Bisnis.com, JAKARTA – Center of Economic and Law Studies (Celios) menyematkan rapor merah untuk Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menjelang 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabumi.
Raja Juli terpantau menempati peringkat ke-4 di deretan menteri dengan kinerja terburuk. Dia juga menempati peringkat pertama menteri berperforma buruk di bidang energi dan lingkungan.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menempati peringkat kedua dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq di peringkat ketiga.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan Menteri ESDM belum tegas merilis daftar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mana saja yang akan dimatikan pada 2025, padahal Presiden Prabowo sudah menyampaikan komitmen pemensiunan PLTU di forum G20 Brasil.
Bhima juga menyoroti pernyataan Menteri Kehutanan mengenai rencana pemanfaatan 20 juta hektare hutan sebagai cadangan pangan dan energi. Langkah itu dinilai kontras dengan komitmen konservasi lingkungan dan target iklim Indonesia.
“Antara masalah energi, pangan dan lingkungan hidup ada kegagalan membaca situasi. Swasembada energi seharusnya tidak bertolak belakang dengan konservasi hutan,” kata Bhima dalam konferensi pers, Selasa (21/1/2025).
Baca Juga
Dia mengemukakan pemanfaatan hutan untuk pangan maupun energi, salah satunya dengan pemanfaatan hutan untuk co-firing PLTU, bakal membuat Indonesia dikecam dunia internasional.
“Ini juga menurunkan dukungan pembiayaan global untuk konservasi hutan sekaligus transisi energi. Jelas instruksi Prabowo tidak berhasil diturunkan menjadi program implementatif yang berkualitas,” kata Bhima.
Sebagaimana diketahui, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sebelumnya menyebutkan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung swasembada pangan dan energi.
Raja Juli tidak secara spesifik menyebutkan lokasi hutan-hutan tersebut. Namun catatan historis memperlihatkan bahwa pemanfaatan hutan di Indonesia selalu lekat dengan konversi atau deforestasi alih-alih optimalisasi hutan terdegradasi.
Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat bahwa luas perkebunan sawit Indonesia sudah mendekati batas maksimal. Berdasarkan riset kolaborasi dengan Sawit Watch dan Satya Bumi, batas tersebut berada di kisaran 18,15 juta hektare.
Data teranyar Badan Informasi dan Geospasial (BIG) serta Kementerian Pertanian pada 2023 menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit telah mencapai 17,3 juta hektare. Sementara menurut data dari lembaga nonpemerintah Sawit Watch, total perkebunan sawit di Indonesia mencapai 25,07 juta hektare.
Luasan perkebunan monokultur tersebut, jika makin besar, tentu berdampak pada target penurunan emisi Indonesia.
Dokumen Enhanced National Determined Contributions (NDC) Indonesia atau komitmen yang dibuat secara nasional menetapkan pengurangan emisi sampai dengan 2030 sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan sebesar 43,2% dengan dukungan internasional. Komitmen NDC Indonesia juga bertumpu dari sektor forest and land use (FoLU), salah satunya dengan pengurangan deforestasi.