Bisnis.com, JAKARTA — India, penghasil emisi karbon dioksida terbesar ketiga di dunia, mengincar penyelesaian kesepakatan kredit karbon dengan Jepang pada awal 2025. India juga menargetkan negosiasi serupa dengan Korea Selatan dan Singapura.
Langkah ini bertujuan menarik investasi dan teknologi dari proyek-proyek berkelanjutan, sekaligus menghasilkan kredit karbon, menurut sumber yang diwartakan Bloomberg.
Kesepakatan bilateral dengan Jepang diperkirakan akan ditandatangani pada awal tahun depan, sementara kesepakatan dengan Korea Selatan dan Singapura diupayakan rampung sebelum akhir tahun fiskal yang berakhir Maret 2026. Selain itu, India juga sedang menjajaki peluang kerja sama dengan Jerman dan Swedia.
Perjanjian kredit karbon sendiri telah dibahas di bawah Pasal 6.2 Perjanjian Paris. Pasal tersebut memungkinkan perdagangan kredit karbon terjalin antarnegara untuk mendukung pencapaian target iklim masing-masing. Negosiator pada pertemuan COP29 di Azerbaijan baru-baru ini menyepakati pedoman pasar setelah hampir satu dekade perundingan.
Beberapa negara, termasuk Singapura dan Swiss, telah menjalin kesepakatan kredit karbon sebelum panduan resmi dirilis. Menurut BloombergNEF, nilai kesepakatan perdagangan pengurangan emisi antarnegara yang dicapai di COP29 melebihi US$1 miliar.
Kementerian Perdagangan Jepang memberi konfirmasi soal diskusi dengan India mengenai perjanjian kredit karbon bilateral, tetapi tidak menyebutkan jadwal pastinya. Pada 2023, kedua negara menandatangani kesepakatan untuk membangun mekanisme kredit bersama.
Baca Juga
Sementara itu, Sekretariat Perubahan Iklim Nasional Singapura menyatakan tengah membahas perjanjian implementasi bilateral dengan India sesuai dengan Pasal 6.2. Kementerian lingkungan Korea Selatan juga mengonfirmasi pembicaraan tentang nota kesepahaman untuk kerja sama kredit karbon.
Jerman dan Swedia juga menunjukkan minat mereka. Kementerian ekonomi Jerman menyebutkan sedang bernegosiasi dengan India untuk menyepakati nota kesepahaman, sementara Badan Energi Swedia menyatakan sedang berdialog dengan beberapa negara untuk kemitraan bilateral.
Dalam beberapa pembicaraan, India mengusulkan mekanisme kredit karbon bersama, di mana negara mitra menyediakan pendanaan dan teknologi untuk proyek-proyek tertentu. Kredit yang dihasilkan akan dibagi, dengan persentase bergantung pada proyek yang dikembangkan.
India sebelumnya telah mengidentifikasi 13 jenis aktivitas yang dapat dimasukkan dalam perdagangan karbon bilateral, termasuk hidrogen hijau, bahan bakar penerbangan berkelanjutan, dan transmisi listrik tegangan tinggi arus searah.
India bukanlah satu-satunya negara yang menjajaki kesepakatan kredit karbon dengan Jepang. Belum lama ini, Indonesia dan Jepang mencapai kesepakatan untuk memulai penerapan Mutual Recognition Arrangement (MRA) untuk pelaksanaan kerja sama perdagangan karbon bilateral antara kedua negara.
Kesepakatan tersebut dicapai di sela-sela COP29 pada Selasa (12/11/2024). Kesepakatan MRA ini menjadi model kerja sama bilateral antarnegara pertama di dunia dalam kerangka Perjanjian Paris, khususnya Pasal 6.2.
“Pemerintah Indonesia siap menjalankan kesepakatan yang telah ditandatangani. Saya mewakili Presiden Prabowo menyampaikan komitmen beliau untuk melanjutkan semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya,” ujar utusan khusus Presiden Indonesia untuk COP29 Hashim S. Djojohadikusumo kala itu
Hal tersebut disambut baik oleh Vice Minister for Global Environment Affairs, Ministry of Environment Japan, Mr. Matsuzawa. Melalui MRA, Pemerintah Indonesia dan Jepang dapat mengambangkan kolaborasi dan kerja sama menuju net zero emission di antara kedua negara.
“Melalui MRA ini, kami ingin memformulasikan dan mengembangkan proyek konkret untuk pengurangan emisi di Indonesia, dan berdasarkan pengalaman tersebut, kedua negara juga bisa berkontribusi untuk pengurangan emisi global,” katanya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dan Kementerian Lingkungan Jepang, selaku otoritas penanggungjawab sistem kredit karbon di masing-masing negara, telah menyiapkan MRA tersebut melalui serangkaian dialog dan pembahasan tingkat Menteri, Wakil Menteri dan tim teknis kedua belah pihak yang dilaksanakan sejak Agustus 2024.
Penandatanganan dokumen MRA dilaksanakan secara sirkular pada tanggal 18 Oktober 2024 oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dan pada tanggal 28 Oktober 2024 oleh Menteri Lingkungan Jepang. Sesuai kesepakatan, MRA mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 2024.
MRA dibangun atas prinsip kesetaraan antara sistem kredit karbon Indonesia dan negara mitra. Komponen sistem kredit karbon yang saling diakui oleh kedua negara mencakup metodologi aksi mitigasi, penghitungan pengurangan emisi, sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) serta sertifikasi kredit karbon. Di Indonesia, sertifikasi ini dikenal dengan nama Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI).
MRA ini memastikan bahwa sistem kredit karbon Indonesia diakui oleh otoritas negara mitra, demi mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang diamanatkan oleh Perjanjian Paris.
Peraturan Presiden No. 98/2021 telah mengatur penyelenggaraan nilai ekonomi karbon sebagai bagian dari upaya mencapai target kontribusi nasional (NDC) termasuk melalui kerja sama perdagangan karbon dengan instrumen MRA. Perjanjian Paris mengamanatkan kerja sama perdagangan karbon ini mengacu pada prinsip Transparency, Accuracy, Completeness, Comparability, and Consistency (TACCC), yang menjamin integritas tinggi dalam perdagangan kredit karbon.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia menyatakan penerapan MRA dengan otoritas negara mitra akan memberi dampak signifikan bagi Indonesia dalam perdagangan karbon internasional. Dengan kesepakatan ini, sertifikat kredit karbon Indonesia diakui setara dengan yang berlaku di negara mitra. Proyek-proyek aksi mitigasi yang berlangsung di Indonesia yang didukung oleh sumber daya negara mitra, harus mematuhi peraturan lingkungan nasional yang berlaku dan mengikuti sistem sertifikasi Indonesia.
Pembagian kredit karbon yang dihasilkan akan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak yang terlibat, dengan pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia dan negara mitra. Indonesia akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim sekaligus memperkuat posisi dalam perdagangan karbon global.