Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti Hasil Kesepakatan Perundingan Perjanjian Atasi Polusi Plastik PBB Berlangsung Alot

Perundingan PBB di Jenewa untuk mengatasi polusi plastik berlangsung alot. Negara-negara terpecah antara pembatasan produksi plastik dan fokus pada daur ulang. Asia Tenggara berperan penting dalam solusi global.
Tumpukan sampah plastik diangkut untuk dipilah di pabrik pemilahan sampah milik perusahaan daur ulang Remondis di Erftstadt, Jerman, 12 Agustus 2025. REUTERS/Jana Rodenbusch
Tumpukan sampah plastik diangkut untuk dipilah di pabrik pemilahan sampah milik perusahaan daur ulang Remondis di Erftstadt, Jerman, 12 Agustus 2025. REUTERS/Jana Rodenbusch

Bisnis.com, JAKARTA — Selama 70 tahun terakhir, plastik menjadi bahan yang sangat mudah dibentuk, serbaguna, dan tahan lama memenuhi pasar dan tampaknya digunakan di berbagai tempat dan daerah di Bumi.

Berdasarkan Kajian Pollution to Solution, polusi plastik laut mengurangi layanan ekosistem laut berharga yang bernilai setidaknya US$500 miliar hingga US$2.500 miliar setiap tahunnya. Angka tersebut tidak termasuk kerugian sosial dan ekonomi lainnya seperti pariwisata dan pengiriman.

Kajian tersebut menyoroti bahwa kerugian ekonomi langsung terhadap industri pesisir dan maritim, seperti perikanan dan perkapalan, terjadi secara signifikan. Di kawasan Mediterania, kerugian ini diperkirakan mendekati US$138 juta per tahun. Di kawasan Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik, kerugian total US$10,8 miliar, meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2009. 

Plastik juga merupakan masalah iklim dimana menghasilkan emisi gas rumah kaca di seluruh siklus hidupnya. Jika tidak ada tindakan yang diambil, emisi gas rumah kaca dari produksi, daur ulang, dan pembakaran plastik dapat menyebabkan 19% dari total emisi yang diizinkan Perjanjian Paris pada 2040 untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius. Pada 2040, sampah plastik diperkirakan memiliki risiko keuangan tahunan sebesar US$100 miliar untuk bisnis guna menanggung biaya pengelolaan limbah pada volume yang diinginkan. 

Merujuk makalah Lancet memperingatkan bahaya yang serius dan terus meningkat akibat meningkatnya jumlah material plastik dan memperkirakan kerugian ekonomi terkait kesehatan mencapai lebih dari $1,5 triliun per tahun. Meskipun demikian, masih terdapat perpecahan mendasar antara negara-negara yang menginginkan perjanjian luas yang membatasi jumlah plastik baru yang diproduksi dan bahan kimia beracun tertentu di dalamnya, dan kelompok yang lebih kecil yang ingin membatasi perjanjian tersebut hanya untuk meningkatkan pengumpulan sampah plastik dan meningkatkan daur ulang.

Perbedaan pendapat kemungkinan semakin sulit diatasi terutama terpilihnya kembali Presiden AS Donald Trump yang kebijakannya mendukung ekstraksi lebih banyak bahan bakar fosil, bahan dasar plastik. AS mendukung perjanjian yang menghormati kedaulatan nasional dan berfokus pada pengurangan polusi plastik tanpa memberlakukan pembatasan yang memberatkan bagi produsen. 

Laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), volume plastik di dunia dan catatan ilmiah tentang risikonya terus meningkat. Produksi plastik terus tumbuh pesat, menurut laporan tahun 2024 dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Produksinya berlipat ganda antara tahun 2000 dan 2019, dari 234 juta ton menjadi 460 juta ton. Tanpa kebijakan yang lebih ambisius, jumlah plastik yang diproduksi di seluruh dunia diperkirakan akan mencapai 736 juta ton pada 2040.

Dari lebih dari 16.000 bahan kimia dalam plastik, lebih dari seperempatnya diketahui berbahaya bagi kesehatan manusia, sementara sebagian besar belum pernah diuji toksisitasnya. Dalam makalah Lawrence Berkeley National Laborator tahun 2019, produksi plastik primer menghasilkan 2,24 gigaton setara karbon dioksida (CO2) atau 5,3% dari total emisi gas rumah kaca pada tahun itu jauh lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya sebesar 3,4%.

Sejak 5 Agustus hingga 14 Agustus 2025, sebanyak 184 negara yang berkumpul di Jenewa dalam perundingan perjanjian global guna memerangi polusi plastik. Namun, perundingan tersebut belum memiliki titik temu. 

Perundingan untuk menciptakan perjanjian pertama di dunia yang mengikat secara hukum guna mengatasi polusi plastik memasuki babak perpanjangan waktu. Perundingan memerangi polusi plastik telah diperpanjang satu hari dengan diskusi yang masih berlanjut setelah negosiasi sengit karena puluhan negara menolak draf teks terbaru. 

Negara-negara berjuang keras untuk menjembatani perbedaan pendapat yang mendalam mengenai tingkat pembatasan di masa mendatang pada hari yang seharusnya menjadi hari terakhir perundingan di Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa. Namun dengan hanya 30 menit tersisa dalam pertemuan yang dijadwalkan, Ketua Pembicaraan Komite Negosiasi Internasional (INC) Luis Vayas Valdivieso mengatakan kepada para delegasi bahwa negosiasi akan berlangsung hingga hari Jumat (15/8/2025).

Dengan waktu yang semakin menipis untuk mencapai kesepakatan di antara 184 negara yang berkumpul di Jenewa, menyusun draf teks berdasarkan beberapa area konvergensi dalam upaya menemukan titik temu. INC merupakan kelompok yang dibentuk oleh Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEA) pada 2022 dengan mandat untuk mengembangkan perjanjian global yang mengikat secara hukum guna mengatasi polusi plastik.

Pada Kamis (14/8/2025) malam, negara-negara telah menunggu teks baru yang dapat menjadi dasar negosiasi lebih lanjut setelah delegasi yang menginginkan perjanjian plastik yang ambisius menolak usulan perjanjian yang diajukan pada hari Rabu (13/8/2025). 

Negara-negara yang mendorong perjanjian komprehensif termasuk Panama, Kenya, Inggris, dan Uni Eropa, sama-sama frustrasi karena pasal-pasal kunci tentang siklus hidup polusi plastik secara menyeluruh mulai dari produksi polimer hingga pembuangan limbah serta dampak buruknya terhadap kesehatan telah dihapus sepenuhnya dari teks.

Kemudian, negara-negara penghasil minyak menentang pembatasan produksi plastik murni yang berasal dari minyak bumi, batu bara, dan gas, serta hanya ingin menghilangkan sampah plastik. Sementara itu, negara-negara lain menginginkan pembatasan dan kontrol yang lebih ketat terhadap produk plastik dan bahan kimia berbahaya.

Bagi negara-negara yang menamakan diri ambisius, draf tersebut hanyalah dokumen kosong tanpa tindakan berani seperti membatasi produksi dan menghapus bahan-bahan beracun, dan direduksi menjadi kesepakatan pengelolaan limbah. Bagi kelompok sepemikiran dengan negara-negara Teluk memimpin, draf tersebut telah melewati terlalu banyak batasan dan tidak melakukan upaya yang cukup untuk mempersempit cakupan kesepakatan yang mungkin mereka setujui.

Draf teks tersebut tidak membatasi produksi plastik atau membahas bahan kimia yang digunakan dalam produk plastik yang menjadi isu kontroversial dalam perundingan tersebut. Sekitar 100 negara ingin membatasi produksi sekaligus menangani pembersihan dan daur ulang karena penting untuk mengatasi bahan kimia beracun. Blok negara yang lebih besar yang menginginkan tindakan yang lebih ambisius mengecam apa yang mereka anggap sebagai kurangnya tindakan yang mengikat secara hukum. Namun, negara-negara penghasil minyak mengatakan bahwa teks tersebut terlalu berlebihan bagi mereka.

Pengacara Pengelola Kantor Jenewa di Pusat Hukum Lingkungan Internasional David Azoulay mengatakan saat ini sudah waktunya berpikir serius untuk melangkah maju.

"Anda tidak dapat mendamaikan kedua posisi ini, jadi saya pikir ketua akan terus berusaha. Saya tidak tahu apakah dia bisa, dan jika dia tidak bisa, sudah waktunya untuk berpikir serius tentang bagaimana melangkah maju," ujarnya dilansir Reuters, Jumat (15/8/2025).

Komisaris Uni Eropa Jessika Roswall berpendapat perjanjian yang lemah dan statis tidak menguntungkan siapa pun. Pasalnya, sebuah perjanjian yang mencakup seluruh siklus hidup plastik dan dapat berevolusi seiring perkembangan ilmu pengetahuan merupakan langkah penting.

"Beberapa jam ke depan akan menunjukkan apakah kita dapat bangkit," katanya. 

Wakil Presiden Program Plastik Laut Ocean Conservancy Nicholas Mallos menuturkan dengan polusi plastik yang berada pada tingkat krisis global, draf teks Ketua sama sekali tidak dapat diterima karena tidak ada penyebutan tentang pengurangan plastik dan penyebutan apa pun tentang ghost gear – bentuk polusi plastik paling mematikan bagi kehidupan laut telah dihapus dari teks. Lebih lanjut, bagian tentang pendanaan tidak memadai untuk implementasi perjanjian apa pun secara efektif, sehingga mengancam kemampuan banyak anggota negara untuk mencapai tujuan perjanjian.

"Ilmu pengetahuannya jelas untuk mengurangi polusi plastik, kita harus membuat dan menggunakan lebih sedikit plastik sejak awal, jadi perjanjian tanpa pengurangan adalah perjanjian yang gagal. Waktu hampir habis, dan kami siap mendukung Ketua dan Negara Anggota dalam membentuk perjanjian yang lebih kuat dan lebih berdampak untuk mengatasi krisis ini dengan urgensi yang dibutuhkannya.” “Kesehatan lautan dan komunitas kita bergantung padanya," tuturnya. 

Global Plastics Policy Lead World Wildlife Fund (WWF) Zaynab Sadan mengatakan kesepakatan tersebut masih sangat jauh dari yang pernah dicapai dalam hampir tiga tahun perundingan.

"Ternyata tidak mungkin semua negara dapat menjembatani perbedaan mereka," ucapnya. 

Pengacara Senior untuk Program Kesehatan Lingkungan di Pusat Hukum Lingkungan Internasional (CIEL) Giulia Carlini menuturkan akan sangat penting untuk meluangkan setiap jam di hari terakhir negosiasi untuk menemukan teks yang tepat yang dapat memenuhi janji untuk mengakhiri polusi plastik. 

Kepala delegasi Greenpeace Graham Forbes meminta para delegasi negara meneguhkan ambisi yang telah mereka janjikan dan mengatasi akar permasalahannya ekspansi produksi plastik yang tak henti-hentinya. Lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi secara global setiap tahun, setengahnya adalah untuk barang sekali pakai. Hampir setengahnya atau 46% berakhir di tempat pembuangan sampah, sementara 17% dibakar dan 22% tidak dikelola dengan baik dan menjadi sampah.

Panama menyebut draf teks hari Rabu sebagai menjijikkan dan menyerukan penulisan ulang secara menyeluruh. Kemudian, negara Arab Saudi yang menolak pembatasan besar menyatakan tidak ada yang bisa disepakati sampai cakupan perjanjian didefinisikan dengan jelas.

Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia sekaligus Ketua Bersama Kelompok Negara-Negara Berambisi Tinggi Andreas Bjelland Eriksen menuturkan semua pihak perlu berkompromi. Adapun menunjuk pada potensi keterbukaan untuk membahas kembali pembatasan bahan kimia dan produksi. 

"Kami bersedia membahas semua pasal, tiga, enam, misalnya, agar dapat menciptakan paket yang memadai bagi semua orang," ujarnya. 

Presiden America's Plastic Makers Ross Eisenberg menuturkan pihaknya mendukung kesepakatan tanpa batasan produksi plastik dan memperingatkan bahwa AS mungkin tidak akan meratifikasi perjanjian yang memuat ketentuan untuk melarang bahan kimia atau membatasi produksi plastik.

"Kami pikir ini bisa sangat baik bagi industri, masyarakat, dan lingkungan kami," katanya. 

Namun, anggota parlemen Kolombia Juan Carlos Lozada mendesak bahwa tidak ada kesepakatan yang lebih baik daripada kesepakatan yang diperlunak.
Sekitar 300 perusahaan, termasuk Unilever (ULVR.L) telah mendesak adanya perjanjian ambisius yang menyelaraskan aturan secara global.

"Jika kita tidak mencapai tingkat harmonisasi tersebut, kita berisiko mengalami fragmentasi lebih lanjut dan biaya yang lebih tinggi," ucap Ed Shepherd, Manajer Keberlanjutan Global Senior di Unilever. 

Adapun lebih dari 1.000 delegasi telah berkumpul di Jenewa untuk putaran perundingan keenam setelah pertemuan Komite Negosiasi Antarpemerintah (INC-5) di Korea Selatan akhir tahun lalu berakhir tanpa kesepakatan.

OECD memperingatkan tanpa intervensi, produksi plastik akan meningkat tiga kali lipat pada 2060 yang akan semakin mencemari lautan, mengganggu kesehatan, dan memperburuk perubahan iklim. 

PERAN ASIA TENGGARA & TIMUR

Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann berpendapat Asia Tenggara dan Timur memainkan peran sentral dalam upaya global untuk mengatasi polusi plastik, mengingat pangsa pasarnya yang substansial dalam ekonomi global, posisi strategisnya dalam rantai nilai plastik, dan permintaan plastik yang meningkat pesat. 

Negara-negara Asean Plus Tiga (APT) yang terdiri dari 10 negara Asean, China, Jepang dan Korea menunjukkan bahwa penggunaan plastik di kawasan ini telah melonjak hampir sembilan kali lipat sejak tahun 1990 mencapai 152 juta ton (Mt) pada 2022.

Kawasan ini kini menyumbang hampir sepertiga dari penggunaan plastik global dengan penggunaan per kapita tahunan berkisar antara 32 kg di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah hingga lebih dari 100 kg di banyak negara berpenghasilan menengah ke atas dan tinggi di kawasan APT.

Pada 2022, kawasan ini membocorkan 8,4 juta ton plastik ke lingkungan lebih dari sepertiga dari total global termasuk 3,5 juta ton dari negara anggota Asean dan 4,9 juta ton dari China. Kebocoran plastik mengacu pada plastik apa pun yang memasuki lingkungan darat atau perairan, akibat pengumpulan dan pembuangan yang tidak memadai. Hal ini termasuk sampah plastik seperti kemasan atau gelas minuman yang dibuang sembarangan atau dibuang begitu saja.

Pada 2050, penggunaan plastik diproyeksikan mencapai 280 juta ton per tahun dengan kebocoran plastik diproyeksikan meningkat sebesar 68% menjadi 14,1 juta ton per tahun.

"Asia Tenggara dan Asia Timur dapat menjadi model global dalam mengatasi polusi plastik dan memajukan solusi ekonomi sirkular untuk sampah plastik. Dengan kerja sama regional yang lebih kuat, kebijakan yang ambisius, dan investasi yang terarah, kawasan ini hampir dapat sepenuhnya menghilangkan kebocoran plastik pada tahun 2050, memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat, lingkungan, dan ekonomi global," terangnya dalam laporan. 

Meskipun menghadapi tantangan termasuk peningkatan produksi sampah yang melampaui pengelolaan sampah di kawasan yang sangat beragam dalam hal tingkat pendapatan, namun penggunaan plastik, dan kapasitas pengelolaannya, kemajuan signifikan sedang dicapai.

Sebagian besar negara APT telah mengadopsi rencana aksi nasional untuk mengatasi polusi plastik dan meningkatkan kerja sama regional. Tingkat daur ulang rerata di kawasan ini sebesar 12% sudah melebihi rata-rata global sebesar 10%, dan berbagai upaya tengah dilakukan untuk meningkatkan pemilahan sampah di sumbernya, mengurangi pembuangan sampah sembarangan, dan meningkatkan penggunaan material daur ulang di pabrik.

Menurutnya, strategi yang efektif dapat disesuaikan lebih lanjut dengan konteks lokal dan didukung oleh investasi dalam infrastruktur pengumpulan dan daur ulang sampah, kerangka regulasi yang lebih kuat, sinyal kebijakan yang jelas untuk membuka investasi dan dukungan untuk integrasi pekerja sampah informal.

"Aksi kebijakan semakin cepat di Asia Tenggara dan Timur, tetapi tantangan tetap ada. Sembilan dari 13 negara APT telah mengadopsi rencana aksi nasional terkait polusi plastik atau pengelolaan sampah, sementara 4 negara lainnya masih dalam pembahasan. Namun, cakupan dan efektivitas kebijakan masih belum merata di seluruh kawasan," tuturnya. 

Di tahun 2022, 29% sampah plastik di kawasan ini dikelola secara tidak benar dengan porsi yang lebih besar berada di negara-negara Asean berpenghasilan menengah ke bawah sebesar 70%. Praktik informal dan tidak aman seperti pembakaran dan pembuangan sampah terbuka masih terjadi di Tiongkok dan sebagian besar negara anggota Asean. 

"Kebijakan saat ini dapat memperlambat, tetapi tidak membalikkan, tren kebocoran plastik regional. Didorong oleh peningkatan pendapatan dan standar hidup, penggunaan plastik di kawasan ini diproyeksikan hampir dua kali lipat tanpa adanya kebijakan yang lebih ambisius. Negara anggota Asean diperkirakan mengalami peningkatan hampir 3 kali lipat. Akibatnya, sampah plastik diproyeksikan meningkat lebih dari dua kali lipat, sementara kebocoran plastik ke lingkungan diproyeksikan meningkat sebesar 68%, terutama berasal dari negara-negara Asean berpenghasilan menengah ke bawah dan China," ujarnya. 

Mathias menuturkan untuk mengakhiri polusi plastik di kawasan Asia Pasifik membutuhkan strategi komprehensif yang disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi, kesiapan infrastruktur, dan kapasitas kelembagaan.

"Akses terhadap pengumpulan sampah dan pembuangan yang aman bagi lingkungan sangatlah penting. Kesenjangan di daerah pedesaan dan daerah yang kurang terlayani mendorong salah kelola sampah dan kebocoran plastik. Pentingnya memperkuat kerja sama regional untuk memastikan semua negara memiliki kapasitas dan dukungan yang diperlukan," katanya

Beberapa negara Asean seperti Kamboja dan Laos memerlukan perbaikan yang signifikan dalam pengelolaan sampah plastik. Target pengumpulan sampah, instrumen pembiayaan domestik, dan skema tanggung jawab produsen yang diperluas (EPR) yang sudah ada di Jepang dan Korea untuk kemasan dan barang tahan lama dan sedang diluncurkan untuk kemasan di enam negara Asean dapat membantu memperluas sistem pengumpulan.

Dia menilai peningkatan daur ulang yang signifikan memerlukan pengenalan dan peningkatan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga, investasi yang signifikan dalam infrastruktur daur ulang, insentif yang lebih baik untuk desain produk daur ulang, dan insentif pasar untuk bahan daur ulang. S

"Memperlambat pertumbuhan permintaan plastik sangat penting bagi kawasan Asia Pasifik. Hal ini memerlukan perluasan cakupan melalui kebijakan seperti yang ditujukan untuk plastik bermasalah misalnya plastik berumur pendek dan sulit didaur ulang, desain ramah lingkungan, persyaratan kandungan daur ulang, regulasi kimia, inovasi material dan produk, serta peningkatan dukungan dan infrastruktur untuk sistem penggunaan kembal," ucapnya. 

Menurutnya, kerangka kebijakan yang jelas dapat membangun kepercayaan pasar dan membuka akses pendanaan karena peningkatan investasi yang signifikan diperlukan untuk intervensi di sepanjang siklus hidup plastik. Kebijakan yang ketat dapat membatasi kebutuhan investasi pengelolaan limbah secara keseluruhan untuk APT menjadi US$1,1 triliun antara tahun 2022 dan 2050.

"Kebutuhan investasi akan meningkat sebesar 18% di Asean dibandingkan dengan baseline mencapai US$211 miliar dengan US$178 miliar pada baseline, sementara kebutuhan investasi akan sedikit di bawah level Baseline di Jepang, Korea, dan China," tuturnya. 

Oleh karena itu, implementasi yang efektif membutuhkan upaya mengatasi tantangan-tantangan utama seperti lemahnya pemantauan dan penegakan hukum, terbatasnya kapasitas lokal, dan perlunya mengintegrasikan pekerja informal yang berperan penting dalam sektor persampahan. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, pengembangan kapasitas yang terarah, dan penguatan kerja sama regional dan internasional menawarkan peluang untuk meningkatkan desain dan implementasi kebijakan, menjembatani kesenjangan pengetahuan, serta menyelaraskan kerangka kerja dan standar kebijakan lintas negara.

"Dengan komitmen yang kuat, kawasan ini tidak hanya dapat melindungi lingkungan dan masyarakatnya sendiri, tetapi juga menjadi model global untuk mengakhiri polusi plastik," ujar Mathias. 

Sementara itu, Pendiri Nexus3 Foundation dan Anggota Aliansi Zero Waste Indonesia Yuyun Ismawati meminta pemerintah negara-negara di Asean untuk mengutamakan lingkungan dan kesehatan di perundingan perjanjian plastik global yang tengah berlangsung di Jenewa, Swiss. Seiring negosiasi hampir mencapai tahap akhir, pihaknya mendesak para delegasi untuk mengingat mandatnya mengakhiri polusi plastik dan melindungi kesehatan manusia serta lingkungan di sepanjang siklus hidup plastik.

Menurutnya, negosiasi menuju perjanjian plastik global untuk mengakhiri polusi plastik pekan ini memasuki titik penentuan. Sejumlah negara di Asia Tenggara telah menunjukkan ambisi besar mengajukan proposal untuk mengurangi produksi plastik, menghapus bahan kimia beracun, meningkatkan transparansi dan keterlacakan bahan kimia, serta mempromosikan sistem guna ulang, isi ulang, perbaikan, dan pengurangan plastik bebas racun.

"Ambisi itu masih menunggu dukungan lebih lanjut," katanya dalam keterangan. 

Yuyun menilai meski ada konsensus yang luas, negara-negara besar produsen petrokimia serta 234 perwakilan industri petrokimia dan bahan bakar fosil melakukan lobi besar-besaran, untuk memperlambat negosiasi dan menyepakati perjanjian lemah yang hanya berfokus pada pengelolaan sampah.

"Kita tidak bisa melanjutkan produksi dan konsumsi plastik yang tidak berkelanjutan. Membatasi produksi plastik, mengendalikan bahan kimia beracun, dan mengurangi subsidi untuk produsen plastik adalah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini," ucapnya. 

Koordinator Nasional Ecowaste Coalition Filipina Ailee Lucero mendorong seluruh negosiator pemerintah terutama yang berasal dari Asia Tenggara untuk memanfaatkan momentum itu untuk mengutamakan lingkungan.

Hal itu mengingat Asia Tenggara kini berada di persimpangan jalan, dengan peningkatan produksi plastik baru akan membahayakan lingkungan, tidak hanya potensi pencemaran air dan udara tapi juga mikroplastik yang bisa masuk ke tubuh manusia.

"Kami memohon kepada semua negosiator pemerintah untuk memanfaatkan momentum ini, mencegah pelobi korporasi membajak negosiasi, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menyediakan mekanisme pembiayaan serta kepatuhan yang kuat untuk memastikan implementasi yang efektif," tuturnya. 

KOMITMEN INDONESIA

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan komitmen penuh Indonesia dalam mengatasi polusi plastik. Indonesia menargetkan pengelolaan 100% sampah termasuk plastik tuntas pada 2029. Upaya ini mencakup penghapusan plastik bermasalah, bahan kimia berbahaya dalam produksi plastik, remediasi polusi plastik, serta pencegahan kebocoran plastik ke lingkungan.

Pihaknya prihatin atas perkembangan negosiasi perjanjian plastik global yang belum menunjukkan kemajuan signifikan.

"Merupakan suatu kehormatan untuk bergabung dalam diskusi panel ini. Indonesia prihatin bahwa hingga saat ini belum ada kemajuan signifikan untuk mencapai perjanjian plastik global. Polusi plastik adalah ancaman serius bagi lingkungan dan kesehatan manusia, yang membutuhkan tindakan segera, kolektif, dan komprehensif," ujarnya dalam keterangan. 

Menurutnya, proses negosiasi yang inklusif, adil, tanpa paksaan ini sangat penting mengingat setiap negara memiliki kondisi dan tantangan berbeda. Adapun negara berkembang membutuhkan dukungan teknologi, investasi, dan pembiayaan dari negara maju untuk mewujudkan aksi ambisius mengatasi polusi plastik.

"Kami mendukung peningkatan keterlibatan bilateral untuk mempercepat tercapainya perjanjian multilateral, dengan prinsip no one left behind. Harapan kami, penyelesaian polusi plastik dapat dicapai tanpa penundaan demi menjaga lingkungan dan kesejahteraan masyarakat," katanya.

Dia menyerukan langkah konkret dan dukungan internasional yang kuat karena kerja sama bilateral dan multilateral yang solid sangat penting untuk mempercepat tujuan bersama.

"Yang dibutuhkan sekarang adalah tindakan nyata dan solusi berkelanjutan untuk mengakhiri polusi plastik," ucap Hanif.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yanita Petriella
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro