Bisnis.com, JAKARTA — Setelah mengalami lonjakan tajam selama pandemi, investasi berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) kini menghadapi tekanan global.
Ketidakpastian geopolitik, penolakan politik di Amerika Serikat, dan regulasi yang makin ketat di Uni Eropa membuat investor global mulai menarik diri dari dana berkelanjutan.
Shantanu Srivastava, analis senior di Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) South Asia, menjelaskan pelambatan ini bukan akhir dari investasi berkelanjutan, melainkan koreksi pasar yang sehat.
“Yang perlu dipahami adalah ESG merupakan kategori luas. Ketika perhatian investor mulai bergeser, bukan berarti mereka meninggalkan prinsip keberlanjutan, tetapi fokusnya lebih tajam—khususnya pada risiko dan peluang terkait iklim,” ujarnya, dikutip dari laman IEEFA, Rabu (14/5/2025).
Menurutnya, hingga kuartal pertama 2025, dana ESG global mengalami penarikan dana bersih (net outflows) sebesar US$8,6 miliar.
Investor Eropa, yang selama ini menjadi pionir dalam investasi berkelanjutan, tercatat sebagai penjual bersih untuk pertama kalinya sejak 2018, dengan penarikan senilai US$1,2 miliar. Tren serupa terjadi di pasar Asia.
Baca Juga
Menurut Srivastava, risiko iklim tetap menjadi pertimbangan utama bagi investor jangka panjang. Baik risiko fisik, seperti bencana alam, maupun risiko transisi dapat berdampak signifikan terhadap nilai portofolio global.
“Artinya, investor yang mengabaikan isu iklim dalam perhitungan risiko akan merugi dalam jangka panjang,” kata Srivastava.
Oleh karena itu, meskipun label ESG mungkin mengalami penolakan politik atau kekeliruan seperti greenwashing, nilai ekonomi dari investasi iklim tetap kuat.
Bagi investor global, keputusan investasi sangat bergantung pada kualitas data yang disajikan perusahaan. Srivastava menekankan bahwa pelaporan risiko iklim bukan sekadar kepatuhan regulasi, tetapi alat penting untuk mengarahkan alokasi modal.
“Investor membutuhkan informasi yang konkret, berapa besar risiko terhadap pendapatan atau aset jika terjadi bencana iklim, atau berapa besar potensi keuntungan dari strategi rendah karbon,” ujarnya.
Untuk menghasilkan data yang kredibel, Srivastava mendorong perusahaan di Asia, termasuk Indonesia, untuk mulai berinvestasi dalam kemampuan internal seperti pemodelan skenario iklim, analisis spasial risiko, proyeksi emisi, dan identifikasi strategi transisi.
“Perusahaan yang mulai lebih awal dalam membangun kapabilitas ini akan berada di posisi unggul untuk menarik investor jangka panjang yang mencari ketahanan dan nilai dalam jangka waktu yang lebih luas,” tegasnya.
Meskipun saat ini iklim investasi ESG terlihat lesu, Srivastava optimistis bahwa arah jangka panjang tetap jelas, yakni risiko iklim adalah risiko keuangan, dan perusahaan yang mampu mengelolanya dengan transparan akan memetik manfaatnya.