Bisnis.com, JAKARTA – Risiko paparan panas ekstrem bagi ibu hamil di sejumlah kota besar di Indonesia meningkat drastis akibat krisis iklim.
Temuan ini terungkap dalam laporan terbaru Climate Central “Climate Change Increasing Pregnancy Risks Around The World Due to Extreme Heat”. Climate Central mengamati 17 kota besar di Tanah Air menunjukkan dampak panas ekstrem yang sangat signifikan.
Analisis terbaru dari Climate Central menunjukkan bahwa pada periode 2020–2024, rata-rata terdapat 44 hari dengan panas ekstrem yang berbahaya bagi kehamilan setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, 41 hari atau sekitar 93% disebabkan oleh dampak krisis iklim.
Paparan suhu tinggi selama kehamilan berkaitan dengan komplikasi seperti hipertensi, diabetes gestasional, morbiditas ibu, rawat inap, hingga kelahiran mati dan prematur.
Batam mencatat rata-rata tahunan 46 dari 47 hari dengan panas ekstrem yang berisiko kehamilan disebabkan oleh krisis iklim.
Mengacu laporan ini, seluruh negara yang dianalisis, termasuk Indonesia, mengalami peningkatan jumlah hari dengan panas ekstrem yang berisiko bagi kehamilan, yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas.
Baca Juga
Hari dengan panas ekstrem ini ketika suhu maksimum melebihi ambang 95% dari suhu historis lokal—ambang yang dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran prematur.
Kota-kota lain seperti Lampung, Bogor, Bekasi, Cilacap, dan Depok juga mencatat rata-rata lebih dari 90% peningkatan jumlah hari dengan suhu tinggi akibat krisis iklim. Sementara itu, Jakarta mengalami peningkatan 79% hari dengan panas ekstrem —yakni 19 dari 24 hari, disebabkan oleh krisis iklim.
Bruce Bekkar, dokter spesialis kesehatan perempuan dan pakar dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, menyatakan cuaca panas ekstrem kini menjadi salah satu ancaman paling mendesak bagi ibu hamil di seluruh dunia, khususnya di daerah dengan akses terbatas ke layanan kesehatan.
“Mengurangi emisi bahan bakar fosil bukan hanya penting bagi lingkungan, tetapi juga penting untuk melindungi ibu dan bayi yang rentan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (15/5/2025).
Padahal, selain kenaikan suhu, ibu hamil selama ini telah berhadapan dengan kualitas udara yang buruk. Partikulat halus (PM2,5), yang berasal dari asap kendaraan, kebakaran hutan, dan pembakaran bahan bakar fosil, juga berbahaya bagi ibu hamil.
PM 2,5 telah dikaitkan dengan peningkatan stres mental, hipertensi kehamilan, dan komplikasi lain pada ibu hamil. Panas ekstrem turut memperparah kualitas udara yang buruk ini.
Wakil Presiden Bidang Sains Climate Central, Kristina Dahl menjelaskan bahkan satu hari dengan suhu panas ekstrem dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan secara signifikan.
“Perubahan iklim memperbanyak hari dengan panas ekstrem dan mempersempit peluang kehamilan sehat, terutama di wilayah dengan akses layanan kesehatan yang terbatas. Jika kita tidak menghentikan pembakaran bahan bakar fosil, dampaknya terhadap ibu dan bayi akan terus memburuk,” ujarnya.
Secara global, dalam lima tahun terakhir, perubahan iklim telah melipatgandakan jumlah hari dengan suhu tinggi yang berisiko selama kehamilan di hampir 90% negara dan 63% kota di dunia, dibandingkan kondisi tanpa krisis iklim.
Selama lima tahun terakhir, peningkatan terbesar jumlah hari dengan panas ekstrem ini terutama terjadi di wilayah berkembang dengan akses layanan kesehatan yang terbatas — terutama di Karibia, dan sebagian Amerika Tengah dan Selatan, Kepulauan Pasifik, Asia Tenggara, dan Afrika sub-Sahara, sehingga lebih berisiko bagi ibu hamil.
Wilayah-wilayah tersebut juga termasuk daerah paling rentan terdampak krisis iklim.