17/7/2025) tersebut merupakan upaya terbaru dari produsen domestik AS untuk melindungi investasi panel surya baru senilai miliaran dolar AS. Terutama dari persaingan tidak sehat dengan perusahaan asing yang menjual produk dengan harga lebih murah, khususnya produsen asal China yang beroperasi di luar negeri.
Aliansi yang mencakup perusahaan-perusahaan seperti Tempe, First Solar, Qcells, Hwanha dan Talon PV telah berhasil dengan petisi serupa. Penyelidikan dumping yang dilakukan Departemen AS berujung pada tarif impor hingga ratusan persen yang menyasar produsen panel surya Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Kamboja, Vietnam dan Thailand.
Dalam petisi terbaru, aliansi tersebut menuding perusahaan China telah merelokasi produksi dari negara memperoleh tarif impor tinggi AS ke Indonesia, Laos dan India. Mereka juga juga menuding perusahaan yang bermarkas di India menerapkan dumping di AS.
Jika diakumulasi, impor panel surya dari ketiga negara tersebut mencapai US$1,5 miliar pada 2024. Angka tersebut jauh meningkat daripada level 2022 yang hanya US$289 miliar.
Baca Juga
“Kami selalu mengatakan bahwa penerapan yang ketat di regulasi dagang AS sangat penting dalam menyukseskan industri ini,” kata Tim Brightbill, kepala pengacara dalam petisi tersebut dalam pernyataan yang dikutip Reuters.
Mayoritas panel surya yang dipasang di AS merupakan produksi luar negeri. Di tengah perkembangan tersebut, kapasitas produksi panel surya perusahaan AS terus meningkat seiring dengan diterapkannya insentif pajak melalui Inflation Reduction Act ketika Joe Biden masih memimpin sebagai presiden.
Berdasarkan data Asosiasi Industri Energi Surya (Solar Energy Industries Association/SEIA), kapasitas tenaga surya AS mencapai 50 gigawatt (GW) pada 2025, jauh melesat daripada 7 GW di 2020.
Namun, level kapasitas tersebut masih belum memadai untuk memasok kebutuhan pasar energi surya AS. Pasar ini diestimasi memerlukan tambahan kapasitas sebesar 43 GW setiap tahunnya hingga 2030, menurut SEIA.
Departemen Perdagangan AS memiliki waktu 20 hari sejak petisi disampaikan untuk menginisiasi penyelidikan lebih lanjut guna menentukan apakah panel surya asal Indonesia, Laos dan India perlu diganjar tarif. Dalam praktiknya, kasus antidumping dan bea masuk tambahan (countervailing) memerlukan waktu setahun untuk mencapai penetapan tarif final.