Bisnis.com, JAKARTA – Besarnya potensi panas bumi di Indonesia tidak berbanding lurus dengan efisiensi biaya. Laporan terbaru IRENA menyoroti biaya listrik yang dihasilkan pembangkit panas bumi di Tanah Air menjadi yang paling mahal di antara negara-negara pemain utama.
Hal tersebut diungkapkan International Renewable Energy Agency (IRENA) dalam laporan bertajuk Renewable Power Generation Costs in 2024.
Biaya listrik yang dirata-rata (LCOE) sangat bervariasi antarnegara pada 2024. Turki mencatat LCOE terendah sebesar US$0,033/kWh, menunjukkan efisiensi luar biasa. Di sisi lain, Indonesia memiliki LCOE tertinggi di antara negara-negara yang disebutkan, mencapai US$0,090/kWh.
Sementara itu, Filipina dan Jepang berada di tengah dengan US$0,081/kWh dan US$0,065/kWh, masing-masing. Selandia Baru juga berhasil mencapai LCOE rendah sebesar US$0,042/kWh, didukung oleh faktor kapasitas yang tinggi (91%) dan total biaya pemasangan (TIC) yang relatif rendah yaitu US$2.987/kW.
“Salah satu faktor kunci yang memengaruhi LCOE adalah total biaya pemasangan (TIC),” tulis laporan tersebut.
Indonesia mengalami kenaikan TIC yang tajam, bahkan mencapai lebih dari US$6.000/kW pada 2024. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Turki yang TIC-nya turun drastis dari US$4.076/kW pada 2022 menjadi hanya US$1.217/kW pada 2024.
Baca Juga
Meskipun Indonesia mampu mempertahankan tingkat pemanfaatan yang kuat di atas 85%, tingginya biaya awal ini menjadi tantangan. Tren ini menggambarkan betapa sensitifnya keekonomian proyek panas bumi terhadap kondisi spesifik lokasi.
Biaya modal tetap tinggi karena adanya ketidakpastian dalam fase eksplorasi dan pengeboran, yang bisa menyumbang hingga 50% dari total pengeluaran proyek. Tingginya risiko ini, terutama di fase awal, membuat pembiayaan proyek panas bumi di Indonesia menjadi lebih mahal.
IRENA juga menjelaskan, meskipun biaya awal pengembangan panas bumi cenderung tinggi dan penuh ketidakpastian eksplorasi, sistem ini memiliki keuntungan jangka panjang.
Setelah beroperasi, pembangkit listrik tenaga panas bumi menikmati biaya operasi dan pemeliharaan (O&M) yang relatif rendah, didukung oleh faktor kapasitas yang tinggi dan produksi listrik yang stabil sepanjang waktu.
“Dengan potensi sumber daya panas bumi yang melimpah di Indonesia, tantangan utama saat ini adalah menekan biaya awal pengembangan dan mengurangi risiko eksplorasi,” tulis laporan IRENA.
Hingga 2024, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengidentifikasi 362 titik potensi panas bumi dengan kapasitas total 23,6 GW.
Selain itu, telah disiapkan sebanyak 62 Wilayah Kerja Panas Bumi dan 12 Wilayah Penugasan untuk Survei Pendahuluan dan Eksplorasi Panas Bumi yang masih aktif hingga saat ini.
Secara global, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi secara global mencapai 15 GW, dengan peningkatan tahunan sebesar 0,3 GW pada 2024.
Adapun pertumbuhan kapasitas terpasang sebagian besar didorong oleh Selandia Baru yang menambahkan 0,2 GW, diikuti oleh Indonesia, Jepang, Turki, dan Amerika Serikat. Negara-negara ini, bersama dengan Filipina dan Kenya, merupakan pemain utama dalam kapasitas panas bumi dunia.
Teknologi panas bumi konvensional seperti hydrothermal flash, uap kering (dry steam), dan biner tetap mendominasi. Pembangkit ini menunjukkan tingkat pemanfaatan yang tinggi, seringkali melampaui 90% di pasar yang matang seperti Islandia dan Italia, dan umumnya berada di atas 75%.