Bisnis.com, JAKARTA – Kawasan Asia Tenggara dinilai perlu meningkatkan pajak karbon untuk mempercepat upaya dekarbonisasi, seiring makin masifnya implementasi tarif berbasis tingkat emisi karbon.
Laporan BloombergNEF memperlihatkan bahwa sejauh ini hanya terdapat dua mekanisme pajak karbon yang dijadwalkan berlaku sebelum 2030 di Asia Tenggara.
Singapura adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang sudah memberlakukan pajak karbon, dengan tarif 25 dolar Singapura (setara US$18,48) per ton CO2 ekuivalen. Banderol harga ini berpotensi naik hingga mencapai 80 dolar Singapura per ton pada 2030.
Sementara itu, Indonesia mengusulkan pajak karbon domestik untuk pembangkit listrik dan sektor transportasi dengan tarif sebesar Rp30.000 per ton, atau hanya sekitar US$1,90 per ton.
Adapun Thailand berencana menerapkan pajak karbon untuk produk minyak dengan tarif 200 baht atau sekitar US$5,66 per ton CO2 ekuivalen. Dalam mekanisme penetapan harga karbon ini, entitas yang diwajibkan harus membayar pajak dengan tarif tertentu untuk setiap ton emisi yang melebihi ambang batas.
Namun, tarif pajak karbon yang direncanakan dan sudah diterapkan di Asia Tenggara berada di bawah kisaran harga yang direkomendasikan Bank Dunia, yaitu US$63 hingga US$127 per ton. Standar harga itu dinilai ideal untuk mencapai target pencegahan pemanasan global 1,5°C.
Baca Juga
“Ini menunjukkan bahwa instrumen penetapan harga karbon di kawasan ini mungkin memiliki pengaruh terbatas terhadap pengurangan emisi sektor dalam waktu dekat,” tulis Joy Foo dalam riset tersebut.
Pemerintah di kawasan Asia Tenggara, lanjut Foo, sengaja menetapkan harga rendah di tahap awal untuk memberikan periode transisi bagi perusahaan agar dapat beradaptasi. Namun, pada tingkat harga ini, entitas yang diwajibkan membayar pajak karbon cenderung menerima sedikit insentif finansial untuk mengurangi aktivitas tinggi karbon.
Meski demikian, Foo turut mencatat bahwa pemerintah di Asia Tenggara berupaya meningkatkan efektivitas pajak karbon dengan menaikkan tarif dan memperluas cakupannya ke lebih banyak entitas.
BloombergNEF juga berpandangan bahwa tarif pajak karbonn yang lebih tinggi akan menjadi krusial bagi sektor berbasis ekspor Asia Tenggara untuk bersaing dengan Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon Uni Eropa (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM). Melalui kebijakan ini, Uni Eropa menetapkan bea impor atas emisi gas rumah kaca yang dihasilkan selama proses produksi barang impor tertentu.
“Perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara perlu menurunkan emisi mereka secara signifikan, atau menghadapi risiko membayar tarif tersebut atau mencari pasar alternatif untuk ekspor,” tulis Foo.