Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Ambisi Bangun Hub 'Gudang Karbon', Pengembangan Berkiblat ke Norwegia

Indonesia mencontoh Norwegia dalam pengembangan penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) hub.
Ekonomi hijau dan transisi energi/ilustrasi
Ekonomi hijau dan transisi energi/ilustrasi

Bisnis.com, BOGOR - Indonesia tengah berambisi untuk mengembangkan carbon capture and storage (CCS) hub yang mendekatkan area industri penghasil emisi karbon dioksida (CO2) dengan tempat penyimpanan karbon. Hal ini dinilai dapat menekan biaya penangkapan dan penyimpanan emisi karbon yang cukup tinggi.

Indonesia CCS Center melaporkan potensi penyimpanan emisi karbon di RI mencapai 600 gigaton (GT) dengan lokasi strategis yang mampu melakukan pengembangan di darat (onshore) dan di lepas pantai (offshore), memungkinkan Indonesia menawarkan ruang penyimpanan karbon ke negara-negara di kawasan. 

Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center (ICCSC) Belladonna Troxylon Maulianda mengatakan, pengembangan CCS yang dilakukan di dalam negeri saat ini berkiblat pada Norwegia yang juga telah berhasil mengoperasikan CCS pertama dunia. 

"Ini kita berkiblatnya ke Norwegia. Norwegia itu juga sedang membangun CCS hub tapi di bagian utara dunia, kita di bagian selatan dunia," kata Belladonna dalam agenda Understanding Carbon Capture and Storage (CCS), dikutip Minggu (19/1/2025). 

Proyek perdana CCS Norwegia, yaitu Sleipner pada 1996 dengan kapasitas 0,9 metrik ton CO2 per tahun dan investasi sebesar US$92 miliar. Adapun, pada pertengahan 2023, proyek ini telah terisi 22 metrik ton CO2 per tahun. 

Norwegia juga mengoperasikan proyek The Snohvit CCS pada 2008 dengan investasi US$191 miliar berkapasitas 0,7 metrik ton CO2 per tahun. Pada pertengahan 2023, proyek tersebut telah terisi 8-9 metrik ton CO2 per tahun. 

"Dengan kapasitas penyimpanan karbon hingga 600 gigaton dan lokasi strategis, Indonesia memiliki daya tarik investasi yang kuat dalam pengembangan teknologi CCS," ujarnya. 

Saat ini, terdapat 15 proyek CCS yang sedang dikembangkan di Indonesia dengan total investasi sekitar US$28 miliar. Proyek-proyek ini mencakup berbagai sektor seperti kilang, petrokimia, dan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. 

Beberapa proyek utama, termasuk kerja sama lintas negara dengan Singapura, menunjukkan komitmen Indonesia untuk mempercepat transisi energi.

Untuk itu, dia juga menekankan pentingnya kerangka regulasi yang mendukung pengembangan CCS, termasuk Perpres No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan CCS dan pengadopsian standar internasional ISO/TC 265 sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). 

Regulasi ini mencakup operasional penyuntikan karbon, kegiatan lintas batas, hingga sistem pelaporan dan verifikasi (MRV) yang detail.

Namun, dia juga menyebutkan tantangan yang masih ada yaitu kebutuhan akan investasi lebih lanjut, infrastruktur transportasi karbon, dan peningkatan kesadaran publik.

Dengan kombinasi inovasi teknologi, kerja sama lintas sektor, dan regulasi yang kuat, Indonesia berkomitmen untuk memimpin upaya dekarbonisasi di kawasan Asia Tenggara.

Dalam kesempatan yang sama, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut CCS dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS) di sektor hulu minyak dan gas menjadi upaya pemerintah Indonesia terus memperkuat upaya pengurangan emisi karbon. 

Menurut data SKK Migas, sejumlah proyek CCS/CCUS sedang dikembangkan, termasuk CCS Abadi di Blok Masela dengan kapasitas penyimpanan karbon mencapai 3 gigaton CO2 dan CCUS Ubadari dengan kapasitas 1,8 gigaton CO2. 

Keduanya dijadwalkan mulai beroperasi pada 2030 dan 2029. Proyek lainnya seperti CCUS Sukowati, Jatibarang, dan Gemah juga dalam tahap studi lanjutan untuk mendukung pengurangan emisi dari sektor energi.

Hingga kini, Indonesia telah menetapkan kerangka regulasi, termasuk Perpres No. 14 Tahun 2024 yang memberikan landasan hukum untuk pelaksanaan CCS/CCUS, serta Panduan Kerja SKK Migas No. PTK-070/2024 yang mengatur pelaksanaan teknologi ini di wilayah kerja kontraktor.

Tantangan utama dalam implementasi CCS/CCUS di Indonesia meliputi biaya investasi yang tinggi, perlu adanya izin lingkungan, serta kebutuhan koordinasi lintas instansi. Selain itu, kesadaran publik dan dukungan masyarakat terhadap teknologi ini perlu ditingkatkan guna memastikan keberhasilan jangka panjang.

VP Business Support and Lead of Carbon SKK Migas Firera mengatakan, dari berbagai tantangan yang ada, peran pemerintah penting untuk mendukung dari sisi insentif bagi pelaku usaha sehingga dari aspek keekonomian dapat menghasilkan nilai terjangkau. 

Dia mencontohkan di negara seperti Inggris Raya hingga Amerika Serikat memberikan insentif besar kepada pelaku usaha untuk melakukan kegiatan injeksi karbon ke tempat penyimpanan di dalam bumi. 

"Yang paling advance di Norwegia, Belgia, inilah yang memang kita terus melihat aspek ekonomi menjadi backbone, harapannya ke depan kehadiran pemerintah harus ada disitu," terang Firera. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper