Bisnis.com, JAKARTA – Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon dipertanyakan menyusul pernyataan-pernyataan kontroversial petinggi pemerintah. Padahal, Indonesia harus segera melaporkan komitmen iklim terbarunya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Februari 2025 dalam Second Nationally Determined Contribution (NDC) atau NDC 3.0.
Akhir Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto menyerukan ekspansi perkebunan sawit, meski komoditas tersebut menjadi sasaran kritik global karena memicu deforestasi. Aliran kritik tersebut justru dijawab Presiden dengan komentar bahwa perkebunan sawit pun juga pohon yang turut menyumbang penyerapan karbon.
Tak lama berselang, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyebutkan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung swasembada pangan dan energi.
Raja Juli tidak secara spesifik menyebutkan lokasi hutan-hutan tersebut. Namun catatan historis memperlihatkan bahwa pemanfaatan hutan di Indonesia selalu lekat dengan konversi atau deforestasi alih-alih optimalisasi hutan terdegradasi.
Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat bahwa luas perkebunan sawit Indonesia sudah mendekati batas maksimal. Berdasarkan riset kolaborasi dengan Sawit Watch dan Satya Bumi, batas tersebut berada di kisaran 18,15 juta hektare.
Data teranyar Badan Informasi dan Geospasial (BIG) serta Kementerian Pertanian pada 2023 menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit telah mencapai 17,3 juta hektare. Sementara menurut data dari lembaga nonpemerintah Sawit Watch, total perkebunan sawit di Indonesia mencapai 25,07 juta hektare.
Luasan perkebunan monokultur tersebut, jika makin besar, tentu berdampak pada target penurunan emisi Indonesia.
Dokumen Enhanced NDC Indonesia atau komitmen yang dibuat secara nasional menetapkan pengurangan emisi sampai dengan 2030 sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan sebesar 43,2% dengan dukungan internasional. Komitmen NDC Indonesia juga bertumpu dari sektor forest and land use (FoLU), salah satunya dengan pengurangan deforestasi.
Belum jelas nasib pengurangan emisi ini, Indonesia juga memiliki kewajiban menyampaikan komitmen terbarunya dalam NDC 3.0 pada Februari 2025.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurof mengatakan Indonesia akan segera menyerahkan komitmen terbaru penurunan emisi dalam dokumen NDC kedua kepada Sekretariat UNFCCC paling lambat Februari 2025.
"Ini tentu kita perlu langkah-langkah strategis untuk mendorong semua pihak menyepakati angka-angka penurunan emisi gas rumah kaca dalam Second NDC ini, yang akan kita gunakan sebagai rujukan pengurangan emisi gas rumah kaca tahun 2031 sampai 2035," katanya, Senin (6/1/2025).
Mengenal NDC 3.0
NDC merupakan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca dan pencapaian tujuan iklim global yang dibuat negara-negara yang meratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement).
Dalam Pasal 4 Persetujuan Paris, setiap negara diminta merancang dan mengkomunikasikan aksi iklim mereka untuk mencapai nol emisi atau net zero. Rancangan inilah yang dikenal dengan NDC.
NDC sejatinya diserahkan setiap lima tahun kepada Sekretariat UNFCCC. Namun sejak COP26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021, para negara diminta menyampaikan pembaruan informasi yang lebih rutin.
Perjanjian Paris menetapkan bahwa setiap NDC berikutnya harus menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan NDC sebelumnya dan mencerminkan ambisi tertinggi yang dapat dicapai oleh negara tersebut. Titah ini, bertujuan untuk meningkatkan ambisi secara bertahap di tengah keberagaman kemampuan setiap negara.
Indonesia pertama kali menyampaikan target pengurangan emisi karbon pada 2016. Saat itu, Indonesia berkomitmen mengurangi 29% emisi pada 2030 dengan upaya sendiri dari skenario business-as-usual (BAU), dan 41% dengan dukungan internasional.
Indonesia memperbarui komitmen iklimnya dalam Updated NDC pada 2021. Meski target pengurangan emisi karbon tidak naik, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi di sektor energi dan sektor kehutanan dan pengolahan lahan.
Komitmen kembali ditingkatkan Indonesia pada 2022 melalui Enhanced NDC. Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% dengan upaya sendiri hingga 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030.
NDC 3.0 sendiri merupakan komitmen terbaru pengurangan emisi dan upaya pencapaian target iklim global. Jika NDC sebelumnya menjangkau periode waktu sampai 2030, NDC 3.0 berisi komitmen-komitmen yang harus dicapai negara dalam kurun 2025-2035.
Beberapa Negara Umumkan NDC 3.0
Di bawah Perjanjian Paris, negara-negara diharuskan menyampaikan rencana aksi iklim nasional yang baru dan lebih kuat sebelum batas waktu Februari 2025 dalam NDC 3.0. NDC terbaru harus sejalan dengan target untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius.
Meski batas waktu penyerahan dokumen NDC 3.0 jatuh pada bulan depan, Februari 2025, beberapa negara telah lebih dulu menyatakan komitmennya jauh-jauh hari.
Amerika Serikat menjadi salah satu polutan terbesar dunia yang mengumumkan NDC 3.0 sebelum tenggat.
Dalam dokumen yang diserahkan ke Sekretariat UNFCCC pada November 2024, pemerintahan Presiden Joe Biden membidik pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 61–66% dibandingkan dengan posisi 2005 di semua sektor ekonomi pada 2035.
Komitmen ini mencerminkan dampak berkelanjutan dari Inflation Reduction Act pemerintah Joe Biden dan undang-undang infrastruktur terhadap dekarbonisasi ekonomi. Namun komitmen baru AS dalam pengurangan emisi dibayangi kembalinya Donald Trump yang mengancam akan kembali keluar dari Perjanjian Paris.
Beberapa negara lain yang telah menyerahkan dokumen NDC 3.0 adalah tuan rumah COP28 pada 2023 Uni Emirat Arab (UEA) dan tuan rumah COP30 pada 2025, Brasil.
UEA membidik pengurangan emisi sebesar 47% pada 2035 dibandingkan dengan posisi 2019. Sementara itu, Brasil menargetkan pengurangan sebesar 67% pada 2035 dibandingkan dengan posisi emisi pada 2005.