Bisnis.com, JAKARTA — Perundingan untuk menciptakan perjanjian pertama di dunia yang mengikat secara hukum guna mengatasi polusi plastik terancam berakhir tanpa kesepakatan karena negara-negara berlomba-lomba mencari kompromi potensial pada hari terakhir perundingan di Jenewa.
Perundingan memasuki jam-jam terakhir pada hari Kamis (14/8/2025) setelah negara-negara yang menginginkan perjanjian plastik ambisius menolak naskah yang diusulkan pada Rabu (13/8/2025).
Negara-negara yang mendorong perjanjian komprehensif termasuk Panama, Kenya, Prancis, dan Inggris, berbagi rasa frustrasi karena pasal-pasal utama tentang siklus hidup lengkap polusi plastik mulai dari produksi polimer hingga pembuangan limbah dan bahayanya terhadap kesehatan telah dihapus sepenuhnya dari teks.
Negara-negara penghasil minyak menentang pembatasan produksi plastik murni yang berasal dari minyak bumi, batu bara, dan gas. Sementara itu, negara-negara lain menginginkan pembatasan dan kontrol yang lebih ketat terhadap produk plastik dan bahan kimia berbahaya.
Global Plastics Policy Lead World Wildlife Fund (WWF) Zaynab Sadan mengatakan kesepakatan tersebut masih sangat jauh dari yang pernah dicapai dalam hampir tiga tahun perundingan.
"Ternyata tidak mungkin semua negara dapat menjembatani perbedaan mereka," ujarnya dilansir Reuters, Jumat (15/8/2025).
Baca Juga
Panama menyebutkan draf teks baru tersebut menjijikkan dan menyerukan penulisan ulang secara menyeluruh.
Arab Saudi, yang menolak pembatasan besar, menyatakan tidak ada yang bisa disepakati sampai ruang lingkup perjanjian didefinisikan dengan jelas.
Adapun lebih dari 1.000 delegasi telah berkumpul di Jenewa untuk putaran perundingan keenam setelah pertemuan Komite Negosiasi Antarpemerintah (INC-5) di Korea Selatan akhir tahun lalu berakhir tanpa kesepakatan.
OECD memperingatkan tanpa intervensi, produksi plastik akan meningkat tiga kali lipat pada 2060 yang akan semakin mencemari lautan, mengganggu kesehatan, dan memperburuk perubahan iklim.
Pengacara Senior untuk Program Kesehatan Lingkungan di Pusat Hukum Lingkungan Internasional (CIEL) Giulia Carlini menuturkan akan sangat penting untuk meluangkan setiap jam di hari terakhir negosiasi untuk menemukan teks yang tepat yang dapat memenuhi janji untuk mengakhiri polusi plastik.
Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia sekaligus Ketua Bersama Kelompok Negara-Negara Berambisi Tinggi Andreas Bjelland Eriksen menuturkan semua pihak perlu berkompromi.
"Kami bersedia membahas semua pasal, tiga, enam, misalnya, agar dapat menciptakan paket yang memadai bagi semua orang," katanya.
Adapun menunjuk pada potensi keterbukaan untuk membahas kembali pembatasan bahan kimia dan produksi.