Bisnis.com, JAKARTA — Pasar karbon dinilai bisa menjadi salah satu solusi untuk mempercepat dekarbonisasi dan perlindungan aset alam di Asia Tenggara. Namun pasar karbon di kawasan ini masih belum berkembang dan memerlukan pendalaman.
Laporan Southeast Asia’s Green Economy 2025 yang diterbitkan oleh Bain & Company, GenZero, Google, Standard Chartered, dan Temasek menyebutkan bahwa pasar karbon di enam negara Asia Tenggara yakni Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina dan Vietnam hanya mewakili 3% dari potensi mitigasi di seluruh ekosistem.
Penerbitan kredit karbon di enam negara Asean secara tradisional tumbuh lebih dari 20% per tahun (CAGR). Namun angka ini masih jauh di bawah potensi pengurangan emisi secara penuh dengan mekanisme berbasis alam.
Sebagai contoh, jumlah kredit karbon yang ditawarkan di pasar sukarela (voluntary carbon market/VCM) enam negara Asean pada 2020 mencapai 9 juta ton setara CO2 dan tumbuh menjadi 20 juta ton CO2 ekuivalen pada 2024. Volume ini lebih jauh lebih rendah dari potensi kredit karbon nature-based system (NBS) yang menyentuh 720 juta ton CO2 ekuivalen.
Untuk mencapai potensi penuh tersebut, kawasan Asia Tenggara perlu mengambil sejumlah langkah kunci untuk meningkatkan permintaan, membangun pasokan kredit karbon, dan mengembangkan infrastruktur yang mendukung.
Laporan tersebut mengemukakan bahwa peningkatan permintaan kredit karbon di pasar dapat ditempuh dengan menaikkan harga karbon yang efektif melalui mekanisme pajak karbon maupun sistem perdagangan emisi (Emission Trading System).
Baca Juga
"Permintaan kredit di Asia Tenggara terbilang masih tertinggal karena harga yang terlalu rendah,” tulis laporan tersebut.
Selain itu, permintaan juga dapat dikerek dengan menerapkan insentif bagi pembeli domestik dan internasional. Misalnya dengan memberikan pengurangan pajak atas pembelian kredit karbon terverifikasi.
Potensi pasar karbon Asia Tenggara juga dapat ditingkatkan melalui jaminan integritas dalam pasokan kredit. Hal ini dapat ditempuh dengan peningkatan kelayakan proyek karbon melalui perjanjian pembelian jangka panjang (offtake agreements).
Laporan Bain & Company juga menyebutkan bahwa penyelarasan kerangka dan standar pasar karbon secara regional sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan potensi. Hal ini terdiri dari penguatan sistem pemantauan, pelaporan dan verifikasi, pengembangan registri karbon dan penguatan ekosistem pasar.
Terlepas dari kondisi pasar yang memerlukan pendalaman lebih lanjut, riset mencatat bahwa pasar karbon di Asia Tenggara telah memperlihatkan sinyal kemajuan. Sebagai contoh, Singapura telah menandatangani perjanjian bilateral berdasarkan Pasal 6.2 dari Perjanjian Paris dengan negara lain untuk memperdagangkan kredit karbon guna memenuhi Nationally Determined Contributions (NDCs). Perjanjian ini ditandatangani dengan beberapa negara Asean seperti Indonesia, Malaysia, Kamboja dan Laos.
Selain itu, terdapat kerangka kerja sama Asean Common Carbon Framework (ACCF) yang dibentuk untuk menyelaraskan pasar karbon di seluruh Asia Tenggara.
Inisiatif ini bertujuan memastikan kredibilitas dan integritas kredit karbon yang dihasilkan di kawasan, sehingga memfasilitasi perdagangan karbon lintas negara.
ACCF juga bertujuan mendukung standar karbon yang sejalan dengan tolok ukur kualitas internasional seperti Integrity Council for the Voluntary Carbon Market (ICVCM) dan Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA), sehingga memperkuat integritas dan penerimaan pasar atas pasokan kredit karbon Asean.