Bisnis.com, JAKARTA — Ekspansi besar-besaran energi terbarukan di China terus mencetak rekor. Namun langkah tersebut justru membuat lebih banyak energi angin dan surya terbuang karena jaringan listrik yang tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan tersebut.
Menurut Administrasi Energi Nasional (NEA), tingkat pemborosan (curtailment) untuk energi surya pada paruh pertama 2025 meningkat menjadi 5,7%, naik dari 3% pada periode yang sama tahun lalu. Untuk energi angin, angka pemborosan mencapai 6,6%, dibandingkan 3,9% pada enam bulan pertama 2024.
Tingkat curtailment mengukur seberapa banyak listrik yang sudah dihasilkan tetapi tidak sampai ke konsumen. Hal ini terjadi ketika pasokan melebihi permintaan, atau terjadi hambatan dalam transmisi jaringan listrik, terutama dalam menyalurkan daya dari wilayah pedalaman ke kota-kota besar di timur. Kawasan yang paling terdampak adalah pusat-pusat energi terbarukan di wilayah dengan populasi jarang.
“Masalah curtailment di China muncul karena pembangunan pembangkit energi terbarukan terlalu masif, jauh melampaui pertumbuhan jaringan listrik dan fasilitas penyimpanan energi. Akibatnya, kapasitas tambahan yang dihasilkan tak bisa diserap,” ujar analis Fitch Ratings, Diana Xia, dikutip dari Bloomberg, Selasa (5/8/2025).
Untuk mengantisipasi ketimpangan ini, pemerintah China telah meningkatkan ambang toleransi pemborosan dari 5% menjadi 10%. Namun, wilayah barat seperti Tibet, Xinjiang, dan Qinghai telah melampaui ambang batas tersebut. Hal ini berpotensi menghambat minat investasi lebih lanjut apabila jaringan tidak segera ditingkatkan.
Meski demikian, tingkat pemborosan saat ini masih lebih baik dibandingkan dengan masa awal ledakan energi terbarukan. Sebagai contoh, pada 2016, hampir separuh listrik dari angin di Provinsi Gansu harus dibuang selama enam bulan. Di sisi lain, operator jaringan memuji kapasitas energi terbarukan yang besar karena mampu memenuhi lonjakan permintaan listrik saat musim panas.
Baca Juga
Namun, skalabilitas energi bersih juga membawa tantangan baru. Dalam dua tahun terakhir, China mencetak rekor instalasi, termasuk 277 gigawatt (GW) tenaga surya pada 2024. Menurut BloombergNEF, pada Mei 2025 saja, China menambah kapasitas surya lebih banyak dari total tahunan negara lain sepanjang 2024.
Modernisasi jaringan listrik sendiri membutuhkan dana sangat besar. Operator utama kelistrikan di China, State Grid Corp of China, menyatakan akan menggelontorkan lebih dari 650 miliar yuan (sekitar US$90 miliar) pada tahun ini, dengan pembangunan jaringan Ultra-High Voltage (UHV) sebagai prioritas. Saat ini, China telah mengoperasikan 43 jalur UHV.
Tantangan Infrastruktur di Daerah
Provinsi Qinghai, yang memiliki taman energi terbarukan seluas Singapura, tidak memiliki permintaan lokal yang memadai untuk menyerap seluruh produksi listriknya. Dengan populasi hanya sekitar 6 juta, wilayah ini bergantung pada saluran UHV jarak jauh untuk menyalurkan listrik.
Menurut Zhu Yuanqing dari Biro Energi Qinghai, saat ini hanya ada satu jalur UHV menuju Henan, dan dua jalur lain direncanakan menuju Guangxi dan Guangdong. Namun, proses pembangunan bisa memakan waktu lima tahun. Menurut Xia, walau beberapa jalur baru diperkirakan mulai beroperasi dalam dua tahun ke depan, penurunan signifikan curtailment baru akan terlihat paling cepat 2027.
Sebagai solusi tambahan, pemerintah juga mendorong pembangunan jalur langsung antara proyek energi terbarukan dan pengguna industri. Selain itu, daerah seperti Qinghai tengah membangun pusat data berskala besar untuk memanfaatkan pasokan energi bersih dan suhu udara yang lebih dingin.
NEA menargetkan jaringan mampu menyerap ekspansi lebih dari 200 GW energi terbarukan setiap tahun hingga 2027. Namun, menjaga tingkat pemborosan tetap di bawah 10% menjadi tantangan besar.
Beberapa bulan ke depan akan menjadi ujian apakah regulator mampu mempercepat pembangunan jaringan dan reformasi pasar listrik. Jika upaya ini gagal, menurut catatan Trivium China, pengembalian investasi proyek energi terbarukan bisa tertekan akibat curtailment yang meningkat dan harga listrik yang anjlok, yang pada akhirnya bisa memperlambat investasi secara keseluruhan.