Bisnis.com, JAKARTA — Konferensi Perubahan Iklim ke-29 atau COP29 dinilai perlu mempertahankan komitmen untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan sebagai bagian dari upaya menghadapi krisis iklim.
Hal ini menjadi sorotan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyusul disepakatinya poin transisi berkeadilan dalam draf negosiasi. Isu ini sendiri dinilai relevan bagi Indonesia untuk memastikan proses transisi dapat berjalan dengan adil.
“Selama ini, program mitigasi perubahan iklim, khususnya di sektor energi, sering kali justru mengorbankan ekosistem dan masyarakat. Padahal, ekosistem adalah kunci bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim,” ujar Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL Syaharani dalam siaran pers, Selasa (19/11/2024).
Syaharani memberi contoh proyek pembangunan PLTA skala besar 9 GW di Kayan, Kalimantan Utara yang berisiko merusak 200.000 hektare hutan yang menjadi rumah bagi masyarakat adat serta berbagai spesies endemik. Proyek ini juga berisiko mengancam keanekaragaman hayati yang penting bagi ekosistem lokal dan kehidupan masyarkat sekitar.
Di sisi lain pertambangan mineral kritis seperti nikel yang digunakan untuk mendukung kendaraan rendah emisi dan komponen pembangkit energi terbarukan justru menimbulkan pencemaran lingkungan. Kegiatan pertambangan nikel di Morowali dan Pulau Obi, yang terletak di kawasan Biodiverse Coral Triangle, lanjutnya, berpotensi merusak ekosistem laut dan mengancam mata pencaharian nelayan.
“Saat ini, nelayan terpaksa melaut lebih jauh akibat PLTU,” katanya.
Baca Juga
ICEL berpendapat, kerusakan ekosistem akibat upaya mitigasi meningkatkan eksposur dampak perubahan iklim terhadap masyarakat. Karena itu, penegasan aspek mitigasi-adaptasi dalam transisi berkeadilan menjadi penting untuk memastikan dampak dipertimbangkan secara menyeluruh antarsektor.
Untuk itu, ICEL menekankan sejumlah langkah dalam upaya transisi. Di antaranya kepastian transisi energi benar-benar berkontribusi pada pencapaian target 1.5°C.
“Harapannya, negosiasi terkait transisi berkeadilan di COP29 dapat mendorong Indonesia untuk mengembangkan kebijakan domestik yang mendukung terwujudnya transisi berkeadilan tidak hanya di sektor energi tetapi juga di sektor lain seperti industri, FOLU, dan limbah,” kata Deputi Direktur Bidang Program ICEL Bella Nathania.
Selain itu transisi berkeadilan juga perlu memastikan penghormatan hak asasi manusia (HAM) dan kelompok rentan, Meskipun narasi penghormatan hak asasi manusia dalam transisi berkeadilan telah masuk ke dalam draf negosiasi, ICEL menilai bahwa teks negosiasi saat ini belum memberikan jaminan bahwa penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya bagi kelompok rentan akan terpenuhi.
Terakhir, transisi berkeadilan memerlukan komitmen dukungan pendanaan iklim, terutama dari negara maju. Selama negosiasi COP29, ICEL mencatat negara maju lebih banyak mendorong fokus pada transisi berkeadilan dalam konteks domestik, padahal transisi berkeadilan juga tidak bisa dipisahkan dari konteks pertanggungjawaban historis, pendanaan dan kerja sama internasional untuk memobilisasi pembiayaan serta transfer pengetahuan dan teknologi.
Secara historis negara maju telah berkontribusi hingga 80% terhadap emisi global, khususnya dari pembakaran energi fosil. Selain pembiayaan, negara maju juga perlu memastikan pemenuhan kebutuhan transisi mereka tidak mengorbankan lingkungan dan sumber daya di negara berkembang.
Hingga saat ini, draf negosiasi di COP29 belum memberikan jaminan atau penegasan kewajiban ini untuk negara maju. ICEL menilai penundaan pembiayaan untuk transisi berkeadilan hanya akan memperpanjang pengorbanan lingkungan untuk ekonomi di Indonesia, yang pada akhirnya merugikan kelompok rentan yang selama ini terdampak oleh sistem ekonomi ekstraktif.