Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asia Pasifik Dominasi Pasar Karbon Sukarela, Bagaimana Indonesia?

Pasokan kredit karbon dari Asia Pasifik mencapai 56% dari total penerbitan global pada Februari 2025, sementara kontribusi permintaan menembus 61%
Penampakan kawasan hutan di Pulau Kalimantan/Bloomberg-Dimas Ardian
Penampakan kawasan hutan di Pulau Kalimantan/Bloomberg-Dimas Ardian

Bisnis.com, JAKARTA — Pasar Asia Pasifik mendominasi pasar karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM) sepanjang Februari 2025, dengan kontribusi pasokan ke pasar global mencapai 56% dan permintaan 61%.

Laporan Camille Wee dan Joy Foo dari BloombergNEF mengungkap bahwa penerbitan kredit karbon global dari Asia Pasifik mencapai 8,1 juta ton setara CO2 sepanjang Februari 2025. Volume itu naik 26% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

“Kredit yang diterbitkan berasal dari proyek di sektor pertanian, pengelolaan ternak dan kotoran, pencegahan deforestasi, permintaan energi, pembangkitan energi, dan pengelolaan limbah,” tulis BloombergNEF dalam laporan yang dirilis Jumat (14/3/2025).

India menjadi penyumbang kredit karbon sukarela terbesar dengan kontribusi  86% dari total penerbitan tersebut atau 6,92 ton CO2 ekuivalen. Vietnam menyusul di peringkat kedua dengan kontribusi 8% dari total penerbitan yang setara dengan 630.000 ton CO2.

Sementara itu, China dan Kamboja yang masing-masing menerbitkan 260.000 dan 100.000 kredit karbon menempati peringkat ketiga dan keempat pemasok terbesar di kawasan.

Asia Pasifik tak hanya menjadi pemasok kredit karbon terbesar selama Februari 2025. Kawasan ini juga aktif melakukan pembelian kredit karbon sukarela dengan kontribusi 61% dari total permintaan global.

India kembali menempati peringkat teratas, kali ini untuk permintaan kredit karbon. Pengakhiran atau retirement kredit karbon sukarela di India mencapai 2,29 juta ton CO2 pada Februari 2025. China menempati peringkat kedua dengan volume retirement mencapai 1,41 juta ton.

Malaysia berada di posisi ketiga pada Februari 2025, dengan volume kredit karbon yang tak lagi diperdagangkan mencapai 1,37 juta ton. Sementara itu, Indonesia menempati peringkat keempat dengan volume 1 juta ton, setelah pada Januari 2025 menempati peringkat teratas dengan volume 3 juta ton setara CO2.

Perusahaan minyak dan gas Shell menjadi pembeli teraktif di Asia Pasifik pada Februari 2025, yakni sebesar 950.000 kredit karbon. Perusahaan energi asal Italia, Eni, berada di posisi kedua dengan volume pembelian 800.000 ton setara CO2.

Perusahaan manufaktur asal Jerman Hörmann juga menjadi salah satu pembeli terbesar di Asia Pasifik dengan volume 780.000 kredit karbon. Posisinya disusul oleh perusahaan ritel produk listrik Powershop yang membeli 250.000 kredit karbon dan Disney tercatat membeli 140.000 kredit karbon dari Asia Pasifik.

Di tengah pasokan tinggi kredit karbon di Asia Pasifik, BloombergNEF mencatat bahwa proyek karbon berbasis alam di kawasan ini tetap menjadi yang termahal sepanjang 2024 dan 2025. Kredit dari pencegahan deforestasi bertengger di level harga US$22,92 dan reforestasi dihargai US$45.

Adapun kredit dari pembangkitan energi menjadi yang termurah di 2025 sejauh ini, meskipun mengalami kenaikan harga rata-rata sebesar 353% dari Januari (US$0,25) ke Februari (US$1,13).

“Kenaikan ini kemungkinan didorong oleh munculnya empat proyek dengan harga lebih tinggi di China,” papar BloombergNEF.

Indonesia Perluas Perdagangan Karbon

Dalam perkembangan lain, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengatakan perdagangan karbon dari sektor kehutanan segera diresmikan. Langkah ini merupakan bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau.

Dikutip dari keterangannya di Jakarta, Kamis (13/3/2025), Raja Juli mengatakan program ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha.

Pada tahap awal, perdagangan karbon ini mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta (Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan/PBPH) dan Perhutanan Sosial, dengan potensi serapan karbon yang berbeda.

Pemerintah berencana memperluas perdagangan karbon ke sektor kehutanan
Pemerintah berencana memperluas perdagangan karbon ke sektor kehutanan

PBPH memiliki potensi serapan 20 sampai 58 ton CO2 per hektare (ha) dengan harga US$5-10 per ton CO2, sementara Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton CO2 per ha dengan harga mencapai 30 euro per ton CO2.

Pada 2025, potensi perdagangan karbon sektor ini diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2, dengan nilai transaksi berkisar Rp1,6 triliun hingga Rp3,2 triliun per tahun.

Jika dioptimalkan hingga 2034, lanjut Raja Juli, maka potensi perdagangan karbon dari sektor kehutanan dapat mencapai Rp97,9 triliun hingga Rp258,7 triliun per tahun, dengan kontribusi pajak sekitar Rp23 triliun sampai Rp60 triliun. Perdagangan karbon juga diperkirakan dapat menyumbang penerimaan pajak bukan pajak (PNBP) Rp9,7 triliun hingga Rp25,8 triliun per tahun.

Selain itu, program ini diharapkan dapat menciptakan 170.000 lapangan kerja di berbagai lokasi proyek karbon.

Raja Juli menegaskan perdagangan karbon tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi, tetapi juga berperan dalam percepatan reforestasi melalui konservasi dan strategi Afforestation, Reforestation and Revegetation (ARR).

Untuk memastikan daya saing perdagangan karbon Indonesia secara global, Kementerian Kehutanan bersama Kementerian Lingkungan Hidup telah berkoordinasi dengan Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Iklim Hashim Djojohadikusumo.

Salah satu langkah strategis yang tengah didorong adalah penyelesaian Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan standar internasional seperti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo, yang ditargetkan rampung pada Mei 2025.

Selain itu, pemerintah juga tengah merevisi Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 terkait Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna meningkatkan efektivitas dan transparansi perdagangan karbon.

“Dengan berbagai langkah ini, Kementerian Kehutanan optimistis bahwa perdagangan karbon sektor kehutanan akan menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta penguatan komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim,” kata Raja Juli.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper